Setiap menjelang akhir tahun ajaran sekaligus menyambut tahun ajaran baru, mimik pendidikan di Indonesia berubah menjadi manyun dan ber-emoji lagi sedih. Bukan tanpa alasan, sebab saat itu seluruh orang tua siswa di tingkat SMA harus ketar-ketir memikirkan kelanjutan studi bagi putra-putri mereka.
Keinginan agar anak-anak mereka berkesempatan belajar di perguruan tinggi “favorit” dan program studi “unggulan” seolah membuat mereka tidak enak makan serta tidak nyenyak tidur. Sayangnya, favorit dan unggul di sini masih dipahami dengan negeri. Yaitu pendidikan yang dikelola oleh pemerintah yang hingga saat ini masih menjadi primadona dan selalu direbutkan.
Para siswa pun merasakan ketegangan yang sama. Kehormatan orang tua seolah sedang dipertaruhkan ketika para siswa dituntut harus ikut seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebab kelulusan dalam seleksi ini akan bisa dipamerkan ke tetangga, kolega, bahkan masyarakat seantero Indonesia. Sebaliknya, kegagalan mereka dianggap akan meruntuhkan pamor keluarga sebagai klan terdidik.
Tekanan mental lain adalah ketika sebagian siswa meyakini bahwa seleksi sebagai ajang pembuktian, apakah mereka akan menjadi bagian dari kesuksesan atau kegagalan. Sebuah ironi yang selalu hadir pada setiap musim penerimaan mahasiswa baru di PTN.
Di tahun 2018 ini, perebutan kursi panas PTN terjadi dalam beberapa model: SNMPTN, SBMPTN dan Seleksi Mandiri. Seleksi yang pertama, SNMPTN, ditentukan berdasarkan prestasi siswa yang bersumber dari Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PEDAS) yang diusulkan oleh sekolah asal. Jenis seleksi ini bergantung pada portofolio siswa yang terekam selama proses belajar.
Seleksi kedua, SBMPTN, jalur masuk PTN yang satu ini berdasarkan pada tes tulis dan praktik yang digelar serentak dalam skala nasional. Calon mahasiswa harus berjuang merebut kuota yang tersedia di masing-masing program studi pilihan di PTN yang dituju berdasarkan pemeringkatan skor yang diperoleh dari hasil tes tulis.
Ada tiga jenis tes SBMPTN yang dapat dipilih oleh calon mahasiswa: Ujian Tulis Berbasis Cetak (UTBC), Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), dan Ujian Campuran yang terdiri dari tulis dan keterampilan. Jenis seleksi kedua ini telah diselenggarakan serentak tingkat nasional pada 8 Mei 2018 dan hasilnya akan diumumkan pada 3 Juli 2018 nanti. Pemerintah telah menetapkan pagu kuota minimal 30 persen atau 60 persen dari kuota mahasiswa baru pada setiap program studi dari jalur SNMPTN dan SBMPTN.
Dua jalur seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), SNMPTN dan SBMPTN sudah berlalu. Bergembiralah yang dinyatakan lulus untuk jalur pertama. Harapan sekolah di PTN kini terpampang jelas di depan mata. Bagi yang masih menunggu pengumuman SBMPTN bisa mendaftar seleksi Mandiri jaga-jaga kalau namanya tidak tertera di daftar peserta yang lulus SBMPTN. Mentok, apabila semua jalur masuk PTN gagal tidak ada pilihan lain selain menerima untuk ditakdirkan berkuliah di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang dianggap tidak “bergengsi” plus “mahal”.
Itulah rangkaian dari proses yang menegangkan dari potret anak didik di Indonesia yang tertekan agar kuliah di PTN sebagaimana harapan orang tua. Fenomena ini tentu menguntungkan bagi lembaga bimbingan belajar karena bisa memancing di air keruh dengan alasan membantu siswa agar lulus seleksi masuk PTN. Paket-paket program latihan soal SBMPTN ditawarkan dengan harga yang tak murah.
Pengalaman ini membawa renungan, sampai kapankah tekanan itu dihadapi oleh calon mahasiswa? Tidak adakah jalan yang lebih baik dari menempatkan tunas bangsa itu pada situasi gundah gulana gara-gara memenuhi tuntutan yang berlaku umum bahwa kuliah itu harus di PTN?
Bisa jadi beberapa tahun ke depan pengalaman yang sama akan terus berulang sampai ada kebijakan revolusioner yang mendobrak sistem yang mapan ini. Belum lagi rantai bisnis yang terlibat di setiap proses seleksi masuk PTN, mulai industri pensil 2b dan percetakan, lembaga penyelenggara latihan soal, sampai katering yang terlibat di dalamnya. Sangat tidak mudah menemukan formulasi baru yang menyelamatkan calon mahasiswa dari tekanan lahir-batin yang sudah menjadi momok tahunan.
Di tahun 2017, menurut laporan di laman http://ristekdikti.go.id sebanyak 148.066 peserta atau 14,36 persen dari 797.738 pendaftar SBMPTN yang dinyatakan lulus. Kita mungkin akan gembira dengan kabar kelulusan 14,36 persen, tapi apakah kita pernah bertanya bagaimana kondisi 85,64 persen yang harus menahan perih karena tidak lulus, atau cita-citanya runtuh seketika di hari ketika pengumuman SBMPTN dirilis.
Itulah kabar buruk yang selalu dialami anak didik di negara ini di setiap kali menjelang pembukaan tahun akademik baru. Memang, dunia ini medan kompetisi, hanya apakah kita harus ajarkan mereka untuk kecewa dan berkecil hati? Inilah yang harus dipikirkan agar derita tahunan tidak lagi dialami oleh calon mahasiswa di negara ini.
Solusi yang paling mungkin diambil dalam waktu dekat untuk persoalan di atas adalah mengubah pandangan umum masyarakat bahwa pendidikan terbaik bukan ditentukan oleh label “negeri” dan “swasta”. Berilah keluasan anak-anak kita memilih yang mereka sukai dan minati untuk masa depan mereka. Tugas orang tua hanya pengarah, bukan penentu apalagi memaksakan kehendak dengan alasan kita lebih tahu kebutuhan mereka.
Berikutnya, pemerintah harus terus berupaya memenuhi ketersediaan pendidikan tinggi sesuai dengan rasio calon mahasiswa juga menambah program studi di PTN yang sudah ada berdasarkan kebutuhan pasar kerja dan kemajuan ilmu pengetahuan. Selain itu, pemerintah harus mengakselerasi kualitas pendidikan tinggi baik yang berstatus negeri dan swasta, sehingga tidak ditemukan ketimpangan antar-keduanya baik dari aspek layanan, fasilitas dan sumber daya di dalamnya.
Dan yang tak kalah penting, pendidikan harus selalu berpihak kepada kelompok masyarakat miskin dan tertindas sebagaimana yang diserukan oleh Paul Freire (1921-1997).