Selasa, Juni 17, 2025

Desentralisasi Kebudayaan: Dilema Esensi dan Ekonomi

Muh Wahyu
Muh Wahyu
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, tertarik pada isu HAM dan Demokrasi.
- Advertisement -

Undang-undang pemajuan kebudayaan sebagai blueprint tata kelola kebudayaan di Indonesia merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa. Sejak kongres kebudayaan pertama pada 1918 hingga republik ini berdiri belum pernah dirumuskan satupun undang-undang yang secara holistik menjadi acuan bagaimana kebudayaan dapat dikerangkai untuk menghasilkan sebuah rencana induk yang dapat menjadi pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan setiap orang dalam melaksanakan Pemajuan Kebudayaan. Hal ini menandai tonggak penting dalam sejarah kebijakan budaya Indonesia, karena negara tidak hanya hadir sebagai pelindung warisan budaya, tetapi juga sebagai penggerak sistematis yang memberi arah strategis dalam menghadapi tantangan budaya kontemporer.

Mengembalikan kebudayaan ke tangan rakyat menjadi tema besar dengan “membebaskan” rakyat untuk mendefinisikan kebudayaannya masing-masing dengan memulainya di tingkat daerah. Hasilnya, akan dikodifikasi dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) untuk menentukan objek kebudayaan apa yang perlu “dimajukan”  sekaligus menjadi akar dari seluruh proses pembangunan kebudayaan. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan juga mengamanatkan 4 upaya yakni pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, serta pembinaan. Ketiga upaya terakhir masyarakat diberikan tanggung jawab penting untuk menggunakan “kebebasannya” dalam memajukan kebudayaan sedangkan pemerintah cukup berperan sebagai fasilitator.

Namun apakah kebebasan sebagai nalar utama pemajuan kebudayaan di daerah dapat menghasilkan kebudayaan sebagai laku hidup masyarakat? Ataukah agenda pemajuan kebudayaan justru menjadi mekanisme canggih untuk mendorong logika pembangunan yang berfungsi meningkatkan nilai jual bagi daerah serta mencipta kebudayaan yang “laku” bagi pengunjung?

Ketika Kebudayaan Menjelma Komoditas: Reduksi Makna dalam Pusaran Ekonomi Lokal

Pasca-Orde Baru, sebuah fenomena penting yang muncul adalah penemuan kembali tradisi lokal dan bentuk politik (seperti struktur nagari di Sumatera Barat), setelah homogenisasi budaya yang mandul dan sentralisasi politik di era Soeharto (Fealy 2013). Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya Orde Baru menggunakan kebudayaan, melalui proses homogenisasi, sebagai alat untuk pembangunan bangsa yang sepenuhnya dikendalikan dari pusat kekuasaan.

Tod Jones dalam bukunya Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia (2015) mengungkapkan salah satu poin penting pergeseran kebudayaan di Indonesia pasca orde baru adalah kebudayaan harus menekankan pada penciptaan lapangan kerja dan pendapatan dari kebudayaan melalui pariwisata dan melalui industri kreatif. Pada konteks pemajuan kebudayaan, tujuan ekonomis ini masih belum dikerangkai ulang seperti tercantum di pasal 4 yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Alhasil, kebebasan dan partisipasi masyarakat dalam kebudayaan beralih dari otonomi menjadi bentuk keterlibatan yang didorong oleh kebutuhan akan nilai, efisiensi, dan daya saing. Dampak dari penerapan logika ini adalah pasar dan rasionalitas ekonomi menjadi dasar bagi mekanisme kebijakan kebudayaan di daerah. Kebebasan dan partisipasi masyarakat dalam kebudayaan tidak lagi dimaknai sebagai otonomi penuh, melainkan sebagai bentuk keterlibatan yang didorong untuk menghasilkan nilai, efisiensi, dan daya saing.

