Minggu, Oktober 6, 2024

Diaspora dan Keragaman, Dua Hal Pelestari Bahasa Jawa

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Bahasa Indonesia lahir pada 28 Oktober 1928 melalui kongres Sumpah Pemuda. Butir ketiga Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa.

Selanjutnya, keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu sejak zaman dahulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan bahasa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bahasa daerah. Salah satu bahasa daerah yang dengan rela hati menyokong perkembangan bahasa Indonesia tak lain adalah bahasa Jawa.

Selain bahasa Minangkabau dan Sunda, bahasa Jawa termasuk embrio penting atas lahirnya lema-lema bahasa Indonesia. Hal itu bukannya tanpa pasal. Di KBBI tercatat, bahasa Jawa menyumbang 30,87 persen. Di belakangnya menguntit bahasa Minang dengan 25,86 persen dan bahasa Sunda 6,21 persen. Meskipun peran bahasa daerah lainnya tak mungkin bisa diabaikan begitu saja.

Menurut Soedjarwo dalam bukunya, Beginilah Menggunakan Bahasa Indonesia, persentuhan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa berlangsung lebih lama dibandingkan persentuhan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah lain.

Bahasa Jawa dikenal sebagai bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak. Hal itu tidak bisa dinafikan karena orang Jawa paling tidak meliputi tiga provinsi: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

Di samping itu, bahasa Jawa bisa berdiaspora ke mana saja karena banyak orang Jawa yang merantau. Salah satu faktor yang jamak diketahui melalui para penjual makanan. Anda pasti sudah kelewat kenal dengan soto lamongan, bakso solo, atau mi ayam solo. Dari sanalah salah satu misi persebaran itu dibawa.

Uniknya, bahasa Jawa di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lainnya. Di Malang dan Surabaya, anak disebut arek. Sementara di wilayah Mataraman (Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Kediri, Nganjuk, Tulungagung, Blitar, sampai Trenggalek), anak dikenal dengan istilah bocah.

Namun, sebagai bahasa daerah, seperti bahasa daerah lainnya, bahasa Jawa juga diresahkan mengalami penurunan jumlah penutur dan dikhawatirkan bisa punah. Hari ini pun, manakala mengetikkan ”bahasa daerah” di mesin pencari, entri nomor satunya mengenai kepunahan bahasa daerah.

Kenyataannya, bahasa Jawa, juga bahasa daerah lain, masih mampu menjaga eksistensinya. Mungkin memang benar bahasa Jawa tidak terlampau eksis di metropolis, di kalangan elite yang bahasa ibunya cenderung bahasa Indonesia. Namun, di desa-desa, di daerah yang bahasa ibunya bukan bahasa Indonesia, bahasa Jawa masih sangat biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Berdasar penilaian daya hidup bahasa, UNESCO (2003) menggolongkan enam tingkat keadaan bahasa. Bahasa Jawa termasuk dalam kategori ”aman”. Enam tingkat keadaan bahasa itu meliputi (1) aman: bahasa dituturkan oleh semua generasi dan transmisi antargenerasi tidak terputus; (2) rentan: bahasa dituturkan oleh anak-anak, tetapi hanya pada ranah tertentu; (3) terancam: anak-anak tidak lagi menggunakan bahasanya di rumah sebagai bahasa ibu; (4) sangat terancam: bahasa hanya digunakan antargenerasi tua, tetapi tidak kepada anak-anak; (5) hampir punah: hanya generasi tua yang dapat menuturkan, tetapi jarang digunakan; dan (6) punah: tidak ada penuturnya.

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan orang Jawa. Masyarakat Jawa tidak hanya menetap di Pulau Jawa, tetapi juga berdiaspora ke daerah lain di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Komariah dan Ruriana dalam bukunya, Bahasa Jawa di Suriname, menjelaskan bahwa persebaran masyarakat Jawa dimulai sejak zaman pemerintah Hinda Belanda.

