Kamis, Maret 28, 2024

Demokrasi dan Siklus Kekerasan di Indonesia

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.

Setiap tahun di bulan September, kita akan menjumpai kegaduhan terkait pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI pada malam tanggal 30. Satu pihak berpendapat pemutaran itu adalah kewajiban supaya masyarakat kita selalu ingat akan pemberontakan partai berlambang palu arit tersebut.

Di sisi lain, ada pihak yang menyayangkan pemutarannya karena film itu memiliki nilai propaganda Orde Baru dan kurangnya akurasi terkait fakta sejarah seputar tragedi 1965. Tapi, bukan cuma itu fokus masalah satu-satunya dari debat tersebut.

Usaha untuk mengenalkan generasi muda terhadap film tersebut pada dasarnya menempatkan kembali Indonesia ke dalam suatu siklus kekerasan yang umum terjadi sebelum Reformasi.

Tentu saja dalam tatanan demokrasi saat ini, yang diraih dengan susah payah melalui gerakan 1998, pengembalian siklus kekerasan dengan mengembangkan perasaan takut dan dendam pada anak-anak muda bukan tindakan yang tepat. Terlebih lagi, kita sedang dalam proses rekonsiliasi budaya antara pihak-pihak yang terlibat dalam serangkaian pemberontakan-pemberontakan di masa lampau.

Salah satu pertanda usaha demokratisasi pasca Orde Baru adalah rencana Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk mencabut Tap MPRS no. XXV tahun 1966 terkait pelarangan Marxisme-Leninisme. Tindakan itu merupakan suatu niatan baik dari seseorang berlatar belakang Nahdlatul Ulama.

Pada 1960an, NU dan PKI sering terlibat konflik akibat berbagi basis massa yang serupa di daerah pedesaan. Selain itu, provokasi PKI terhadap kiai-kiai NU dan pengikutnya serta kenangan atas kekejaman “orang-orang merah” dalam Peristiwa Madiun 1948 membuat suasana ketegangan.

Puncak dari ketegangan itu adalah ketika pemuda NU diberi keleluasaan bertindak oleh Angkatan Bersenjata dalam penumpasan pendukung partai palu arit pada 1965 dan 1966. Sebagai tokoh yang lahir dari latar belakang yang sangat aktif dalam pembersihan PKI, upaya Gus Dur menunjukkan keinginan memutus mata rantai kekerasan yang sering terjadi ketika masa Demokrasi Liberal.

Tujuan Gus Dur sederhana, yakni perbedaan ideologis harus diselesaikan lewat jalan parlementer pasca-Reformasi dan bukan melalui kekerasan tanpa akhir. Selain itu, Gus Dur mengusahakan berakhirnya diskriminasi kepada keluarga yang terlibat dan dituduh terlibat peristiwa 30 September 1965.

Pertanyaannya, apakah upaya memutus siklus kekerasan dan diskriminasi itu hanya sebatas dari orang-orang NU dan keluarga-keluarga keturunan PKI? Itu tidak betul. Apakah hanya NU dan PKI yang pernah terlibat kekerasan antar satu sama lain? Sejarah tidak mencatat seperti itu. Kita mengetahui bahwa dalam catatan sejarah banyak aliran-aliran politik yang menggunakan cara kekerasan untuk mempertahankan atau menegakkan kekuasaannya.

Semua pemberontakan yang terjadi dalam sejarah Indonesia muncul dari ideologi-ideologi yang berbeda dan kadang berlawanan. Hal itu membantah mitos bahwa perangai kekerasan secara politik hanyalah dimiliki PKI semata. Apa yang dilakukan PKI dan FDR pada 1948 di Madiun adalah satu kebengisan yang melukai hubungan sosial ketika itu. Itu fakta yang tak terbantahkan. Tapi PKI bukan satu-satunya yang menghalalkan segala cara.

Kaum Islamis yang tidak puas dengan derajat pengaruh politik Islam dalam pemerintahan membentuk Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia pada 1947. Kaum federalis yang tidak menghendaki penghapusan sistem federal membentuk Angkatan Perang Ratu Adil pada 1950.

Kaum anti-sentralisme yang tidak suka kekuasaan politik berpusat di Jawa dan menguatnya pengaruh PKI di pemerintahan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatra dan Perjuangan Rakyat Semesta di Sulawesi pada 1957. Kaum militeris yang tidak suka menguatnya hegemoni PKI menegakkan Orde Baru pada 1966.

Kekerasan adalah norma politik di era itu dan pemberontakan dapat terjadi dengan pelbagai latar belakang ideologis. Sehingga pembantaian besar-besaran terhadap orang yang terlibat atau dituding PKI pada 1965 hingga 1968 tetap tidak bisa dibenarkan apapun alasannya.

Tindakan militer dan pendukungnya pada 1965 sama tidak bermoralnya dengan apa yang dilakukan PKI pada 1948. Eksekusi ekstrayudisial dan diskriminasi bertahun-tahun kepada pendukung PKI tetap suatu kejahatan, apapun pembenarannya.

Memandang sejarah tidak bisa dalam dikotomi sederhana, bahwa pihak A baik dan pihak B jahat. Peran antagonis dalam drama kekerasan ini tidak tetap dan terus berubah. Pada 1947, DI/TII adalah tokoh antagonis, pada 1948 posisi itu digantikan PKI, pada 1950 digantikan APRA, dan seterusnya.

Seharusnya kita menelaah mengapa kekerasan-kekerasan politik itu terus terjadi. Dalam telaah itu, kita harus menemukan mata rantainya dan lalu menghapus mata rantainya dengan harapan mengakhiri konflik tak berkesudahan. Tentunya itu bukan hal yang mudah mengingatkan kadang kebencian lama itu masih digunakan kepentingan politik tertentu.

Demokrasi yang belum dewasa ketika masa tersebut menimbulkan perasaan ingin berkuasa yang sangat kuat antar pihak. Jika kita melihat berbagai pemberontakan yang terjadi di atas, semuanya  terjadi karena mereka belum atau dilengserkan dari kekuasaan. APRA, sebagai contoh, timbul reaksi kaum federalis terhadap transformasi negara federal menjadi negara kesatuan. Peristiwa Madiun 1948 juga lahir dari lengsernya tokoh sosialis kiri, Amir Sjarifuddin, sebagai perdana menteri.

Mungkin sekarang kekerasan itu telah berakhir. Tapi, usaha menanamkan bibit-bibit kekerasan lewat mengorek luka lama dan menghentikan dialog semakin menguat. Kita kini berusaha dididik oleh para politisi yang belum dewasa berdemokrasi dalam menggunakan kebencian sebagai penentuan perilaku politik. Bedebah memang, tapi itu realitanya. Kita kini tidak lebih alat bagi elit untuk berkuasa. Kita berpecah belah itu bukan urusan mereka.

Seperti yang dikatakan seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Gajah Mada yang penulis kenal, berdemokrasi haruslah disertai kedewasaan menerima perbedaan pandangan. Menanamkan anak muda kita dengan film propaganda dari suatu rezim otoriter alih-alih membongkar fakta sejarah hanya akan menjauhkan generasi ke depan dari semangat demokratis.

Generasi muda saat ini memiliki kesempatan dan kemampuan untuk memutus siklus kekerasan tersebut dengan menolak ditanami kebencian dan ketakutan yang irasional. Sudah seharusnya kita sekarang kembali menjadi satu bangsa yang utuh dan membersihkan darah yang masih sisa melekat dari tangan pendahulu kita.

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.