Kamis, Oktober 3, 2024

Deviasi Kampanye Pemilu 2019

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)

 

Masa kampanye pemilu presiden 2019 tinggal beberapa minggu lagi. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden semakin gencar melakukan safari politik ke basis-basis pemilih guna meraup suara. Berbagai manuver propaganda politik mengemuka di berbagai ruang publik. Arena pertarungan menggema, riuh dan gemuruh akan semakin meninggi menuju hari pelaksanaan pemilihan umum pada, 17 April 2019.

Di antara 11 tahapan pemilu, tahapan kampanye merupakan hal yang paling penting bagi rakyat. Melalui kampanye, para calon presiden dan wakil presiden memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih. Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak.

Namun sayangnya, kampanye Pilpres hingga saat ini masih minim gagasan, membosankan, dan belum banyak menyentuh substansi permasalahan kebangsaan. Kampanye masih berkutat pada isu-isu kulit permukaan. Dalam kondisi ini, kampanye menjadi bias makna, kental seteru kepentingan, bukan lagi ajang pembelajaran politik, yang seharusnya open minded dan memberikan maslahat.

Terjebak Sinisme Politik

Semakin hari, perjalanan menuju pilpres 2019 dirasa semakin mengkhawatirkan, terutama mengenai konten kampanye atau substansi yang mereka “tawarkan” ke publik. Kampanye pilpres yang sejatinya menjadi ajang adu gagasan, rencana program, dan kreativitas justru berubah menjadi arena saling sindir, saling serang pernyataan, dan saling “baper” antara masing-masing paslon.

Dalam hal politik identitas, pihak penguasa maupun oposisi sama-sama menggunakan perangkat agama dalam permainan politik.  Satu pihak menyebut agama sebagai alat pembenar “ikhtiar” politiknya, sementara pihak lain menggunakan agama untuk memuluskan kekuasaannya. Kedua kubu pun serasa memiliki “saham agama”. Ironisnya perdebatan ini terus dilakukan secara berulang mengakibatkan terciptanya tsunami sinisme politik di mana-mana.

Secara umum, gaya Politik Sinisme tersebut bisa kita lihat dari empat bentuk utama. Pertama, penyampaian pesan yang selalu parsial, cenderung dangkal, tidak substansial, bahkan cenderung mengadaada. Kedua, kritik yang dilakukan selalu serampangan tanpa data akurat, minim subtansi dan solusi, sekadar untuk memukul lawan. Ketiga, penyampaian pesan emosional, yang menunjukkan kegeraman atau mengarah pada agitasi. Keempat, kebiasaan menyinggung lawan lewat pesan-pesan yang sumir dan multitafsir. Tak ayal, hal ini menimbulkan polemik ditengah masyarakat.

Di media sosial, polarisasi pilihan capres dan cawapres semakin menguat. Para peserta pemilu, mulai dari Capres sampai anggota Timsesnya lebih asik ‘berbalas pantun’ dengan konten dan diksi yang tidak mencerdaskan. Badai dikotomi anatara kelompok ‘cebong’ dan ‘kampret’semakin kuat frekuensinya dengan saling ejek mengejek secara vulgar, menyebabkan media sosial sangat pengap dipenuhi dengan aroma dan bumbu-bumbu kebencian.

Fenomena sinisme politik ini semakin diperparah dengan banyaknya berita bohong (hoax) yang diproduksi dan disebarkan diberbagai media. Ironisnya, banyak pula para elit politik dan kaum intlektual yang memviralkan bahkan ikut melegitimasi atas berita bohong (hoax) yang beredar tersebut. Di titik ini, masyarakat semakin sulit mendapatkan rujukan berita atau liputan atas sebuah pristiwa di panggung nasional yang mengasah nalar politik yang berkeadaban.

Harold Adams Innis seorang ilmuwan Kanada dalam bukunya The Bias of Communication (1951) mengatakan bahwa monopoli informasi lambat laun akan mempengaruhi dan “menyeimbangkan” sebuah sistem. Ada kecenderungan pendidikan politik bergeser menjadi marketing politik. Marketing semacam ini dikemas dengan berbagai isu dan terus digelontorkan dalam setiap pemilihan.