Dampaknya reduksi nilai dan makna kebudayaan menjadi sebuah keniscayaan. Kebudayaan secara intrinsik kaya akan spiritualitas, sejarah, identitas, emosi, dan relasi komunitas yang tidak selalu memiliki tujuan utilitarian. Namun, ketika berhadapan dengan logika ekonomi, kebudayaan mulai dinilai berdasarkan nilai tukar ekstrinsiknya: berapa profit yang bisa dihasilkan, berapa banyak audiens yang tertarik, atau seberapa besar kontribusinya terhadap ekonomi. Ini mengubah makna tarian dari ritual suci menjadi pertunjukan turis, ritual dari proses penghayatan menjadi agenda event yang dijadwalkan, dan bahkan identitas menjadi sekadar branding yang bisa dijual. Esensi budaya yang “dihidupi” terancam digantikan oleh budaya yang “dikonsumsi.”

Desentralisasi dan Ilusi Otonomi Budaya: Studi Kasus Bissu di Sulawesi Selatan

Praktik ambivalensi dalam nalar dan praktik tata kelola kebudayaan di daerah bukanlah sekadar kekhawatiran teoretis, melainkan realitas empirik yang telah ditunjukkan dalam penelitian Feby Triadi (2019) mengenai ritual Bissu di Sulawesi Selatan.

Triadi menemukan bahwa keterlibatan pemerintah daerah dan pihak eksternal dalam praktik budaya tidak lagi sebatas fasilitasi, melainkan mengarah pada intervensi dalam bentuk penjadwalan, formatisasi, dan penyesuaian ritual agar cocok untuk konsumsi wisata dan ekspektasi tamu kehormatan. Misalnya, prosesi Mappalili dan tarian maggiri yang dalam konteks tradisional memiliki makna spiritual dan kekhusyukan tersendiri diubah menjadi pertunjukan yang terikat jadwal resmi, dikemas rapi, dan ditampilkan atas dasar permintaan sponsor atau pengunjung.

Dalam konteks ini, kebudayaan tidak lagi dijalankan karena kebutuhan simbolik internal komunitas, tetapi karena kebutuhan eksternal yang ditentukan oleh logika ekonomi, tata kelola pariwisata, dan ekspektasi pasar. Pemerintah daerah berperan aktif dalam mendorong proses ini, baik secara langsung melalui dukungan program maupun secara simbolik dengan menjadikan budaya sebagai bagian dari “daya tarik daerah.” Akibatnya, makna-makna yang tak dapat dikuantifikasi seperti kesakralan, pengalaman batin, atau relasi spiritual antar manusia dan alam digeser oleh indikator performa yang dapat diukur: jumlah penonton, eksposur media, dan nilai promosi.

- Advertisement -

Dalam konteks desentralisasi di Indonesia, persoalan pemajuan kebudayaan bukanlah semata perihal pelepasan kekuasaan dari pusat ke daerah, melainkan tentang bagaimana kekuasaan itu direstrukturisasi dan didistribusikan melalui mekanisme administratif dan insentif ekonomi yang tampak netral. Pemerintah daerah, melalui kewenangannya dalam menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dan memajukan budaya lokal menempatkan budaya dalam kerangka pasar, citra, dan pembangunan.

Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi, alih-alih memperkuat otonomi budaya, justru seringkali melahirkan bentuk baru dari intervensi kekuasaan yang lebih halus dan tersebar. Budaya yang seharusnya dihidupi, dijaga makna intrinsiknya, dan dikelola secara kontekstual oleh komunitasnya, kini dikemas, dipertunjukkan, dan dinilai berdasarkan kriteria performa yang ditetapkan oleh agenda ekonomi dan politik lokal.

Maka, problem pemajuan kebudayaan dalam era desentralisasi bukan hanya terletak pada bagaimana kebijakan dijalankan, tetapi juga pada bagaimana nilai-nilai kebudayaan ditundukkan secara sistematis ke dalam logika tata kelola yang melayani tujuan di luar dirinya sendiri.

Perjalanan pemajuan kebudayaan di era desentralisasi ini menghadapkan kita pada ambivalensi yang mendalam. Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi pemerintah daerah dan masyarakat adalah memastikan bahwa dalam setiap upaya pemajuan kebudayaan, nilai-nilai luhur, spiritualitas, dan otonomi budaya tetap menjadi prioritas utama, agar kebudayaan benar-benar “dihidupi” dan bukan sekadar “dikonsumsi”.

Muh Wahyu
Muh Wahyu
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, tertarik pada isu HAM dan Demokrasi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.