Minggu, Juni 8, 2025

Dibutuhkan Seorang Global-Wan untuk lingkungan

Mohammad Kholid Ridwan
Mohammad Kholid Ridwan
Mohammad Kholid Ridwan. Lahir di Bantul pada tanggal 11 Juli 1974, menyelesaikan S1 di Program Studi Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan jenjang master pada program Sustainable Energy Engineering di Royal Institute of Technology (KTH) Stockholm, pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Program doktoral ditempuh di Tokyo Institute of Technology Jepang dari tahun 2004 sampai dengan 2007. Beberapa kali melakukan riset Post Doctoral di Energy Economics Laboratory Kyoto University Jepang, dan di Savoie Technolac Perancis di tahun 20102012. Pernah menjadi Ketua Program Studi Teknik Fisika UGM, Kepala Laboratorium Energy Terbarukan, Kepala Laboratorium Komputasi Multifisika Fakultas Teknik UGM, dan Juga Reviewer beasiswa LPDP tahun 20142016. Penulis juga mendapatkan gelar G.P. (Green Profesional)dari Green Building Council Indonesia, sebagai evaluator pemeringkat bangunan hijau di Indonesia dan juga Insinyur Profesional Utama (IPU) dato Persatuan Insinyur Indonesia. Penulis juga merupakan anggota dari International Association for Urban Climate (IAUC) dan juga menjabat sebagai sekretaris umum Yayasan Pelestari Uwi Gadjah Mada.
- Advertisement -

Pada tanggal 20 Januari 2025 Donald Trump melakukan executive order no 14162 dengan menginstruksikan penarikan segera dari perjanjian Paris dan penghentian semua komitmen keuangan AS terkait perjanjian tersebut. Ini sebenarnya adalah kali kedua Trump melakukan hal tersebut, mengulangi kejadian di tanggal 1 Juni 2017 pada pelantikannya yang pertama.

Pada saat itu dia mengatakan “I was elected to represent the citizens of Pittsburgh, not Paris.” Banyak  pemimpin dunia kecewa dan menyayangkan hal tersebut karena menurut mereka Perjanjian Paris tidak bisa dinegosiasi ulang, seperti yang diinginkan Trump.

Makna lain dari executive order tersebut seolah olah Trump ingin mengatakan “Kami orang Amerika tidak berasal dari bumi yang sama dengan kalian. Bumi kalian mungkin terancam; bumi kami tidak akan terancam!”. Sebuah gagasan yang sangat absurd. Kita semua tahu bahwa Donald Trump berjuang untuk kemajuan dan kepentingan Amerika.

Rusia dan Ukraina pun juga demikian, mereka “terpaksa” berperang dengan sebuah tekad menyelamatkan atau melindungi negara masing-masing. Rusia dan Ukraina tidak akan ambil pusing, bahwa perang mereka selama 3 tahun ini telah melepaskan 230 juta ton CO₂ ke atmosfer.

Nilai emisi tersebut lebih besar daripada target pengurangan CO₂ yang dijanjikan oleh Malaysia dan Thailand sampai dengan tahun 2030, dimana Malaysia menjanjikan mengurangi hingga 130 juta ton dan Thailand 166 juta ton. Artinya, dalam tiga tahun, perang Rusia-Ukraina telah menghapus atau melampaui target pengurangan tahunan emisi dari negara-negara berkembang besar di Asia Tenggara.

Hal itu tentu menjadi paradoks penanganan iklim global dimana negara-negara berkembang berjuang keras dan mahal untuk menurunkan ratusan juta ton CO₂ melalui kebijakan, teknologi, dan restrukturisasi ekonomi, dan pada saat yang sama satu konflik besar bisa “menghapus” capaian itu dalam hitungan bulan.

Sejatinya semua pemimpin dunia adalah pemimpin negaranya masing-masing. Mereka tidak kepingin negaranya rugi, stagnan atau bahkan hancur demi sebuah “konservasi lingkungan”. Lingkungan selalu saja menjadi sektor paling lemah untuk selalu dikalahkan oleh sektor yang lain; ekonomi, politik dan juga keamanan dan pertahanan negara.

Anekdot yang terkenal yaitu “sebuah konferensi teknologi besar dan mewah dalam sebuah kapal yang akan tenggelam” muncul lagi dalam benak kita. Menggambarkan saking sibuknya orang mengejar kemajuan dan melupakan kapal tempat dia tinggal dan berlayar. Semua negara ingin maju dan membesar, tetapi lingkungan dan bumi dibiarkan semakin rusak.

Kasus-kasus di atas memberikan gambaran kecil bahwa masalah lingkungan tidak bisa diselesaikan oleh sebatas “negarawan” saja, apalagi politisi yang sekedar mewakili kepentingan kelompok, partainya atau keluarganya. Dibutuhkan seorang global-wan untuk lingkungan dan bumi kita. Selamat hari lingkungan hidup semoga kita diberi kesadaran untuk lebih memahami tentang hidup dan lingkungan hidup.

Mohammad Kholid Ridwan
Mohammad Kholid Ridwan
Mohammad Kholid Ridwan. Lahir di Bantul pada tanggal 11 Juli 1974, menyelesaikan S1 di Program Studi Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan jenjang master pada program Sustainable Energy Engineering di Royal Institute of Technology (KTH) Stockholm, pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Program doktoral ditempuh di Tokyo Institute of Technology Jepang dari tahun 2004 sampai dengan 2007. Beberapa kali melakukan riset Post Doctoral di Energy Economics Laboratory Kyoto University Jepang, dan di Savoie Technolac Perancis di tahun 20102012. Pernah menjadi Ketua Program Studi Teknik Fisika UGM, Kepala Laboratorium Energy Terbarukan, Kepala Laboratorium Komputasi Multifisika Fakultas Teknik UGM, dan Juga Reviewer beasiswa LPDP tahun 20142016. Penulis juga mendapatkan gelar G.P. (Green Profesional)dari Green Building Council Indonesia, sebagai evaluator pemeringkat bangunan hijau di Indonesia dan juga Insinyur Profesional Utama (IPU) dato Persatuan Insinyur Indonesia. Penulis juga merupakan anggota dari International Association for Urban Climate (IAUC) dan juga menjabat sebagai sekretaris umum Yayasan Pelestari Uwi Gadjah Mada.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.