Rabu, April 24, 2024

Kemacetan, Semua Satu, Tak Terpecahkan

Reinard L. Meo
Reinard L. Meo
Freelancer dan relawan sosial siap pakai. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Tinggal di Bajawa, Flores, NTT.

Bulan suci Ramadan hampir usai. Ajakan untuk berpuasa tak seseru tahun-tahun sebelumnya. Ini semua gara-gara Lord Amien dan 22 Mei itu, yang bikin konsentrasi buyar sana-sini. Tambah lagi sosmed yang sejenak tak normal, bikin sial. Bodo amat. Intinya sebentar lagi Lebaran. Horeeeee…. libur. Sesama Muslim akan mudik, yang bukan Muslim, kebagian jatah jalan-jalan, tidur-tidur sampai kasur hancur, mabuk-mabuk minum tuak sampai pagi.

Ada mudik, jelas ada macet. Demikian logika paling valid sepanjang sejarah Indonesia. Hehehehe. Pemerintah pusing, pihak keamanan pening. Andai saja tak ada kampung, atau pembangunan tidak kota-besar-sentris, mudik tentu tak ada. Mudik, buat saya, bukan pertama-tama karena ada pihak yang lagi menanti kepulangan, tetapi karena memang perhatian Negara tidak merata yang buat orang-orang pergi tinggalkan rumah.

Tentang macet ini, Kakak-kakak di kota besar jangan putus asa. Bukan nasib Kakak-kakak saja. Kami di Flores, yang tidak punya tradisi sistematis-masif macet ini, sesewaktu juga bisa alami macet. Jadi, bila memang kita terlanjur terbelah karena pilihan politik, karena situ Kampret sana Cebong dan situ-sana Golput, ada dua hal yang enteng saja menyatukan kita. Yah, di hadapan blue film dan macet, kita semua satu dan tak terpecahkan. Eaaaa…eaaaa….

Kok bisa, Flores macet?

Kebutuhan akan BBM

Jumlah Pertamina atau pom bensin di daratan Flores, mulai dari timur Larantuka sampai barat Labuan Bajo, dapat dihitung dengan jari. Cukup satu kali over-land ini, jumlahnya sudah bisa dihitung. Ia, Flores ini kecil saja. Besar karena efek komodo dan mendadak besar gara-gara esai saya di Mojok sebelumnya yang tolak Flores jadi calon Ibukota Negara itu. Hehehe…..

Karena sedikit, di beberapa kabupaten semisal Ngada dan Manggarai Timur, malah cuma dua jumlahnya. Sudah, jangan tertawa gitu dong Kak. Bayangkan, cuma dua, Ledis n’ Jentelmen, tapi jumlah kendaraan banyak. Macet adalah itu, ketika roda dua, empat, dan seterusnya berbaris di sisi jalan untuk antre, sedang kita yang sudah full tangki sebelumnya, butuh jalan untuk lewat.

Macet adalah itu, ketika ruas jalan yang pada hakikatnya sempit itu, dibuat makin sempit oleh kebutuhan akan bahan bakar. Saking lamanya berdempet-dempetan dalam macet macam ini, Kakak-kakak bisa kelar tuh tumbuk kopinya. Uhukkkk..

Tenda kedukaan

Flores ini sebetulnya elok. Ia, elok dong. Hanya sesekali bisa jadi kacau minta ampun. Salah satunya, gara-gara ada kematian, dan tenda kedukaan untuk menampung sidang perkabungan makan separuh bahkan semua ruas jalan depan rumah duka.

