“Musik dangdut dan masyarakat punya kedekatan secara historis, dangdut pun mempunyai sebuah hubungan unik dalam proses politik di Indonesia”.
Musik dangdut tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat penggemarnya di Indonesia. Bahkan genre musik dangdut, banyak jadi pilihan politisi, partai politik dan pilpres dalam aksi pagelaran kampanye politiknya. Dalam konteks ruang dan waktu musik dangdut punya peranan beserta pengaruh tersendiri, kehadirannya sebagai wujud budaya ekspresif, media komunikasi estetis bahkan etik, yang mempengaruhi aspek psikologis, sosial dan politik. Lirik lagunya merupakan refleksi interaksi simbolik yang dapat digunakan sebagai sarana pencerahan berdemokrasi.
Dalam Industri budaya populer musik dangdut identik dengan fetisisme, masyarakat konsumen dibajak dalam kesadaran palsu yang bersifat ilusif. Pembakuan beragam jenis musik merupakan sebuah rekayasa estetis menjadi satu barang dagangan yang karakteristiknya ditentukan oleh pangsa pasar dan dikendalikan para pemilik modal.
Sejarah musik dangdut berakar dari musik melayu 1940-an, yang sangat kental unsur musik dari India dan Arab. Kepopuleran musik dangdut makin melambung pasca Soneta Group muncul di akhir 1970-an, Rhoma Irama sebagai komando dengan julukannya Sound Of Moslem dan Raja Dangdut. Bahkan, kepopulerannya memicu reaksi negatif beberapa musisi-musisi diluar musik dangdut. Mereka beranggapan, jika dangdut sebagai musik kampungan, musik kalangan bawah atau musik rakyat miskin.
Keberpihakan
Meskipun dianggap musik kampungan, dangdut sebagai cabang seni berpotensi menjadi media menyampaikan pesan. Dalam pertunjukannya, kapabilitas musikalitasnya dipertaruhkan untuk mengimbangi idealisme orasi politik yang syarat keberpihakan politis. Musik dangdut memiliki pengaruh, pesonanya tersendiri, menjadi penghantar partisan di setiap pertunjukan kampanye-kampanye politik.
Lantunan vokal biduan (artisnya), Irama gendang dan aktraktifnya goyangan tubuh dalam setiap aksi pertunjukannya seakan mampu menggiring massa menjadi sebuah citra-rasa tersendiri bagi penontonnya. Musik dangdut pun dapat menjadi ritual pelampiasan masyarakat atas persoalan himpitan hidup dalam kesenjangan lingkungan sosialnya.
Pertunjukan dangdut dalam kampanye politik di Indonesia seperti menjadi kelaziman, meskipun peranannya dalam dunia politik ada perubahan. Seperti, biduannya menjadi brand ambassador partai politik tertentu. Kepopuleran musik dangdut dimanfaatkan pada setiap hajat kampanye politik sebagai penarik simpatik publik, pengumpul massa dan unjuk kekuatan massa. Bahkan, tudingan sebagai alat politik pun selalu menudungi setiap aksi-aksi pertunjukannya.
Keterlibatan budaya popular dan penggunaan musik popular di setiap kampanye politik hampir rata-rata dimanapun itu selalu digunakan. Seperti kampanye Donald Trump dan Hillary Clinton tahun 2016 di USA, meskipun terdapat perbedaan yang signifikan dalam pemilihan genre musik mereka. Donald Trump mewakili Partai Republik yang berkecenderungan konservatif memilih genre musik yang berbau orchestra bahkan cenderung berbau militer untuk mengenalkan nilai-nilai patriotisme Amerika pada masyarakatnya. Hillary Clinton cenderung menggunakan musik modern yang agak dinamis, cenderung bahagia dan lebih mengarah ke humanis sesuai dengan penanda Partai Demokrat yang lebih liberal.
Musik merupakan alat menciptakan ruang publik sebagai ekspresi masyarakat dalam partisipasi politiknya. Meskipun tidak semua jenis musik bisa digunakan pada kampanye politik, sebab ada penyesuaian tema, tempat, visi-misi dari kepentingan kampanye politiknya.