Perang propaganda elite membuat wajah demokrasi penuh cacian. Parpol menjelma sebagai orkestra nyanyian sinisme. Elite-nya bak konduktor yang menginstruksikan nada-nada sekat dalam berkontestasi. Alhasil, yang diperlihatkan oleh para opinion leader bukanlah sebuah pesan komunikasi politik yang mendidik dan berkualitas, melainkan konstelasi ajang akrobat sinisme elite yang dibalut dengan bumbu agama.

Implikasinya, di tataran akar rumput, masyarakat semakin gampang tersulut dan terkontaminasi untuk kemudian masuk kedalam wilayah saling hujat tanpa beralaskan objektivitas dan interpretasi politik yang jernih. Masyarakat sebagai pemilik ‘kekuasaan politik mini’ di dunia maya (social media), kini telah menjadi sasaran  sindrom kekuasaan para elite yang terjangkit virus demagogisme, sebuah ungkapan kekhawatiran Aristoteles akan rusaknya tatanan demokrasi.

Kampanye Berkualitas

Tren politik nyinyir atau sinisme yang dilontarkan parpol dan elite-nya tentu harus segera diselesaikan dan diganti dengan Kampanye secara berkualitas. Meskipun sinisme politik ini memang tidak mematikan secara fisik, namun Efek dari politik sinisme ini bisa jangka panjang, karena akan berdampak terhadap polarisasi masyarakat yang bisa menimbulkan kekacauan politik (political chaos) yang sangat sukar untuk diurai..

Paling tidak, ada tiga indikator utama yang harus penuhi dan dijalankan oleh setiap pasangan calon untuk menghasilkan kampanye yang berkualitas.

Pertama, strategi yang dijalankan tidak merusak tenun keberagaman sebagai sebuah bangsa. Dalam suasana kampanye, godaan untuk menggunakan segala cara, termasuk pembunuhan karakter, kampanye hitam, propaganda, dengan mengeksploitasi isu-isu SARA yang berdaya ledak tinggi memang sangat efektif namun tidak mendidik.

Membawa sentimen agama kedalam pusaran politik dengan memobilisasi massa lewat demonstrasi-demonstrasi besar harus disudahi. Jika ada ketersinggungan, misalnya, terhadap pelaku pembakaran bendera yang kerap diasosiasikan dengan kalimat tauhid, biarlah pelakunya diproses secara hukum. Janganlah isu SARA seperti pernah terjadi di Pilkada DKI dan Amerika Serikat kembali mendominasi dan memanaskan pilpres.

Kedua, sumber pendanaan kampanye tidak menimbulkan persoalan, atau membebani paslon bersangkutan di masa mendatang. Misalnya, dana kampanye yang digelontorkan dari para ‘investor’ baik perorangan maupun korporasi yang punya kepentingan dengan sejumlah proyek pemerintah sehingga menimbulkan istilah “hutang budi”

Jika capres maupun cawapres sudah terikat hutang budi yang besar, maka kekuasaan biasanya hanyalah menjadi alat yang nyaman bagi para pemburu renten di masa mendatang. Sehingga, kekayaan negara hanya akan menjadi bancakan segelintir orang yang ujungnya tercipta Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam demokrasi, tentu ini sangat membahayakan.

Ketiga, kampanye yang mengambil cara pragmatis dengan membeli suara pemilih (vote buying) harus disudahi. Karena, Politik uang dengan ragam penyamarannya yang sudah dianggap biasa dan seolah-olah sah untuk dilakukan, akan merusak etos demokratik, sehingga membuat pemilu presiden tak bisa melahirkan pemimpin berkulitas.

Semoga kedepan, badai sinisme ini segera mereda, sehingga kita sebagai generasi muda bisa berkesempatan untuk belajar pola interaksi dalam berpolitik sebagaimana mestinya. Karena politik itu akan memberikan dampak yang baik apabila dilakukan secara benar.

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.