Sabtu, Oktober 12, 2024

Demokratisasi Myanmar, Kemajuan atau Ancaman?

Ammar Aminudin
Ammar Aminudin
Student at University of Darussalam Gontor

Awal tahun 2021 ini tepatnya pada bulan februari, dunia internasional kembali panas dengan konflik politik internal di Myanmar. Negara yang pada awalnya bernama Burma itu kembali bergejolak setelah sekian lama memberi tinta hitam pada sejarah kemanusiaan dunia.

Sebelumnya pada tanggal 8 Agustus tahun 1988, di Myanmar terjadi demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi oleh kaum terpelajar. Gerakan ini dikenal dengan “The Uprising of 8888”. Gerakan perlawanan tersebut bermula sejak tahun 1962 dimana seorang Jenderal Militer bernama Ne Win melakukan kudeta yang menempatkan Myanmar dalam pemerintahan yang Junta Militer. Kudeta inilah yang mengawali hilangnya demokrasi di Myanmar dan berlangsung hingga kini.

Kondisi Myanmar kini cenderung disebut ‘otoriter’ dengan adanya kekerasan terhadap pihak oposisi pemerintah. Peristiwa The Uprising of 8888 ini dapat dibubarkan oleh rezim yang berkuasa saat itu dengan diperkirakan merenggut sekitar 3000 nyawa lebih.

Banyak yang terjadi sejak awal kudeta terkait kekuasaan di Myanmar, seperti gerakan “Saffron Revolution” yang dipimpin oleh para biksu. Walaupun korban yang meninggal tidak sebanyak peristiwa sebelumnya, namun pemerintah Myanmar disebut-sebut kembali menggunakan kekerasan untuk menghentikan aksi ini.

Kini, kudeta terhadap pemerintahan sah kembali dilakukan oleh pihak militer. Kudeta itu bermula ketika pemilihan umum pada 8 November 2020 Partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangkan 396 dari 476 kursi di parlemen. Jumlah yang lebih besar dibanding kemenangan di pemilu periode sebelumnya pada 2015.

Pihak militer akhirnya membantah hasil tersebut dan mengklaim bahwa pemungutan suara itu curang. Konflik semakin memanas ketika Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan beberapa pimpinan dari partai petahana ditahan oleh militer Myanmar pada 1 Februari 2021. Tak lama, Angkatan Bersenjata Myanmar menyatakan keadaan darurat dan mengatakan bahwa kekuasaan telah diserahkan kepada panglima tertinggi militer, Min Aung Hlaing.

Myanmar pada awal berdirinya memang merupakan negara bersistem demokrasi, namun goyah pasca kudeta 1962. Myanmar sendiri merupakan salah satu negara jajahan Inggris dan banyak mengalami krisis etnis. Salah satunya yang sempat menjadi perhatian Indonesia yakni isu Rohingya hingga membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan banyak organisasi lainnya melaporkan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Myanmar.

Perjalanan politik Myanmar beserta konflik-konflik internal yang mewarnainya mengingatkan penulis terhadap peristiwa Arab Spring yang melanda Timur Tengah pada 2011 lalu. Adanya kudeta berkepanjangan dan gerakan perlawanan yang bahkan ada konspirasi tersendiri di dalamnya cenderung seirama.

Pasalnya, tujuan dari kudeta yang dilakukan oposisi –baik di Myanmar maupun Timur Tengah, keduanya sama-sama melemahkan kekuasaan namun tidak memberi perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan rakyatnya. Partisipasi warga negara yang disasar sebagaimana merupakan ide demokrasi nampaknya tidak dapat merubah dan meredakan permasalahan negara-negara tersebut.

Demokrasi sebagai system negara merupakan gagasan penting dari Demokratisasi (perubahan system politik dari bentuk non-demokrasi ke bentuk yang lebih demokratis). Ini adalah buah dari gagasan liberalisme tentang keadilan, order, kebebasan, dan norma yang berseberangan dengan pandangan realisme dalam Hubungan Internasional.

Salah satu pemikir liberalis klasik, Immanuel Kant memandang bahwa arena dalam hubungan internasional sebagai “lawless state of savagery” atau kondisi yang tidak bermoral dan penuh dengan kebiadaban. Kant mengatakan dalam tesisnya yang berjudul Perpetual Peace bahwa hanya liberalisme-lah yang dapat menciptakan perdamaian antarnegara. Namun, negara liberal cenderung bersifar pasif dengan sesam negara liberal. Maka Kant mengkritik ini dengan melahirkan democratic peace theory dalam tesisnya.

Gagasan ini mempengaruhi negara-negara liberal untuk tidak bersifat pasif. Bisa kita lihat dari politik luar negeri Bill Clinton yang mendukung demokratisasi di negara-negara pecahan Uni Soviet pada tahun 1994. Mengikuti jejak pendahulunya, George W. Bush mendukung gerakan ini dengan melawan rezim otoriter di Timur Tengah sejak tahun 2003. Berkaitan dengan itu, kudeta yang terjadi di Myanmar pun tidak hilang pandangan dari Barat. Upaya perlawanan demokrasi Aung San Suu Kyi oleh pihak militer mendapat pernyataan keprihatinan dari kekuatan Barat seperti Prancis dan tentunya Amerika Serikat.

Perubahan system yang dilalui Myanmar namun dengan permasalahan yang tidak berubah seperti isu HAM, krisis ekonomi hingga konflik politik membuktikan bahwa demokrasi bukanlah solusi dari permasalahan Myanmar. Myanmar membutuhkan lebih dari suatu system ketata negaraan, tapi juga doktrin yang bisa menggerakkan warga negaranya dan menyatukan etnis yang berbeda-beda. Demokrasi yang berciri khas kan partisipasi warga negara tetap akan kalah dengan kekuatan militer sebagaimana terjadi kini.

Bantuan dari Barat disebut untuk memancing pasokan kekuatan dari belakang, namun sejatinya bantuan tersebut tidak bisa berlangsung lama. Negara-negara Barat juga memiliki konflik tersendiri untuk diselesaikan, sehingga membuat Myanmar menunggu untuk diberi bantuan. Hal itu akan berlangsung tetap selama Myanmar dan negara-negara berkembang lainnya hanya berupaya merubah system dan menunggu bantuan bukannya mencari penyelesaian.

Adanya semangat demokratisasi ini juga mengkhawatirkan melihat konflik-konflik yang terjadi beriringan kepada negara-negara yang belum menganut paham demokrasi. Terutama negara-negara di Asia dan Timur Tengah yang tidak terpengaruh idealisme Barat. Tidak hanya peperangan tapi juga propaganda dan separatisme mengancam negara-negara tersebut. Bahkan terminology ‘Spring’ dari Arab Spring juga merupakan bias dari demokrasi. Spring yang berarti Musim Semi seakan menandakan lelehnya dingin belenggu kekuasaan di negara-negara Arab.

Akan tetapi, teori democratic peace-nya Immanuel Kant mungkin ada benarnya juga. Bahwa kedamaian abadi dapat tercipta dengan adanya kerjasama antarnegara serta penyamaan cara berpikir dan sudut pandang. Tentunya bukan demokrasi sebagai system tata negara, kita membutuhkan hal lainnya yang lebih kompleks. Kiranya kita perlu menilik kembali sejarah ataupun konflik-konflik diatas dan mengkritisi setiap referensi yang kita baca. Atau mungkin jawaban itu bisa kita dapat dengan mudah apabila kita melihat apa yang menjadi lawan dari demokrasi itu sendiri.

Ammar Aminudin
Ammar Aminudin
Student at University of Darussalam Gontor
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.