Jumat, Mei 9, 2025

Desakan Nikah di Tengah Lonjakan Kasus Perceraian dan Fatherless

Suni Subagja
Suni Subagja
Masyarakat sipil
- Advertisement -

Mungkin terdengar seperti basa-basi khas lebaran. Tapi bagi sebagian orang, pertanyaan ini lebih horror dari pertanyaan kapan lulus? Atau kapan bayar utang?

Pertanyaan ini kerap terdengar, terutama bagi sebagian orang yang mungkin dianggap “sudah waktunya” melangkah ke pelaminan. Misalnya, seperti perempuan yang telah lulus sarjana S1, laki-laki di atas umur 25 tahun, atau sebagian dari mereka yang beberapa tahun lulus sekolah.

Namun, seringkali mereka lupa akan pentingnya kesiapan sebelum menikah. Seperti kesiapan mental, material, intelektual dan sosial, serta spiritual.

Pernikahan bukan hanya sekadar pencapaian sosial, bukan juga perlombaan tentang siapa yang mencapai terlebih dahulu, menjadi sang juara. Akan tetapi, ia adalah janji suci yang dampaknya tak hanya kepada kita, tapi juga kepada keluarga dan anak-anak yang lahir dari ikatan itu.

Pernikahan ini bisa berdampak baik jika kita mampu menghadapi berbagai tantangannya. Namun, jika tidak?

Perceraian di angka yang tinggi

Menurut laporan BPS, perceraian di Indonesia berada di angka yang sangat tinggi, yakni 408.347 kasus. Sebesar 61,7% sebab utama perceraian adalah ketidaksiapan pasangan dalam mengelola konflik.

Biasanya, konflik ini terjadi akibat komunikasi yang kurang efektif. Seorang pengacara perceraian ternama, Laura Wasser yang pernah menangani kasus Kim Kardashian hingga Ariana Grande menuturkan.

Alasan orang bercerai adalah karena mereka tidak berkomunikasi. Data ini menunjukkan bahwa di tengah gemuruh desakan kapan nikah? Mereka lalai akan pentingnya kesiapan sebelum menikah. Seyogyanya, jika sebagian dari kita memutuskan untuk menikah, maka jangan hanya memikirkan tentang pentingnya resepsi di gedung yang megah.

Tapi juga kesiapan-kesiapan fundamental lainnya yang berpengaruh signifikan pada ketahanan sebuah hubungan.

Indonesia sebagai Negara Fatherless

Selain itu, akhir-akhir ini Indonesia termasuk ke salah satu negara terbesar yang mengalami fatherless atau absennya sosok ayah.

- Advertisement -

Berdasarkan data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2021, sekitar 20,9 persen anak-anak di Indonesia mengalami kondisi “fatherless”.

Agar mudah dimengerti, 20,9% × 79.486.424 anak = 16.622.656 anak mengalami fatherless.

Perlu diingat, bahwa mereka itu tidak pernah minta dilahirkan, apalagi di keluarga yang belum siap bertanggung jawab atas hidupnya.

Sebanyak 16,6 juta anak itu berhak memiliki sosok ayah untuk menjadi support system dalam tumbuh kembangnya.

Serta, anak-anak yang menjadi korban dari 408.374 kasus perceraian membutuhkan keluarga yang utuh dan harmonis.

Agar saat dewasa nanti, mereka tidak bingung, “hari raya ini, mau ke rumah ibu atau bapak terlebih dahulu?”

Maka, sebelum kita tergesa menikah karena desakan sosial, pastikan dulu apakah kita siap untuk tumbuh bersama? Siap bertanggung jawab atas peran dan fungsi dalam keluarga? Siap mengganti popok sang anak tanpa mengeluh?

Karena hidup ini, seperti kata Hindia,“Bukan soal saling mendahului.” Gak apa kok, belum nikah saat ini bukan berarti sebuah kesalahan. Hanya saja, kita tidak ingin membawa orang lain terjebak pada penderitaan yang kita ciptakan, dan ini adalah sebuah tanggung jawab.

Suni Subagja
Suni Subagja
Masyarakat sipil
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.