Demonstrasi di Kuba menjadi salah satu peristiwa yang banyak diulas oleh media internasional. Demonstrasi yang berlangsung dari 11 Juli 2021 hingga saat ini menjadi fenomena bersejarah yang pernah dialami oleh Kuba sejak demontrasi Maleconazo pada tahun 1994 (Brasiliero, 2021).
Kuba selaku negara komunis di Amerika Latin berada di ambang krisis sejak pandemi Covid-19 menghantam negara tersebut dan krisis kesehatan telah berdampak pada ketidakpastian ekonomi yang dialami oleh masyarakat Kuba dalam kurun waktu 2020-2021. Sepanjang tahun 2020, tercatat perekonomian nasional Kuba mengalami kontraksi sebesar 10,9% dan ditambah 2% pada kuartal I & II tahun 2021 yang kemudian melumpuhkan sebagian besar aktivitas perekonomian masyarakat (Frank, 2021).
Krisis ekonomi sebagian besar dilatarbelakangi oleh penurunan sektor pariwisata beserta sanksi ekonomi AS di Kuba yang mana keduanya membawa pukulan telak bagi ekonomi Kuba ditengah krisis global. Seperti yang diketahui, pariwisata di Kuba menjadi salah satu sektor utama dalam perekonomian Kuba – melalui Havana sebagai kota tujuan utama dari turis luar negeri – dan sektor tersebut turut menyumbang devisa sebesar 2,65 miliar USD pada tahun 2019 dan menyumbang sebesar 2,6% dari GNP (World Data, 2019).
Devisa tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi Kuba sekaligus menopang perjuangan Kuba dalam menghadapi sanksi ekonomi AS selama beberapa dekade (Sharpley, 2009). Namun demikian, pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia sejak Desember 2019 juga memberikan efek yang buruk bagi Kuba (Onsumo, 2020).
Semenjak pemerintah Kuba resmi melaporkan kasus pertama Covid-19 pada pertengahan Maret 2020, aktivitas ekonomi Kuba mulai melambat terutama pada sektor pariwisata dan pelambatan tersebut turut berdampak pada marginalisasi masyarakat yang bekerja pada sektor tersebut.
Melalui laporan State of Social Rights in Cuba per Juni 2020, tercatat sekitar 80% masyarakat Kuba mengalami krisis ekonomi akut dan 38% penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya (Onsumo, 2020). Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh pelemahan pada sektor pariwisata, melainkan penurunan berbagai sektor ekonomi sebagai akibat dari inefisiensi sistem ekonomi sosialis yang telah diterapkan sejak tahun 1960-an, yang mana inefisiensi pengelolaan ekonomi negara ditengah pandemi berdampak pada kontraksi dan permasalahan lainnya di masyarakat (ECLAC, 2020).
Tidak hanya itu, sanksi ekonomi AS kepada Kuba turut berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat Kuba ditengah pandemi yang mana sanksi tersebut tertuju pada embargo ekonomi dan pembatasan bisnis dan wisata sejak tanggal 9 November 2017 (DeYoung, 2017). Sanksi tersebut diberlakukan dengan enam undang-undang yang mengikatnya dan pemerintah Kuba menyatakan sanksi ekonomi AS sejak 2018 telah merugikan seluruh sektor ekonominya dengan total kerugian mencapai 134,5 miliar USD dalam waktu 60 tahun hingga tahun 2018 (Nahrstedt, 2021).
Sanksi ekonomi tersebut – walaupun hingga kini belum kunjung dicabut oleh pemerintahan Joe Biden – tetap membebani masyarakat Kuba yang sudah dihadapkan dengan krisis Covid-19 yang mana kemudian turut memperburuk keadaan. Tidak hanya sektor pariwisata yang terdampak akibat krisis tersebut, namun sektor esensial turut berdampak dengan kelangkaan bahan pangan serta obat-obatan yang merebak di seantero Kuba dan kondisi yang berlangsung tersebut memicu protes anti-pemerintah pada 11 Juli kemarin (Kirby, 2021).