Daya tarik musik dangdut pernah dimanfaatkan oleh Lestari Moerdijat caleg DPR RI dapil 2 Jawa Tengah (Kabupaten Demak, Kudus dan Jepara) pada Pileg 2019 dari Partai Nasional Demokrat sebagai media kampanye yang berhasil mendulang sukses dan menghantarkannya menjadi DPR RI. Meskipun strategi-taktiknya tidak hanya memanfaatkan dangdut sebagai hiburan, kegiatan sosial lain juga digunakan sebagai mesin pendulang suara pemilihnya.
Pendidikan politik dan mobilisasi massa
Pemilihan strategi politik yang memanfaatkan musik dangdut merupakan olah pemikiran untuk menggapai tujuan dengan langkah-langkah taktis yang diselaraskan dengan kondisi, situasi di lapangannya. Strategi politik ini, dapat diterapkan pada kondisi, waktu, tempat tertentu, jika segmentasinya bertujuan mengindentifikasi pemilih potensialnya, loyalisnya, idiologi politik dari simpatisannya. Sebab, karakteristik setiap masyarakat akan membutuhkan metode pendekatan yang berbeda-beda.
Pemilu dengan musik dangdut seperti tak dapat terpisahkan, Ibarat sayur tanpa ada garam akan berasa hambar. Dalam hajatan kampanye politik dengan panggung musik dangdut masih begitu relevan dan strategis sebagai alat memobilisasi massa agar tergerak sadar ataupun tidak, ikut menghadiri kampanye politik. Dangdut pun, telah memberikan nafas sejarah kehidupan politik Indonesia yang identik dengan narasi goyangan dangdut dalam setiap aksi-aksi panggungnya.
Objek pagelaran musik dangdut dalam kampanye politik secara umum disambut baik sebagai media hiburan yang membuat massa tertarik mengikuti, meski sebagai nukilan, musik dangdut punya andil membangun penekanan narasi politik dalam hajat demokrasi elektoral. Meskipun, tereksploitasi sementara secara artifisial, dangdut akan selalu menyapa pada setiap kampanye politik. Suara bolehlah sumbang, para politisi bolehlah memberikan janji-janjinya dan goyangan dangdut pun tak akan tergantikan.
Ironisnya, apabila masyarakat itu datang demi menonton biduan (artis) dangdutnya dan bukan dorongan urgensinya berpolitik secara ideologis, orasi-orasi politik pun terkadang menjadi tidak penting dan cenderung diabaikan. Dangdut bukan sekedar bergoyang dengan irama musiknya, dangdut pun kini jadi pigmen tersendiri dalam politik elektoral. Bisa jadi, dangdut politik yang kini tengah diperagakan merupakan potret labilnya demokrasi, sebab demokrasi kita masih bisa digoyang dengan politik uang atau money politic.
Upaya mewujudkan persepsi positif atas keintiman musik dangdut dengan politik di masyarakat harus dilakukan. Memberi kontinuitas pemahaman secara sistematik, terstruktur, komunikatif serta membangun dialog, menjadikan masyarakat sebagai subjek (bukan sebagai objek) demi substansi nilai-nilai demokrasi dan pendidikan politik tataran infrastruktur, suprastruktur politik dari pusat hingga daerah, menyebar ke semua lapisan masyarakatnya secara lebih meluas guna memperkokoh kesinambungan demokrasi di Indonesia.
Menghadirkan masyarakat untuk terlibat langsung secara aktif sebagai pendidikan politik pada level grassroots melalui program kerja politiknya, ideologi yang ditawarkan secara lebih faktual, utuh, dengan dialog interaktif. Berperan aktif mendewasakan perilaku masyarakatnya untuk berpartisipasi politik dan musik dangdut sebagai interaksi simbolik yang mempersatukan nilai-nilai universal kehidupan berbangsa. Bukan mereduksinya sebatas kontestasi ataupun kemasan politik sebagai mesin pendulang suara di setiap aksi panggung kampanye politiknya. Semoga.