Atas dasar belasungkawa, kemacetan kerap kami terima sebagai bagian dari solidaritas. Sudah, sabar saja, ada kedukaan di depan sana. Demikian nasihat bijak yang orang Flores ucapkan pada dirinya sendiri. Dalam kemacetan model ini, orang Flores tidak butuh polantas. Orang Flores hanya butuh kesadaran bahwa, oke, kali ini kita macet karena mereka, kali berikut mereka macet karena kita. Dalam kemacetan macam ini, orang Flores menyadari kefanaannya. Apa sih? Hahahaha…

Hari pasar

Di Flores, ada satu tempat namanya Mataloko. Di Mataloko, sebelum beberapa tahun lalu dipindahkan, ada pasar tradisional yang berlangsung tiap Sabtu. Pasar ini diapiti lapangan sepakbola Kelurahan Todabelu dan ruas jalan trans-Flores. Trans-Flores, Kakak, tapi sempit. Sesempit ruang hatiku yang tidak lagi luas karena sudah ada kamu di situ. Cihuuiii…

Dari Jumat malam sampai Sabtu sore, sudah pasti macet. Macet adalah itu, ketika mobil-mobil milik pedagang parkir cuek di pinggir jalan, padahal itu jalan trans-Flores. Macet adalah juga itu, ketika pasar sesak, beberapa pedagang merampok sebagian ruas jalan untuk membentangkan barang dagangannya. Mulai dari jeriken tuak putih sampai botol-botol minyak tanah, mulai dari sayur pucuk labu sampai ember-ember ikan yang tak lagi segar.

Macet di pasar Mataloko adalah kemacetan yang legendaris. Dia berada tepat di titik tengah Pulau Flores, dan alasan kemacetan itu dikarenakan kebutuhan ekonomi. Pembeli butuh makan, penjual butuh duit, dan kemacacetan dalam konteks relasi ini adalah kemacetan yang hanya bisa dimaklumi, tanpa bisa diprotes.

Legendaris? Sebenarnya sih tidak legendaris-legendaris amat. Saya saja yang merasa legendaris, karena tiap Sabtu, saat SD dulu, jatah main bola kami dirampas oleh anjing dan kambing-kambing yang dijual sampai ke setengah lapangan. Legendaris karena, dari saya SD sampai hampir tamat kuliah, pasar Mataloko akan macet terus tiap Sabtu.

Pesta Sambut Baru

Dalam ajaran Katolik, ada istilah Sakramen. Sakramen adalah sarana, lewatnya Allah yang orang Katolik imani membuktikan kedahsyatan penyelamatan-Nya. Ada tujuh sakramen, salah satunya Sakramen Ekaristi. Seseorang, umunya anak SD kelas empat atau lima, untuk pertama kali menerima Tubuh dan Darah Kristus dalam rupa roti dan anggur. Di Flores, syukuran atas Sakramen ini kemudian menyejarah sebagai Pesta Sambut Baru, yang semestinya Pesta Baru Sambut. Yah, baru sambut Kristus, kalau mau sedikit lebih logis.

Sungguh bukan fakta baru lagi, kemacetan akan pecah di mana-mana karena dalam satu paroki, ada lebih dari tiga SD dengan jumlah penerima Sakramen Ekaristi tidak kurang dari sepuluh anak. Bayangkan saja, semua anak bikin pesta. Yang tidak punya anak atau anak anggota keluarganya sudah Sambut Baru tahun lalu atau baru akan Sambut Baru tahun depan, harus pindah-pindah dari satu tenda ke tenda yang lain. Otomatis macet. Belum lagi hujan rintik-rintik, becek, macam di Ruteng sepanjang beberapa hari Minggu yang baru lewat.

Dalam Pesta Sambut Baru, orang Flores alami kemacetan yang transendental serentak imanen. Hahaha.. Orang Flores punya kemacetan yang sebabnya datang dari Allah yang mau menyelamatkan umat-Nya, juga dari umat-Nya yang tidak mau kebaikan Allah itu tidak dirayakan dengan tuak, musik, dan joget-joget sampai bisa baku pukul gara-gara mabuk. Sungguh kemacetan yang teologis dan kontekstual kan, Kaka-kaka?

Jadi, kurang lebih saya mau bilang seperti itu. Di hadapan macet, kita semua ini sebetulnya bersaudara. Kaka-kaka di kota besar saja yang kadang lebay. Hanya karena sering masuk tivi, Kaka-kaka pikir hanya Kaka dorang yang punya macet? Kami juga punya, tra usa geger! ***

Reinard L. Meo
Reinard L. Meo
Freelancer dan relawan sosial siap pakai. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Tinggal di Bajawa, Flores, NTT.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.