Sabtu, Oktober 5, 2024

Dialektika Hukum Kepemiluan

Kristianus Jimy Pratama
Kristianus Jimy Pratama
Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Legal Researcher of Social Sciences and Humanities Research Association.

Dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan, hukum dan politik merupakan dua hal yang memiliki keterikatan secara timbal balik. Hubungan timbal balik antara hukum dan politik tersebut sejalan dengan sebuah adagium yang menegaskan bahwa politik tanpa hukum akan menimbulkan anarkis namun hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh. Salah satu pengejawantahan dari hubungan timbal balik antara hukum dan politik dimaksud tercermin pada praktek pembentukkan produk hukum.

Dimana dalam praktek pembentukkan produk hukum dewasa ini, masyarakat dapat berperan serta untuk memberikan aspirasinya termasuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang kemudian dihentikan pembahasannya. RUU Pemilu sendiri merupakan suatu upaya unifikasi perangkat hukum kepemiluan.

Di mana perangkat hukum kepemiluan yang dimaksud terdiri dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu aquo) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada aquo).

Suatu Diskursus

Apabila mencermati keseluruhan substansi RUU Pemilu, setidaknya terdapat tiga substansi pengaturan hukum kepemiluan yang dapat menjadi suatu diskursus. Substansi yang pertama adalah diterapkannya istilah pemilu nasional dan pemilu daerah.

Mengimplementasikan istilah pemilu nasional dan pemilu daerah dalam RUU Pemilu memiliki dua implikasi. Implikasi yang pertama adalah penggunaan kedua istilah tersebut menjadi respon dari pembentuk produk hukum terhadap polemik penyebutan istilah kontestasi politik di daerah.

Namun implikasi yang kedua adalah dengan dijelaskannya definisi istilah pemilu nasional dan pemilu daerah dalam ketentuan Pasal 1 angka (2) dan angka (3) RUU Pemilu akan dapat dimaknai bahwa pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian dari pemilu nasional. Hal ini secara tidak langsung tidak sesuai dengan paradigma sosiologis dari kelembagaan DPRD yang dikonstruksikan sebagai representasi pemilih daerah untuk lembaga kekuasaan legislatif di tingkat daerah.

Mengacu kepada dua implikasi tersebut, seyogyanya istilah pemilu nasional dan pemilu daerah tidak perlu untuk dimuat dalam ketentuan RUU Pemilu dikarenakan penyebutan istilah pemilu pada masing-masing pemilu baik yang dilakukan secara nasional ataupun daerah telah diatur pada ketentuan Pasal 1 RUU Pemilu.

Substansi yang kedua adalah mengenai upaya yang sebelumnya dilakukan oleh sejumlah fraksi partai di Dewan Perwakilan Rakyat  Republik Indonesia (DPR RI) untuk melakukan normalisasi waktu penyelenggaraan pemilu gubernur, bupati dan walikota serentak menjadi tahun 2022 dan tahun 2023.

Merujuk pada ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU Pemilu aquo, pemilu gubernur, bupati, dan walikota secara serentak  sendiri akan diselenggarakan pada bulan November 2024. Apabila mencermati pandangan sejumlah fraksi DPR RI yang menolak usulan normalisasi tersebut adalah terkait dengan alasan khusus pandemi.

Pandangan tersebut justru menunjukkan inkonsistensi sejumlah fraksi DPR RI tersebut dalam pengambilan kebijakan untuk tetap menyelenggarakan pemilu gubernur, bupati, dan walikota secara serentak tahun 2020. Sehingga apabila dipahami secara mendalam, usulan untuk melakukan normalisasi merupakan langkah preventif bagi pembentuk produk hukum untuk tidak mengulang dampak buruk dari tingginya beban penyelenggara pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019.

Substansi yang ketiga adalah pengaturan RUU Pemilu terkait larangan bagi calon peserta pemilu baik yang dilakukan secara nasional ataupun daerah untuk tidak terlibat atau bekas organisasi terlarang seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk organisasi massanya dan bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI.

Pengaturan tersebut merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh pembentuk produk hukum. Namun yang perlu digarisbawahi adalah mekanisme penyelenggaraan pemilu untuk membuktikan bahwa calon peserta pemilu baik di tingkat nasional ataupun daerah tidak menganut paham dari organisasi-organisasi terlarang tersebut.

Hal ini perlu menjadi catatan penting bagi pembentuk produk hukum apabila hendak membahas RUU Pemilu pada masa mendatang untuk memahami bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi anggota organisasi terlarang untuk dapat menganut paham dari organisasi terlarang tersebut.

Sehingga RUU Pemilu juga perlu mengatur mengenai tanggung jawab partai pengusung calon peserta pemilu hingga penyelenggara pemilu untuk memiliki mekanisme yang komprehensif dan efisien untuk menghadirkan calon-calon pemimpin nasional dan pemimpin daerah yang berintegritas dan berkualitas untuk pembangunan secara berkelanjutan.

Kristianus Jimy Pratama
Kristianus Jimy Pratama
Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Legal Researcher of Social Sciences and Humanities Research Association.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.