Kamis, Mei 2, 2024

Demokrasi Islam Khaled Abou El Fadl

Raha Bistara
Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, demokrasi baik dalam wacana intelektual atau sebagai praksis politik dianggap sebagai sistem politik yang paling representatif, tak terkecuali di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Bahkan, Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man menyatakan bahwa demokrasi, bersama dengan kapitalisme, akan menjadi terminal terakhir eksperimentasi sistem politik sistem ekonomi dalam sejarah manusia.

Meskipun demikian sebagai suatu ijtihad politik, demokrasi dalam kenyataannya mengalami pro dan kontra. Tidak semua kalangan dapat menerima bentuk finalitas demokrasi sebagai sistem politik untuk diterapkan. Fenomena pro dan kontra ini tampak terlihat jelas di negara-negara Islam atau yang berpenduduk masyoritas muslim.  Umat Islam seringkali mengalami kebingungan dengan istilah demokrasi. Sebagian kalangan bisa menerima secara total dan sebagian lagi kebalikannya, menolak bahkan mengharamkannya.

Ialah Khalid Abu El Fadl cendekiawan muslim kontemporer yang paling gelisah dengan lahirnya wacana pro dan kontra terkait demokrasi. Baginya, demokrasi dan Islam tidak harus diposisikan secara diametral yang harus ditabrakkan dengan prinsip-prinsip keislaman. Ia justru melihat bahwa variabel-variebal demokrasi memiliki visi dan nilai yang sangat islami.

Sosok Khaled Abou El Fadl

Khaled Mehdat Abou El Fadl yang lahir di Kuwait pada 1963 kedua orang tuanya seorang muslim yang taat. Sejak usia 12 tahun Abou El Fadl sudah hafal al-Quran dan dikenal sebagai murid yang paling cerdas di antara teman-temannya. Abou El Fadl tumbuh sebagai pemuda dalam kondisi Mesir yang sedang carut marut akibat kegagalan Pan-Arabisme dalam perang tahun 1967 M. Kegagalan ini berdampak yang luas untuk masyarakat Mesir dan bangsa-bangsa di jazirah Arab secara umum.

Menurut Abou El Fadl, banyak rakyat Mesir yang terpengaruh oleh pandangan Jalal Kisyk yang menyatakan bahwa kekalahan tersebut sama halnya kekalahan spiritual sekaligus intelektual. Perjuangan yang sesungguhnya bukan melawan kekuasaan dari segi teritorial atau perlawanan militer, melainkan berkaitan dengan soal kebudayaan dan peradaban. Marxisme, komunisme, kapitalisme, atau liberalisme adalah paham-paham yang datang dari luar (kebudayaan asing) yang dirancang untuk meruntuhkan dan melenyapkan otonomi dan nilai-nilai intelektual Islam (Khalid Abou El Fadl, 2003:18)

Melihat kondisi Mesir yang tidak stabil Abou El Fadl kemudian memutuskan untuk pindah ke Amerika melanjutkan studinya di sana meski dengan bahasa asing yang masih pas-pasan. Di Amerika, Abou El Fadl mendapatkan ilmu baru dalam melihat Islam dari sudut pandang yang berbeda, Fadl yang dulu masih bersifat puritan karena doktrin dari para Syech sekarang bersifat terbuka bahkan liberal dalam menilai dan mengkritisi ajaran agama Islam.

Demokrasi Islam

Banyak sekali tokoh yang membicarakan perihal demokrasi, salah satunya Khalid Abou El Fadl. Tetapi. Abou El Fadl sangat berbeda dengan tokoh-tokoh yang lain, Abou El Fadl membedakan demokrasi dengan liberalisme yang bagi kebanyakan orang mengganggap itu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, termasuk di Barat yang menganut sistem demokrasi liberal. Bagi Abou El Fadl, Barat telah gagal dalam menjalankan sistem demokrasi, karena mereka memberikan bobot yang tidak sebanding untuk hak-hak keamanan, ekonomi dan sosial (Khalid Abou El Fadl, 2004, 125)

Sebagai seroang muslim, Abou El Fadl menganggap dasar-dasar demokrasi yaitu penghargaan terhadap perbedaan sebenarya sudah termaktub dalam sumber primer ajaran Islam yakni al-Quran, dan tradisi ini sudah berjalan sewaktu masa awal-awal Islam. Abou El Fadl merujuk para ulama yang menyatakan bahwa perbedaan sudah ajak sejak masa sahabat Nabi, ini berarti berbeda pendapat sudah hal yang lumrah dan wajar dalam tradisi Islam bahkan itu dianggap sebagai suatu hal yang positif dan dianjurkan.

Lanjut Abou El Fadl menegaskan bahwa praksis Islam yang konsisten harusnya akan membawa ke praktik politik yang demokratis, apapun bentuk wadah dan sistem kelembagaan yang digunakan. Namun sayangnya, tidak semua umat muslim mau menerima bentuk demokrasi seperti yang telah dijelaskan di atas. Mereka yang bersifat puritan tidak akan sedikitpun mau menerima bentuk lembaga atau bentuk negara demokrasi, mereka hanya akan menerima bentuk negara yang mereka terima dari nenek moyang mereka, seperti halnya bentuk ke-Khilafahan.

Penolakan mereka terhadap sistem demokrasi salah satunya dilandasi atas pembacaan mereka terhadap teks-teks otoritatif Islam yang selama ini dipahami secara hegemonik oleh mereka yang mengklaim diri sebagai pemangku otoritas makna dan itu harusnya dibaca secara terbuka, termasuk yang berkaitan dengan sistem tata kemasyarakatan atau politik (Fahruddin Faiz, 2020:185). Padahal ketika diteliti lebih dalam lagi, al-Quran tidak secara spesifik menjelaskan bentuk pemerintahan yang islami. Ia hanya menerangkan seperangkat nilai yang penting bagi pemerintahan.

Bagi Abou El Fadl ada tiga nilai yang memiliki signifikansi khusus dalam bentuk pemerintahan yakni mencapai keadilan melalui kerjasama sosial dan prinsip saling membantu, membangun sistem pemrintahan konsultatif yang tidak otokratis, dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004:12). Ketiga nilai ini sebenarnya sudah ada dalam ajaran Islam, mereka tidak akan menolak bentuk sistem demokrasi ketika mereka benar-benar memahami esensi dari Islam itu sendiri.

Dengan paham demokrasi maka secara otomatis kedaulatan ada di tangan rakyat (manusia). Pengelolaan terhadap negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa campur tangan manusia. Agama dipandang sebagai urusan pribadi dan jangan dibawa ke ranah publik. Bahkan negara harus “menjinakkan” agama agar tidak mengintervensi wilayah politik. Karena ketika agama masuk ke dalam ranah politik maka yang ada hanyalah kepentingan-kepentingan elit politik menggunakan ayat-ayat agama (al-Quran) untuk kepentingan dirinya sendiri.

Maka demokrasi yang digagas oleh Abou El Fadl tidak hanya memisahkan antara liberalisme dengan agama, tetapi untuk benar-benar demokratis, ia harus mempunyai landasan filsafat dan doktrin agama yang kuat. Secara otomatis demokrasi yang Abou El Fadl bangun sesuai dengan ajaran Islam, karena di dalam Islam terdapat nilai keadilan, musyawarah, toleransi beragama dan persamaan hak.

Raha Bistara
Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.