“In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes”
(Benjamin Franklin)
Daripada mengisi ulang (refill), pandemi Covid-19 sungguh telah mengungkap (revealed) kerapuhan kita sebagai manusia. Di hadapannya, terlihat bahwa pelbagai elemen kewalahan untuk menyelamatkan tatanan sosial, ekonomi, dan politik sebuah bangsa. Beruntung, peran pemerintah kembali mengetengah dan dogma bisnis perlahan mengalami pergeseran signifikan.
Negeri ini pun tak mau abai soal itu. Dengan program pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), cetak biru program pemulihan ekonomi nasional (PEN), dan menggenerasi penciptaan iklim kelembagaan yang mendukung semua pihak kini berusaha membangun kembali tatanan yang porak-poranda dihantam badai pandemi. Langkah besar yang di bawa adalah reformasi tata hidup bersama di era digital.
Namun, derap perubahan kelembagaan selalu menghadirkan kejutan. Meskipun tujuan perubahan ingin melindungi martabat dan kehormatan manusia, rupanya fakta di lapangan cenderung memberikan sketsa sebaliknya. Terlebih, bila dipahami lebih jauh ditemukanlah realitas bahwa relasi antara kapital dan kerja yang selalu mengalami rekonstruksi. Episode terkini dari rekonstruksi tersebut yaitu kapitalisme digital atau lebih dikenal sebagai artificial intelligence economy.
Gegap gempitanya kian terpatri dengan situasi pandemi. Rupa-rupa restriksi menguatkan peran teknologi dalam memfasilitasi proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Basisnya bertumpu pada cara kerja imaterial seperti imajinasi dan hasrat. Kapital semacam ini dikenal juga sebagai kekayaan intelektual (modal insani). Kekayaan intelektual tersebut membutuhkan data untuk diekstraksi dan dimonetisasi yang kemudian memungkinkan akumulasi kapital menjadi lebih efisien.
Perubahan dramatis itu dapat dilihat pada susunan 50 orang terkaya Indonesia 2020 versi majalah Forbes. Meskipun separuhnya terpukul pandemik dengan mengalami penurunan kekayaan hingga 1,2% secara kolektif, beberapa orang justru terdorong kekayaannya. Sama seperti yang ada pada komposisi global, pebisnis di sektor digital mengalami lompatan kekayaan yang signifikan. Di antaranya ada yang hampir mencapai 80%. Umumnya sektor digital yang dimaksud meliputi e-commerce, layanan streaming dan bank digital, serta multi-jasa dan pembayaran.
Fakta perubahan dramatis ini menarik untuk memikirkan lebih jauh sebuah pertanyaan sederhana: sejauh mana upaya negara menjaga proses demokratisasi dalam babak baru kapitalisme digital? Jawaban dari pertanyaan ini menuntut pemahaman atas seberapa mustahak demokrasi bagi kelangsungan tata hidup bersama di era ekonomi digital.
Mencipta ekonomi: menanam demokrasi
Kapitalisme dapat berdiri sendiri sebagai sebuah sistem tanpa demokrasi dan sebaliknya, demokrasi pun dapat memandu tatanan hidup bersama tanpa kapitalisme. Kelindan keduanya justru kian nyata dengan konsep digital ekonomi. Perusahaan tampil sebagai penyedia piranti lunak dan mampu melakukan penyebaran kepemilikan aset. Penyebaran ini umum dilakukan kepada para pengguna platform.
Belakangan, kompromi negara dengan sistem ini mulai tampak. Terutama dengan digemborkannya wacana penarikan pajak kepada pelaku ekonomi digital. Selain pajak penghasilan (PPh) individu pelaku ekonomi digital, pemerintah juga menargetkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang sebulan belakangan ramai diperbincangkan karena dianggap kontroversial.
Terlepas dari kontroversi dan dilema mekanisme penerapannya, pajak seyogyanya menjadi instrumen penting yang menghubungkan kapitalisme digital dan demokrasi. Secara substantif, pajak menyatukan tujuan utama keduanya, yaitu peningkatan kualitas hidup dan kesetaraan. Pajak progresif sejauh ini masih menjadi solusi terbaik untuk melakukan kebijakan yang bersifat redistributif. Bahkan, dalam asumsi politik ekonomi, pajak dan demokrasi dengan segala nilai kebajikan yang dibawanya diyakini memiliki hubungan saling menguntungkan.
Relasi-relasi yang dinamis itu menunjukkan bahwa terdapat konvergensi hubungan demokrasi dan kapitalisme digital. Konvergensi ini pun bukan suatu kebetulan mengingat ada perjuangan politik di belakangnya. Dalam derap sejarah panjang demokrasi pun dapat ditemukan bahwa kontrol rakyat merupakan hal yang sangat esensial. Artinya, mekanisme ini menjadi satu-satunya yang langsung memberikan legalitas pada rakyat untuk menuntut akuntabilitas pemerintahan. Kemudian, secara tidak langsung rakyat juga dapat mengontrol entitas bisnis, terutama siber untuk turut serta dalam tanggung jawab moral pada pelayanan publik dan upaya pengentasan kemiskinan.
Melestari kemaslahatan republik siber
Kuncinya terletak pada terletak pada pergeseran dogma terhadap agresivitas tujuan korporasi yang lebih komprehensif dan pengetatan perlindungan sosial oleh pemerintah. Skenario demikian paling kongkret dengan kepemilikan publik. Bukan semata pembukaan kepemilikan lewat saham di pasar modal bagi individual masyarakat, tetapi peran negara ke arah sana pun kian jelas dengan keberadaan lembaga pengelola dana investasi (SWF). Lembaga yang diberi nama Indonesia Investment Authority (INA) ini menjadi angin segar dalam pencapaian demokratisasi sebagai modus vivendi. Kepemilikan pemerintah atas sebagian korporasi digital akan mampu dikonversi dalam bentuk peningkatan kualitas layanan publik.
Setali tiga uang, tugas berat pemerintah sedari dulu adalah melengkapi masyarakat dengan jaminan sosial yang kuat, terlebih dalam mekanisme ekonomi semacam itu di mana para buruh digital tidak memilikinya. Oleh karenanya, pekerjaan rumah negara kemudian adalah melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap kriteria kerja layak (decent work) di dunia digital. Tentu, syarat mendasarnya negara harus berani melakukan intervensi kebijakan pada pasar tenaga kerja.
Upaya ini penting sebagai bentuk pembelaan terhadap martabat manusia. Tumpuan dasarnya terletak pada kesadaran bahwa tidak semua warga negara cukup berdaya. Betapa warga negeri ini sungguh mendambakan peran negara dalam demokratisasi ekonomi digital.