Jumat, April 26, 2024

Demokrasi Sampah di Jakarta

Adhi Nur Seto
Adhi Nur Seto
Member of The Association Of Islamic University Student | Social Welfare Studies

Saat musim hujan tiba, Jakarta adalah langganan tetap banjir. Dari tahun ke tahun, Ibu kota tak pernah sekalipun absen dari banjir. Rezim berganti rezim persoalan banjir tetap menjadi rutinitas tahunan.

Selain membawa air, banjir di Ibu kota juga membawa tumpukan sampah yang tak sedikit jumlahnya. Sampah dan banjir seperti memiliki ikatan kuat yang sulit dipisahkan. Sampah berakibat pada banjir, kemudian banjir membawa tumpukan sampah. Presiden Jokowi pun menyampaikan, sampah menjadi salah satu pemicu banjir di Jakarta. Oleh karena itu menyelesaikan persoalan sampah Ibukota adalah setengah mengurangi potensi banjir.

Pada dasarnya, sampah bukanlah keajaiban yang muncul hanya semalam, seperti munculnya Candi Prambanan dalam legenda Roro Jonggrang. Juga bukan kutukan yang bisa diubah hanya dengan doa dan jampi-jampi. Karena sampah adalah akibat dari sebuah proses berkehidupan dimana manusia adalah subyeknya. Sampah muncul dari ragam aktifitas manusia yang tak dikendalikan.

Mengatasi sampah Jakarta memang tak semudah membalik telapak tangan, apalagi dengan jumlah populasi penduduk Jakarta yang semakin hari semakin bertambah. DKI Jakarta memproduksi kurang lebih 7.500 ton tiap harinya, atau 2,7 juta ton per tahun (theconversation.com, 2/1/2020). Lantas bagaimana pemerintah mengatasi volume sampah sebanyak ini??

1 RT 1 Bank Sampah 

Karena sampah adalah bagian integral dari kehidupan manusia, maka penyelesaian sampah juga tidak bisa dilepaskan dari proses berkehidupan manusia. Memindahkan sampah dari rumah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), seperti di Bantargebang, bukanlah solusi yang sustainable. Sebab, lambat laun, Tempat Pembuangan Akhir juga tidak akan mampu menampung sampah yang kian menumpuk.

Walhasil, keberadaan menggunungnya sampah di TPA menjadi masalah tersendiri. Oleh karenanya perlu solusi komprehensif dari hulu ke hilir, yang tidak sekedar memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain, namun juga bisa mengurangi volume sampah.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan Peraturan Nomor 13 Tahun 2012 yang bisa dijadikan pedoman. Yaitu dengan menerapkan prinsip 3R, yakni reduce, reuse, dan recycle melalaui bank sampah.

Sebagaimana Bank yang menjadi tempat menyimpan dan mengelola uang, maka bank sampah adalah wadah tempat menyimpan dan mengelola sampah milik warga. Pemerintah Jakarta perlu mendorong pendirian bank sampah di tiap Rukun Tangga (RT). Dengan berdirinya bank sampah di tiap RT, maka harapannya laju pergerakan sampah di Jakarta dapat berakhir di tingkat RT.

Pengurus Bank sampah di tiap RT adalah koordinator warga dalam menangani sampah di wilayahnya, mereka berperan mengedukasi warga untuk memilah sampah berdasarkan kategori organik maupun anorganik. Disamping pemilahan berdasar kategori, pengurus juga mendorong warga untuk melakukan pemilahan sampah  menggunakan prinsip 3R, yakni reduce, reuse, dan recycle. Dengan begitu sampah yang disetor kepada bank sampah sudah melalui proses pemilahan terlebih dahulu di lingkup rumah tangga, baik berdasar kategori maupun berdasar pada prinsip 3R tersebut.

Manfaat Sosial, Ekologis, dan Ekonomis

Pelaksanaan bank sampah di Jakarta tentu memiliki banyak manfaat bagi warga. Diantaranya adalah manfaat sosial, manfaat ekologis, serta memiliki nilai ekonomis.

Banjir yang beberapa hari yang lalu melanda ibukota, sedikit banyak memberi hikmah bagi warga untuk merajut kekohesifan sosial yang positif. Budaya warga Ibukota yang cenderung individualistik, abai pada urusan sampah yang menyumbat saluran pembuangan, rupanya membuka celah aliran air menggenangi rumah mereka. Mau tidak mau, warga ibukota harus merajut kembali budaya gotong royong untuk menyelesaikan persoalan sampah.

Dengan hadirnya bank sampah di tengah-tengah warga, budaya gotong royong yang mulai ditinggalkan warga ibukota akan terbangun kembali. Sebab banjir melanda tanpa pandang bulu. Sampah milik tetangga juga berakibat banjir pada rumah kita.

Secara ekologis bank sampah juga menstimulasi lingkungan hidup yang asri dan nyaman untuk dihuni. Lingkungan yang kumuh adalah akibat dari penumpukan sampah yang berlangsung lama, sehingga mengalami pembusukan dan menyebarkan bau tak sedap.  Dengan adanya bank sampah tentu penumpukan sampah tidak terjadi berhari-hari. Sebab keberadaan bank sampah di tengah-tengah warga, akan meminimalisir terjadinya penumpukan sampah. Sebelum bau menyengat, sampah sudah masuk ke bank sampah.

Selain itu, sampah organik dari tumbuhan dan buah-buahan bisa digunakan sebagai bahan membuat pupuk kompos. Walaupun warga Jakarta tidak memiliki cukup lahan pertanian, namun dengan perkembangan model pertanian saat ini, seperti berkembangnya model pertanian hidroponik yang tidak membutuhkan lahan yang luas, Warga Jakarta tetap bisa berkebun dengan memanfaatkan lahan sempit untuk menanam sayuran-sayuran di teras, halaman belakang, atau bahkan digantung di dinding rumah. Hasil pertanian hidroponik setidaknya bisa untuk konsumsi rumah tangga.

Dengan begitu citra Jakarta yang kumuh sedikit demi sedikit akan berkurang. Jakarta akan menjadi ruang hidup yang asri dan nyaman untuk warganya.

Sampah yang selama ini dianggap masalah sebenarnya memiliki nilai ekonomis. Bila dikelola dan diolah dengan baik, sampah menjadi produk yang memberi nilai tambah bagi warga. Beberapa komoditas seperti tas, taplak meja, topi dan aneka produk kerajinan tangan lain bisa tercipta dari hasil olahan sampah.

Potensi ekonomi hasil olahan sampah memang belum bisa jadi jaminan. Namun dengan memberdayakan warga, khususnya kaum hawa, pemanfaatan sampah untuk menciptakan produk kerajinan bisa lebih maksimal.

Proses pemberdayaan yang didahului pelatihan membuat kerajinan tangan hasil olahan sampah oleh ibu-ibu, memungkinkan tercipta produk-produk fesyen yang bisa dijual di pasaran. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, produk kerajinan tangan hasil olahan sampah tersebut bisa menjadi trend fesyen baru bagi anak muda.

Sebagai penutup, tidak jauh beda demokrasi yang dinilai menjadi sistem pemerintahan terbaik yang memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka sistem pengelolaan sampah terbaik adalah dengan menerapkan demokrasi, yang disebut demokrasi sampah. Yakni, sampah dari warga oleh warga, dan untuk warga.

Adhi Nur Seto
Adhi Nur Seto
Member of The Association Of Islamic University Student | Social Welfare Studies
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.