Sampai saat ini, demonstrasi yang dimotori oleh kelompok anti-pemerintah masih berlangsung di beberapa kota dan demonstrasi tersebut berlangsung dengan meneriakkan berbagai slogan ataupun tuntutan yang ditujukan untuk meminta pengunduran diri Presiden Miguel Diaz-Cane beserta sistem pemerintahan satu partai yang telah berlangsung selama 60 tahun lebih (Al Jazeera, 2021). Demonstrasi ini tidak hanya dilakukan secara damai namun juga melibatkan tindakan penjarahan kepada unit bisnis milik pemerintah sebagai bentuk protes terhadap situasi sosial-ekonomi yang terjadi (Robles, 2021).
Sebagai respon terhadap demonstrasi tersebut, pemerintah Kuba menyalahkan sanksi ekonomi AS sebagai “biang keladi” dari protes di Kuba dan juga melakukan pembatasan akses internet serta penyensoran di media sosial untuk menekan perbedaan politik yang disebarkan oleh demonstran (Jose do Cordoba, 2021). Pembatasan internet oleh pemerintah sendiri turut dikecam oleh masyarakat beserta demonstran sendiri dikarenakan pembatasan ini turut membungkan kebebasan sipil masyarakat dalam penggunaan teknologi dan pembatasan ini tidak lebih dari cerminan otoritarianisme komunis di Kuba (Al Jazeera, 2021).
Penerapan internet shutdown sebagai upaya membungkam demonstrasi anti-pemerintah di Kuba telah menjadi sorotan bagi dunia internasional yang mana pemerintahan komunis telah banyak melakukan pelanggaran HAM – terutama pembungkaman kebebasan sipil – dalam praktek bernegaranya dan pelanggaran ini tidak selaras dengan kesepakatan bersama dalam penghargaan ketidaksepakatan politik (Mulyana, 2015).
Pada tahun 2020, OAS mencatat Kuba sebagai negara yang kerap melakukan penyensoran pada jurnalisme independent dan hal tersebut membuat Kuba termasuk 10 negara yang paling disensor di dunia pada tahun 2019 (CPJ, 2019). Klasifikasi tersebut tidak lain disebabkan penegakkan regulasi yang mewajibkan praktek jurnalisme berada pada naungan Union of Journalists of Cuba (UPEC) dan peliputan diluar organisasi tersebut akan ditindaklanjut oleh aparat negara, sehingga kanal peliputan independent turut terancam dengan peraturan ini (OAS, 2020).
Pembungkaman kebebasan sipil saat ini juga marak terjadi di Indonesia, dimana dalam beberapa waktu terakhir banyak laporan kasus mengenai pembungkaman kebebasan sipil kepada pihak-pihak tertentu saat Indonesia masih terhimpit oleh pandemi Covid-19 (Kirana, 2020). Kendati Indonesia tidak mengalami demonstrasi secara masif seperti di
Kuba saat ini, namun sepanjang tahun 2020-2021 tercatat beberapa fenomena pembungkaman yang dialami sebagian orang dan hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari tindakannya yang mengkritisi kebijakan pemerintah (Amnesty , 2021). Salah satu contohnya ialah postingan BEM UI bertajuk ”King of Lip Service” yang mana postingan tersebut ditujukan sebagai kritikan kepada kinerja Presiden Jokowi selama pandemi berlangsung (Chaterine, 2021).
Kritik yang didasarkan pada sikap Jokowi yang “membual” tersebut disatu sisi mendapatkan respons positif karena mengartikulasikan kebebasan berpendapat di Indonesia, namun pihak BEM UI juga harus mengalami peretasan akun media sosial yang dilakukan oleh oknum tak dikenal sebagai reson dari kritik tersebut (Aprilia, 2021).
Kasus yang dialami oleh BEM UI tersebut serupa dengan kasus di Kuba, dimana kebebasan sipil di kedua negara tersebut mengalami penurunan selama pandemi berlangsung, melalui pembungkaman suara ataupun pembatasan internet. Namun perbedaannya terletak pada aktornya, dimana di Kuba sendiri disponsori oleh negara sementara Indonesia disponsori oleh oknum di luar pengawasan negara. Oleh karenanya, pemerintah perlu berkomitmen penuhdalam menjamin kebebasan sipil di media sosial untuk melindungi hak sipil dan politik masyarakat sesuai UUD 1945