Menatap bangsa dengan ketenangan jiwa, mencoba melepaskan diri dari amukan hasrat serta birahi politik yang bergelegar. Maka sampailah seorang putra bangsa pada sebuah perenungan.
Dilema menjadi kawan terdekat ketika gema suara gendang tertabuh dari pucuk penggelar kompetisi. Pingir jalan, setiap tikungan, setiap pojok, warna warni dengan beraneka terpampang dengan jelas.
Demokrasi sebetulnya adalah sebuah simbol utuh namun sekaligus mengundang dilema. Wajah-wajah yang terpampang semua meminta Do’a dan dukungan. Namun, Apakah mereka mampu menggoyahkan tirani berkepanjangan? Ataukah hanya menjadi pajangan pinggir jalan yang membuat mata terhibur setelah 5 tahun berlalu tanpa warna-warni pinggir jalan?
Kelam menyapa seperti mendung berkepanjangan. Masyarakat mulai diam-diam menghembus hawa kemurkaannya. Diambang batas sudah sang Pemilik Kedaulatan tertinggi negeri. WS Rendra dalam sajak sebatang lisong pernah berkata “Dan Aku Melihat Protes – Protes terpendam terhimpit dibawah Tilam”. Kini kenyataan itu telah menjadi tontonan kita.
Lantas, Siapakah yang pantas memimpin? Politik menjadi profesi, pemuda-pemuda yang masih polospun kini ikut – ikutan berbaris dalam shaf tunggu giliran untuk menjadi Politisi. Inilah fenomena yang menggelitik, Tidak berkapasitas namun jika punya modal, maka semua bisa terkondisikan. Intinya “Bapak Dapat Jatah”.
Lima Tahun menjabat, Lima Tahun pemilik negeri menggantung harapan padanya. Wakil Rakyat sibuk gonta – ganti mobil dinas. Semetara semakin banyak orang-orang yang diwaliki menjadi gelandangan ataupun pengangguran. Picik !
Perjuangan kami sangat mudah karena hanya melawan kaum penjajah. Namun, perjuangan kalian lebih sulit karna harus bertarung melawan bangsamu sendiri. Sampai disini, renungan terjeda. Ada seonggok keluh memanggil jemari mengetik bait untuk menggambar kegilaan dan parodi yang amat lucu ini.
Ini salah siapa?