Akhir-akhir ini feed Instagram saya dibanjiri oleh cerita dari kawan-kawan desainer produk yang sedang berada di desa-desa di Kalimantan hingga Papua. Dalam wadah social enterprise, para desainer berkolaborasi dengan para komunitas pengrajin untuk menciptakan lapangan kerja baru dengan cara mengembangkan produk kerajinan untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasar.
Banyak diantara produk-produk tersebut berhasil mengintrusi market baru melalui keikutsertaan serta penempatannya di pameran-pameran skala international, di gerai-gerai homedecor di Jakarta dan beberapa kota di mancanegara.
Akhir-akhir ini pun muncul banyak program yang diusung pemerintah untuk membangun industri kerajinan dengan suntikan keilmuan desain yang bertujuan untuk mempenetrasi pasar baru sehingga dapat membangkitkan lagi denyut ekonomi di kampung-kampung kerajinan.
Adapun juga contoh program yang mengikutsertakan berbagai profesi desainer untuk menemukan potensi kreatif di suatu daerah serta mengembangkannya menjadi potensi ekonomi bagi warga lokal di samping berladang atau beternak di daerah.
Memang saat ini peran desainer produk sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi beberapa dekade kebelakang, di mana pada umumnya mereka bekerja di sektor industri besar. Hal ini seharusnya dapat dikaji lebih dalam bagaimana profesi desainer dapat menjadi jasa yang dianggap optimal untuk tujuan pembangunan sosial dan komunitas.
Apalagi, metoda desain yang selalu mengedepankan solusi atas permasalahan, menurut saya cukup problematik apabila tidak kontekstual terhadap kondisi lokal, yang akhirnya cenderung mensimplifikasi kompleksitas struktur sosial dan budaya yang ada.
Pertanyaan pun muncul dibenak saya, mengapa desain produk dapat ikut serta pada tujuan ‘pembangunan’ ekonomi dan sosial pada komunitas? Apakah proses desain yang umumnya berorientasi klien atau pasar dapat menjadi hal yang tepat untuk konteks pembangunan komunitas? Lebih jauh lagi, apakah problem solving yang menjadi jargon utama yang diusung dalam proses desain telah cukup menjawab permasalahan yang ada?
Keterbatasan Desain untuk Pembangunan Sosial
Wacana desain sosial muncul sebagai upaya merancang suatu sistem perubahan dengan menekankan pada nilai-nilai kolektif tanpa didominasi kebutuhan komersialisasi semata. Premis-premis seperti ‘kita semua adalah desainer’ (Manzini, 2015) muncul dengan penekanan terhadap nilai participatory, di mana desainer dituntut memiliki kemampuan untuk mengikutsertakan pihak lain dalam proses mendesain.
Namun desain sosial bukan berarti tanpa keterbatasan. Dalam kenyataannya, pencarian solusi desain sering kali secara tidak sadar menutup kemungkinan para masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam prosesnya, sehingga kegiatan mendesain menjadi sepenuhnya hak prerogatif desainer.
Seperti contoh, para desainer yang ‘diterjunkan’ dalam proyek pembangunan industri kecil kerajinan dalam kurun waktu yang singkat, pada akhirnya hanya dapat memberi solusi instan. Karena keterbatasan waktu yang ditentukan, proses mendesain menjadi satu arah dan luput untuk melihat secara holistik apa potensi yang dapat digali di perkampungan kerajinan.
Dampak negatifnya yakni terciptanya dikotomi yakni antara pihak yang ‘membangun’ dan ‘dibangun’. Lebih jauh lagi, impian untuk menghasilkan pengrajin yang berdikari akhirnya tergerus dengan target dan impian untuk berinovasi dengan landasan menjawab kebutuhan pasar.
Akhirnya, secara tidak sadar, desainer akan hanya menjadi agen perpanjangan kebutuhan pasar dengan sistem auto-regulasinya dan luput untuk memperhatikan pemikiran dan pandangan dari kacamata pengrajin.