Sejak adanya program transmigrasi dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Salah satu daerah pengiriman tenaga kerja Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa ke luar negeri adalah Suriname. Maka, jangan heran apabila bahasa Jawa berkembang pula di Suriname. Hingga saat ini, orang Jawa di Suriname berjumlah sekitar 74.000 jiwa atau sekitar 15 persen dari jumlah penduduk Suriname secara keseluruhan.

Menurut situs ethnologue.com, bahasa Jawa menempati peringkat ke-11 di dunia dari segi jumlah penutur dengan 84,3 juta. Urutan lima besar berturut-turut dikuasai bahasa Mandarin dengan 845 juta penutur, Spanyol (329 juta), Inggris (328 juta), Arab (221 juta), dan Hindi (182 juta). Di dunia, selain Indonesia tentunya, sedikitnya ada enam negara yang menggunakan bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa sehari-hari. Dikutip dari Good News from Indonesia, enam negara yang dimaksud adalah Malaysia, Singapura, Suriname, Belanda, Kaledonia Baru, Kepulauan Cocos.

Di Indonesia sendiri, bahasa Jawa tidak hanya digunakan di Jawa. Di luar pulau ini pun bahasa Jawa dipakai dalam percakapan sehari-hari. Salah satu pasalnya migrasi orang-orang Jawa ke luar pulau untuk mencari nafkah. Bahasa Jawa di Pulau Jawa dengan etnis Jawa pun mempunyai penutur yang beraneka ragam.

Secara geografis, ada penutur bahasa Jawa dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Di kawasan Solo, Yogyakarta, sampai Jawa Timur wilayah Mataraman (dulu wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram), mayoritas bahasa Jawa-nya hampir sama. Budaya Jawa Mataraman dipengaruhi oleh hasil akulturasi Jawa Timuran dan Jawa Tengahan.

Bahasa Jawa ini pun dibedakan atas bahasa ngoko (kasar), madya (biasa), krama (halus), bahkan sampai krama inggil (sangat halus). Beberapa contohnya bocah (ngoko/madya) dan lare (krama) untuk merujuk pada kata anak, kemudian kowe (ngoko), sampean (madya), dan panjenengan (krama/inggil) untuk kata kamu dalam bahasa Indonesia.

Di daerah Surabaya sampai Malang atau kawasan Arek, bahasa yang digunakan adalah arek (anak) dan koen (kamu). Kawasan ini juga lebih akrab dengan lugur untuk menggantikan ceblok (jatuh). Di wilayah pantai utara (pantura) timur yang meliputi Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang (Jawa Tengah), Tuban, dan Bojonegoro (Jawa Timur), terdapat dialek pantura dengan beberapa kosakata khas seperti jengklong (nyamuk), wong bento (orang gila), dan matoh (bagus).

Belum lagi kalau berbicara bahasa Jawa ala Suku Tengger di kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru dan bahasa Using di wilayah Banyuwangi. Bahasa Jawa Tengah bagian utara yang meliputi Tegal Banyumasan menggunakan bahasa Jawa Ngapak. Contoh bahasa yang digunakan inyong (aku), rika (kamu), dan kepriben (bagaimana).

Bahasa Jawa juga jamak dijumpai di luar pulau. Di Sumatera, migrasi orang Jawa berlangsung sejak zaman penjajahan. Menurut sejarah, kehadiran orang Jawa dalam jumlah besar di Sumatera berkaitan erat dengan permasalahan tenaga kerja di perkebunan.

Bahkan, di beberapa provinsi di Indonesia, penduduk Jawa lebih banyak daripada penduduk aslinya: Lampung, Jakarta, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur. Orang Jawa semacam memiliki komunitas tersendiri dan berkumpul di suatu daerah sehingga biasanya dikenal dengan istilah ”kampung Jawa”. Tentu saja komunikasi sehari-harinya memakai bahasa Jawa.

Jadi, siapa bilang bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa, akan punah? Tunggu dulu…

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.