Guru adalah motor penggerak dalam pendidikan. Dari seorang guru, dapat melahirkan puluhan bahkan ratusan profesi, dari mulai buruh sampai dengan pemilik perusahaan sekalipun. Jasa guru memang sangat besar, maka wajar jika ada semboyan “Guru adalah patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”.
Dulu, guru merupakan sosok yang sangat disegani dan dihormati layaknya kedua orang tua siswa sendiri. Bahkan guru disebut sebagai orang tua siswa saat di sekolah. Artinya, guru adalah sosok yang bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi terhadap siswa selama siswa berada di sekolah. Tanggung jawab guru tersebut harus dijalankan berbarengan dengan tanggungjawab akademik lainnya yang jumlahnya sangat banyak, dimulai dari RPP sampai dengan bahan ajar siswa di kelas.
Dahulu, ketika siswa melakukan kesalahan di sekolah dan dihukum guru, kemudian siswa tersebut pulang ke rumah, maka siswa tersebut tidak akan mendapatkan pembelaan, bahkan justru mendapat hukuman tambahan dari orang tua aslinya.
Bagaimana dengan guru saat ini?
Sadar atau “melek” hukum yang terjadi dikalangan masyarakat saat ini menyebabkan efek positif dan negatif di lingkungan sekolah. Hal ini sesuai dengan Undang-undang tentang kekerasan fisik (UU Perlindungan Anak), pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan pasal 54 yang berbunyi “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Hukumannya pun tidak main-main, hukuman bagi guru yang melanggar hal tersebut dapat dikenai hukuman penjara dan denda yang tidak sedikit. Positifnya, sangat jarang terjadi kekerasan fisik terhadap siswa dan juga pengeluaran kata-kata yang “kasar” terhadap siswa. Ditambah guru menjadi lebih kreatif dalam memberikan hukuman terhadap siswa, tidak lagi dengan cara-cara konvensional atau gaya lama.
Negatifnya, guru tidak lagi memiliki “power” atau disegani di sekolah. Guru saat ini terkungkung oleh peraturan yang membuat guru menjadi tak disegani lagi. Beberapa hari lalu kita mendapatkan berita tentang guru yang mencubit siswanya yang ternyata adalah anak dari seorang polisi.
Walaupun kabarnya guru tersebut sudah dibebaskan, namun hal ini sangat disayangkan dapat terjadi. “Tidak ada asap jika tidak ada api”, pepatah tersebut seharusnya menjadi gambaran bagaimana kejadian itu berlangsung. Guru tidak akan mungkin menghukum siswanya jika siswanya “adem ayem” atau baik-baik saja di sekolah, hal tersebut terjadi pasti ada penyebab sebelumnya.
Beberapa bulan lalu, ketika saya mengantarkan teman untuk interview di salah satu sekolah bilingual di daerah BSD Tangerang, saya pun melihat kejadian hal yang sangat tidak menghormati guru. Ketika itu orang tua siswa dipanggil oleh guru BK karena anaknya yang merupakan siswa di sekolah tersebut melakukan hal yang sangat tidak menghormati guru dengan “mengerjai” guru salah satu mata pelajaran.
Namun, ketika guru BK menjelaskan apa yang terjadi dan akan men-skors, bukannya penyesalan yang terucap dari orang tua dan siswa tersebut, justru orang tua siswa tidak menerima dan memarahi guru BK dan mengancam hal yang tidak masuk akal, dengan alasan mereka sudah “membayar mahal” di sekolah tersebut.
Ironi memang, dahulu guru sangat disegani dan dihormati oleh siswa maulun orangtua siswa. Namun sekarang guru terkungkung dengan banyak aturan dan membuat guru hanya sebagai penyalur ilmu dengan segala tugasnya. Sekarang guru menghukum dengan khilaf walaupun hanya sekecil apapun ketika siswa melakukan hal yang sangat berat, maka ada hukuman yang berat menunggu guru tersebut.
Pasalnya tidak semua guru mendapatkan pembekalan tentang reinforcement yang di dalamnya terdapat bagaimana cara memberikan reward dan punishment kepada siswa. Dan sayangnya hal tersebut seakan dianggap tidak penting bagi guru. Guru hanya dibekali dengan bagaimana masuk kelas sesuai dengan jam pelajarannya, membuat instrument pendidikan, dan lain sebagainya.
Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemegang kebijakan pendidikan bangsa ini, dengan memberikan pembekalan kepada guru-guru untuk bagaimana membuat guru kembali disegani dengan tanpa melalui cara kekerasan. Dan juga membuat masyarakat kembali faham bagaimana posisi seorang guru yang dahulu disebut “orang tua di sekolah”. Sehingga terjadi timbal balik yang baik antara guru, siswa, dan orang tua.