Kritik terhadap praktik desain dalam konteks pembangunan serta implikasi negatif dari inovasi dalam proses desain telah banyak disuarakan. Lucy Suchman (2011) mengulas bagaimana impian dan harapan yang tercipta dalam praktik-praktik desain untuk membawa perubahan yang progresif nyatanya sangat problematik.
Konsekuensi yang tercipta yakni munculnya polaritas antara daerah ‘terbangun’ dan ‘yang belum terbangun’, seperti terciptanya persoalan center-margin (pusat dan pinggiran). Hal ini akan menciptakan resiko-resiko kontrol sosial dari pusat ke daerah. Kekhawatiran ini bukannya tak beralasan.
Permasalahan pertama adalah, dalam perkembangan dunia saat ini yang erat kaitannya dengan tolak ukur perkembangan teknologi, tak dapat dipungkiri bahwa ‘perubahan’ menjadi agenda utama dalam mencapai suatu inovasi (Barry, 2011).
Imbasnya, nilai-nilai tradisi dan ragam budaya dan sosial yang lazim dipraktikan di negara-negara berkembang dianggap primitif dan secara perlahan tergerus oleh nilai-nilai yang mengutamakan ‘progresifitas’.
Secara tidak langsung, pola pikir tersebut menjebak kita akan kebutuhan untuk selalu berubah dan up to date; menciptakan imajinasi-imajinasi dimana lingkungan sekitar kita selalu dalam kondisi ‘ketinggalan zaman’. Tak dapat dipungkiri bahwa kelalaian ini pun terdapat dalam praktik desain; dan terlebih lagi, desain berkontribusi besar terhadap konstruksi imaji-imaji tersebut melalui implikasi negatif yang dihasilkannya.
Lalu?
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk mematahkan semangat positif yang dibawa oleh teman-teman desainer dalam praktiknya untuk ikut serta dalam agenda pembangunan. Tetapi, saya ingin mengedepankan bagaimana pentingnya untuk memahami nilai-nilai kelokalan disamping tujuan utama untuk menyelesaikan masalah dengan berlandaskan nilai inovasi dan progresifitas.
Victor Margolin (2002), dalam buku The Politic of Artificial, berargumen bahwa, apabila desainer ingin mengeksplor potensi desain lebih jauh, maka sebaiknya mereka dapat juga menganalisa lebih dalam dimana posisi praktik desain tersebut dilakukan.
Senada dengan pernyataan ini, Arturo Escobar (2018) menyuarakan gagasan ‘Design for the Pluriverse’, menekankan suatu transisi dari pemahaman inovasi yang hanya mengedepankan nilai modernitas tunggal, dan lebih memahami aspek-aspek sosial, budaya, perkembangan sejarah serta potensi keberagaman di lokasi dimana proses desain dilakukan.
Menurut saya poin-poin tersebut sangat penting untuk disimak dan ditelaah lebih jauh, terutama bagaimana desain dapat menjadi kontekstual dengan kondisi dan nilai-nilai lokalitas.
Desainer umumnya menghabiskan energi dan konsentrasinya untuk membuat produk dengan nilai estetika dan fungsi yang sempurna. Tetapi mereka sering kali luput untuk memikirkan bagaimana efeknya terhadap pihak yang memproduksi benda yang dirancang dan dampaknya terhadap lingkungan sekitarnya, serta bagaimana nantinya produk yang dihasilkan akan berdampak pada kondisi sosial secara luas.
Proses desain tidak hanya berakhir ketika protoype atau produk akhir diluncurkan. Desainer seharusnya mampu berfikir dan menginvestasikan waktunya lebih lama sebelum, ketika dan sesudah proses desain berlangsung. Memang, tuntutan percepatan serta ‘deadline’ untuk menjawab kebutuhan pasar cenderung mensimplifikasi kompleksitas permasalahan yang terjadi dilapangan.
Tetapi, harus disimpan baik-baik dalam hati dan pikiran para desainer, bahwa dalam konteks desain untuk kebutuhan sosial, merancang produk sempurna atas dasar kebutuhan pasar bukan hanya tujuan satu-satunya.