Kamis, November 20, 2025

Dilema Budaya Bebas-Aktif Indonesia dalam Keamanan ASEAN

Muhammad Raffi Rasya
Muhammad Raffi Rasya
saya adalah seorang mahasiswa prodi Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Sriwijaya
- Advertisement -

Ketika menghadapi tantangan keamanan regional yang semakin kompleks, Indonesia seringkali dihadapkan pada dilema: tetap konsisten dengan prinsip “bebas dan aktif” yang menjadi fondasi diplomasi sejak 1948, atau mengutamakan kepentingan keamanan nasional yang mendesak. Dilema ini bukan sekadar pertanyaan akademis, ia mencerminkan ketegangan mendalam antara budaya strategis historis Indonesia dan dinamika geopolitik kontemporer.

Artikel ini berpendapat bahwa budaya strategis Indonesia, yang berakar pada pengalaman sejarah panjang perjuangan kemerdekaan dan prinsip non-alignment, menghasilkan pendekatan keamanan yang unik namun sekaligus membatasi fleksibilitas Indonesia dalam mengambil keputusan strategis yang tegas di kawasan. Pemahaman mendalam tentang bagaimana budaya strategis ini membentuk pengambilan keputusan keamanan nasional Indonesia menjadi kunci untuk memahami peran Indonesia di Asia Tenggara di masa depan.

Budaya strategis Indonesia tidak terbentuk secara tiba-tiba. Ia adalah produk dari pengalaman berabad-abad dari menghadapi kolonialisme, perjuangan kemerdekaan yang berat, dan upaya mempertahankan kedaulatan di tengah persaingan kekuatan global. Prinsip “bebas dan aktif” yang dideklarasikan pada 1948 oleh Mohammad Hatta bukan sekadar slogan diplomatik, melainkan manifestasi dari identitas strategis yang mendalam. Prinsip ini berarti Indonesia tidak akan mengikat diri pada blok kekuatan manapun, tetapi sebaliknya akan secara aktif memainkan peran independen dalam menentukan nasibnya sendiri.

Filosofi ini lahir dari konteks historis spesifik: Indonesia baru saja melalui revolusi kemerdekaan yang melelahkan melawan Belanda, dan pemimpin-pemimpinnya sangat waspada terhadap dominasi eksternal. Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh pendiri lainnya memandang non-alignment sebagai strategi bertahan yang bijaksana dalam Perang Dingin. Namun, seiring berjalannya waktu, prinsip ini tidak hanya menjadi strategi, tetapi juga menjadi bagian integral dari identitas nasional Indonesia menjadi sesuatu yang mempengaruhi cara Indonesia melihat dunia dan mengambil keputusan keamanannya.

Budaya strategis Indonesia yang “bebas dan aktif” terus mempengaruhi pendekatan keamanan nasionalnya hingga saat ini. Hal ini terlihat jelas dalam cara Indonesia menangani berbagai tantangan keamanan regional, terutama dalam konteks ASEAN.

Pertama, dalam mengelola konflik internal ASEAN, Indonesia telah menunjukkan pola yang konsisten dengan budaya strategisnya yang bertindak sebagai mediator netral dan pemandu yang membawa anggota-anggota ASEAN menuju konsensus. Ketika kudeta militer terjadi di Myanmar pada Februari 2021, Indonesia tidak bersikap konfrontatif, melainkan berupaya mempromosikan respons kolektif ASEAN melalui diplomasi bilateral yang intens. Foreign Minister Retno Marsudi secara individual melobi para pemimpin ASEAN untuk setuju pada Five-Point Consensus. Pendekatan ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mempertahankan kepemimpinan regional sambil tetap menghindari polarisasi yang dapat memecah persatuan ASEAN.

