Abad-21 menjadi ajang di mana seluruh persoalan tentang keadilan, perdamaian, toleransi disatupadukan dengan eksistensi penerimaan terhadap peradaban bangsa dan negara. Peristiwa ini menandakan bahwa manusia semakin membuka diri terhadap ilmu pengetahuan (scientist). Melalui laju-perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat menggembleng manusia pada taraf kesadaran tentang kepastian suatu objek. Pada tingkat kesadaran ini, manusia dihadapkan oleh asal-usul dan tradisi yang melingkupinya.
Sebagaimana manusia dikatakan sebagai makhluk berbudaya, maka dia tidak dapat dilepaskan dari asal-usul dan tradisi. Asal-usul dan tradisi yang dimaksudkan di sini berhubungan erat dengan iman dan kepercayaan. Iman, merujuk kepada dimensi keagamaan tentang realitas yang Ilahi dalam hal ini adalah Allah. Sedangkan “kepercayaan” menunjuk pada tradisi atau kebudayaan setempat tentang eksistensi para leluhur. Kedua dimensi ini secara tidak langsung membentuk nilai peradaban manusia.
Asia sendiri merupakan suatu ruang religius yang di dalamnya terdapat kompleksitas manusia beragama. Ada dua bentuk agama di Asia yakni agama universal yang diakui oleh negara dan agama lokal (agama tradisional). Dengan demikian Asia menjadi salah satu benua yang telah mengalami nilai peradaban yang luarbiasa. Ada nilai yang diangkat dalam suatu peradaban yakni pola normatif pribadi manusia. Benar dan salah baik dan buruk, sejatinya diajarkan oleh agama. Pengetahuan akan realitas tertinggipun adalah suatu pengajaran yang diturunkan dari agama. Kehadiran agama, di satu sisi melahirkan ilmu pengetahuan baru terhadap umat manusia untuk mengenal siapa penciptanya.
Penempatan antara kedua ajaran agama universal dan tradisional pada prinsipnya mengarah kepada pendekatan. Pendekatan sebagai metode sosialisasi untuk menghubungkan fenomen iman kepercayaan terhadap Allah yang Esa dan leluhur yang diyakini dalam suatu teritori kebudayaan. Metode pendekatan ini secara tidak langsung membutuhkan “bahasa” sebagai perantara. Melalui bahasa, misi penyatuan dua ajaran iman dan kepercayaan dapat dicapai.
Agama universal dan praktek hidup kebudayaan di Asia pada umumnya telah melakukan pendekatan walaupun masih terbilang jauh dari keberhasilan. Hal ini dipengaruhi oleh ketidaksiapan manusia untuk menerima suatu ajaran baru. Namun, ada juga yang mengalami keberhasilan, sebut saja Indonesia. Indonesia dengan jumlah pulau 17.504 pulau dan 1.340 suku bangsa, dapat menyatukan keberagaman suku budaya dan agama. Bagaimana hal ini dapat terjadi, tentunya memiliki karakter utama sebagai fondasi penyatuan. Sebut saja “Pancasila” sebagai fondasi utama dalam menyatukan keberagaman.
Gerejapun sebagai lembaga religius memiliki hal yang sama untuk menyatukan umat manusia. Sejatinya mengantar manusia untuk memaknai hakikat Allah yang universal. Allah yang tidak terbagi hanya pada segelintir kelompok ataupun organisasi, tetapi Allah yang merangkul seluruh aspek kehidupan. Allah inilah yang diwartakan oleh Gereja Katolik. Sebagaimana Gereja Katolik dengan kekhasannya sebagai kesatuan yang kudus, apostolik merangkul seluruh aneka wajah dan budaya melalui dialog.
Dialog digunakan untuk merangkul segenap umat manusia, baik itu kaum kapitalis, borjuis ataupun mereka yang disingkirkan dari kehidupan manusia. Segala aspek kehidupan manusiapun dirangkulnya, politik, ekonomi sosial dan kebudayaan selalu menjadi topik perbincangan di mana manusia mengalami degredasi.
Gereja tidak hanya berdiam pada satu zona nyaman tetapi bertindak atas segala aspek kehidupan yang mengancam perkembangan hidup manusia. Misalnya dalam kebudayaan primitif sekalipun, Gereja tetap berusaha untuk masuk ke dalamnya agar kehidupan manusia itu disempurnakan dengan mempertemukan, budaya baru yang sarat dengan ilmu pengetahuan.
