Belum usai keprihatinan atas aksi bom bunuh diri yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021 lalu, publik kembali dikejutkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh seorang perempuan di Mabes Polri hanya berselang 3 hari kemudian. Kedua aksi teror ini jelas menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Indonesia dan mencuatkan sebuah pertanyaan. Langkah apa yang harus ditempuh agar kejadian serupa tidak terulang lagi?
UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana. Tindak pidana ini merupakan kejahatan serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan, kedaulatan, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam UU tersebut, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
Adalah deradikalisasi yang sering disebut sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi terorisme yang telah banyak menelan korban di Tanah Air. Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi (Pasal 43D UU No. 5 Tahun 2018).
Sebenarnya, deradikalisasi telah termuat dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme No. 1 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis BNPT Tahun 2020-2024. Intinya, melakukan deradikalisasi secara optimal atas orang, kelompok orang, organisasi maupun tersangka, terdakwa dan terpidana terorisme.
Strategi yang diterapkan adalah “Deradikalisasi terintegrasi secara efektif dan efisien” terhadap orang atau kelompok orang yang terindentifikasi sebagai returnis dan/atau deportan, orang atau kelompok yang terpapar terorisme di masyarakat, dan tersangka/terdakwa/narapidana terorisme. Strategi lainnya, yaitu pembangunan dan pengoperasian pusat deradikalisasi BNPT dan sinergisitas K/L di dalam dan luar Lapas.
Selanjutnya, dalam PP No. 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Terorisme disebutkan bahwa pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana terorisme, salah satunya dengan cara melaksanakan deradikalisasi. Upaya ini dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana tindak pidana terorisme, mantan narapidana terorisme, serta orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme di bawah koordinasi BNPT.
Keluarga, individu, atau kelompok yang terlibat organisasi terorisme masuk dalam kategori orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme. Kelompok ini perlu menjadi prioritas dalam pelaksanaan deradikalisasi karena jika tidak ditangani secara serius dan berhati-hati, kelompok ini berpotensi melakukan aksi teror di masa depan sehingga menambah daftar panjang kasus terorisme di Indonesia.
Masih dalam PP yang sama, upaya deradikalisasi terhadap kelompok tersebut dapat dilaksanakan melalui pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wawasan keagamaan, dan/atau kewirausahaan. Upaya yang membutuhkan kerja keras ini tentu tidak hanya dilimpahkan kepada BNPT saja, melainkan dapat melibatkan akademisi, praktisi, tokoh agama, dan/atau tokoh masyarakat.
Paling penting, diperlukan identifikasi dan penilaian dalam pelaksanaan deradikalisasi. Khusus orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme, hal ini dilaksanakan berdasarkan informasi intelijen. Dalam PP No. 7 Tahun 2019, disebutkan pula bahwa BNPT melakukan pemantauan, evaluasi, dan pencatatan hasil pelaksanaan deradikalisasi.
Harus diakui, deradikalisasi adalah jalan panjang yang harus ditempuh untuk menangkal terorisme di Indonesia. Layaknya sebuah jalan, adakalanya terjal, menurun, berbatu, bahkan berlubang. Bukan semata kerja instan, karena prosesnya memang harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif.
Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membebaskan masyarakat dari ketakutan atas aksi teror yang dilakukan oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.