Kedua, budaya strategis Indonesia mempengaruhi cara negara ini mendefinisikan keamanan maritim. Terdapat ketidakjelasan historis yang mendalam dalam membedakan antara “pertahanan” (perlindungan kedaulatan) dan “keamanan” (penegakan hukum) dalam strategi keamanan maritim Indonesia. Akibatnya, TNI AL masih enggan meninggalkan peran-peran penegakan hukum dan keamanan internal, meskipun telah terjadi reformasi institusional dan doktrin. Ketidakjelasan ini bukan hanya masalah administratif, melainkan refleksi dari budaya strategis yang menyeimbangkan keamanan eksternal dengan stabilitas internal sebagai produk warisan langsung dari pengalaman Indonesia dalam mempertahankan keutuhan negara kepulauan yang sangat heterogen.

Namun demikian, budaya strategis “bebas dan aktif” Indonesia semakin menghadapi ketegangan dengan realitas geopolitik modern yang semakin kompleks. Persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China di wilayah Indo-Pasifik, disertai dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan dan ketidakstabilan regional, memaksa Indonesia untuk membuat pilihan yang sulit.

Pertanyaan yang muncul adalah: sejauh mana Indonesia dapat tetap “bebas” ketika tekanan geopolitik dari kekuatan-kekuatan besar terus meningkat? Ketika harus memilih antara berkontribusi pada arsitektur keamanan regional yang lebih terintegrasi atau mempertahankan posisi netral, budaya strategis Indonesia cenderung memilih jalan tengah yang seringkali tidak memuaskan semua pihak.

Ambil contoh respons Indonesia terhadap ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP), yang awalnya menjadi inisiatif Indonesia sebagai respons terhadap persaingan kekuatan besar. Meskipun AOIP dirancang untuk memastikan ASEAN tetap menjadi inti dari arsitektur keamanan regional, implementasinya menunjukkan bahwa Indonesia (melalui ASEAN) masih kesulitan membuat keputusan keamanan yang tegas dan terkoordinasi. Prinsip “konsensus” ASEAN, yang dipengaruhi oleh budaya strategis Indonesia untuk menghindari konfrontasi, seringkali menghasilkan resolusi yang lemah dan sulit diimplementasikan.

- Advertisement -

Inisiatif Indonesia, seperti “Global Maritime Fulcrum” di bawah administrasi Jokowi, menunjukkan upaya untuk mengadaptasi budaya strategis dengan realitas kontemporer menekankan peran Indonesia sebagai kekuatan maritim tengah sambil tetap mempertahankan komitmen terhadap ASEAN. Namun, adaptasi ini perlu menjadi lebih konsisten dan strategis.

Budaya strategis Indonesia yang berakar pada prinsip “bebas dan aktif” telah membentuk cara negara ini melihat dunia dan mengambil keputusan keamanan selama lebih dari tujuh dekade. Budaya ini telah berhasil menjaga kedaulatan Indonesia, memposisikan negara sebagai mediator regional, dan mempertahankan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri di tengah persaingan kekuatan global. Namun, di era geopolitik kontemporer yang semakin kompleks dan penuh tantangan, budaya strategis ini perlu dikaji ulang dan disesuaikan tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya.

Indonesia tidak perlu menjadi negara yang mengikuti blok-blok kekuatan secara membabi buta. Namun, Indonesia juga perlu lebih berani dan tegas dalam mengambil keputusan strategis yang melindungi kepentingan nasionalnya.

Reinterpretasi budaya strategis Indonesia yang tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip dasar sambil lebih pragmatis dan adaptif bukan hanya peluang, melainkan kebutuhan untuk memastikan bahwa Indonesia dapat mempertahankan relevansi dan pengaruhnya di panggung internasional. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat benar-benar memainkan peran sebagai kekuatan stabilitas yang fundamental di Asia Tenggara, bukan hanya sebagai pemain yang reaktif terhadap dinamika yang diciptakan oleh pihak lain.

Muhammad Raffi Rasya
Muhammad Raffi Rasya
saya adalah seorang mahasiswa prodi Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Sriwijaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.