TAHUN 2017 merupakan tahun yang pelik bagi Indonesia. Di saat negara luar memikirkan pemusatan industrialisasi dan komoditas pendapatan negara, Indonesia justru terjerumus ke dalam jurang masa lalu. Setidaknya terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi kepelikan tersebut. Pertama, sulitnya menyatukan sudut pandang perilaku korupsi setelah reformasi 1998. Kedua, maraknya isu politisasi atas konsep dasar ideologi negara, dan ketiga, munculnya luka lama yang sengaja diungkit kembali (PKI).
Bila boleh berjujur, Pemilu 2014 belum sepenuhnya dapat disembuhkan, mendinginkan suasana justru dianggap upaya “penyerangan”. Kesamaan sudut pandang korupsi bahkan tak lagi sepenuhnya diterima masyarakat karena ambuguitas sudut pandang terhadap roda pemerintahan Jokowi. Anehnya, semakin berhasil KPK memberantas korupsi maka semakin gagal pula KPK membasmi korupsi.
Kewenangan pemerintah
Pemerintah dan KPK dua lembaga yang sama memiliki misi “membunuh koruptor”, dengan latar belakang kesamaan tersebut tiap keputusan KPK berbau hukum selalu diartikan sebagai citra pemerintahan itu sendiri. Persoalannya, berapa banyak waktu terbuang bila pemerintah memaksa menyamakan interpretasi dan membiarkan perilaku korupsi yang dilandasi ke-un-valid-an data empiris sehingga masyarakat membangun opini sendiri?
Pertanyaan ini menjadi dilema tersendiri bahkan pemikir dan negarawan Perancis, selama beratus tahun Jean Jacques Rousseau (1712-1778) sudah menyinggungnya yang dikenal sebagai trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif). KPK bukan unsur ketiganya, ia termasuk lembaga non-yudikatif yang diberikan kewenangan sebagai mana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bahwa KPK berwenang mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.
Apapun sebutan terminologinya yang pasti korupsi dalam tubuh demokrasi selalu mengakar dan masuk ke seluruh elemen lembaga. Begitu sesungguhnya pandangan masyarakat sedangkan masyarakat belum sadar dijadikan fungsi instrumen dalam bingkis “kebebasan-demokrasi”.
Sungguh diluar dugaan, saat KPK berhasil membeber para koruptor melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kab. Pamekasan, Kota Malang, Kota Batu dan terbaru di Cilegon berhasil diungkap ke publik masih terdapat tanggapan sinis bahwa ini merupakan cara pemerintah melegalkan pemilu 2019.
Seperti ungkapan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2008-2013, Mahfud MD suatu ketika berkata, “Ternyata, banyak yang dulu galak menjatuhkan Soeharto karena KKN sekarang jadi koruptor atau pendukungnya. Gila, reformasi diartikan gantian korupsi”. Sebabnya, kita tidak perlu meributkan kembali dengan meluruskan sejarah, semua sudah merasa lurus dengan interpretasinya masing-masing. Data baru tidak bisa meruntuhkan perspektif.
Kebebasan dan tatanan
Konflik antara kebebasan dengan tatanan menempatkan pemerintah sebagai sebuah institusi yang memiliki kewenangan (legitimate) dengan menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Tanpa pengendalian, masyarakat bisa saja berbuat semaunya, sehingga semakin menimbulkan instabilitas.
Untuk menjawab itu semua dibutuhkan pengertian sederhana terminologi dwi fungsi antara demokrasi dan KPK sebagai sistem negara. Pemerintah dalam hal ini memiliki anomali tersendiri, data bukan lagi strategi ampuh membunuh interpretasi, tindakan preventif sudah usang dan sulit mendamaikan pandangan lurus rakyat atas perbedaan.
Filsuf Nietzsche suatu ketika berkata, “segala hal adalah obyek dari interpretasi. Setiap interpretasi bukanlah representasi dari kebenaran, tapi ekspresi kekuasaan”. Pemerintah disini dituntut bukan hanya tampil tegas atas kebijakan yang telah diambil namun perlunya kordinasi dengan para pemuka agama dan ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Bagaimanapun persoalan ini tidaklah mudah dihadapi dengan sisa fanatisme dua kubu bertikai.
Menyinggung soal demokrasi memang tidak lepas dari peran bungkus isu sosial, ekonomi dan politik bahkan agama. Bagi saya, demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Demokrasi bukan sebagai media penebar benci atau kritik dalam merumuskan proses untuk mencapai tujuan tanpa mengetahui kebenarannya. Inti dari demokrasi adalah hak-hak dasar dan asasi manusia, yang merupakan kriteria obyektif dan universal. Artinya, semakin demokratis suatu bangsa, akan semakin kokoh penghormatan kepada kemanusiaan.
Dengan demikian, demokrasi yang bernapas dalam hak asasi manusia akan menjamin eksistensi pluralisme dalam kehidupan. Dengan kata lain demokrasi akan mampu menghormati keberagaman bahkan lawan politiknya.
Ada pekerjaan rumah yang tak kala genting, yaitu menyamakan interpretasi bahwa musuh sesungguhnya kita adalah korupsi, dan bukan PKI yang belum diketahui kejelasnnya, terlebih isu komunisme sudah mati ditelan bumi. Mengagungkan komunisme/PKI sama saja menganggap komunisme/PKI bak dewa yang seketika menakutkan dan sulit ditaklukkan. Sekali lagi, musuh nyata kita sesungguhnya adalah KORUPSI!