Beberapa waktu lalu, kita kembali melihat para driver Gojek turun ke jalan. Mereka bukan hanya menuntut soal insentif atau tarif yang berubah-ubah, tapi juga menyuarakan keresahan yang lebih dalam: kejelasan status kerja, perlindungan sosial, dan perlakuan yang lebih adil dalam sistem ekonomi digital yang sekarang semakin mendominasi.
Gojek dan platform transportasi online lainnya memang membuka peluang kerja bagi jutaan orang. Data dari Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan bahwa sektor transportasi daring menjadi salah satu penopang ekonomi informal yang terus tumbuh. Tapi di balik angka itu, ada sisi yang sering luput: tidak adanya jaminan sosial, tidak adanya kejelasan hak, dan ketergantungan penuh pada sistem digital yang bisa berubah sewaktu-waktu—tanpa dialog, tanpa kompromi.
Status “mitra” yang diberikan pada driver sering kali membuat mereka berada dalam posisi lemah. Mereka bekerja layaknya karyawan tetap, tapi tak mendapat perlindungan layaknya pekerja formal. Mereka harus mematuhi algoritma, mengejar insentif, dan tetap aktif, meski tak ada kontrak kerja yang adil. Seperti yang ditulis Kusuma & Prasetyo (2020), relasi antara driver dan aplikasi pada dasarnya adalah relasi kuasa—satu pihak bisa mengatur sepenuhnya, pihak lain hanya mengikuti.
Inilah yang disebut oleh banyak pengamat sebagai “otoritarianisme algoritma”. Sistem digital seperti aplikasi transportasi tak hanya menentukan rute atau tarif, tapi juga menentukan siapa yang layak mendapat order, siapa yang dihukum, bahkan siapa yang kehilangan akses kerja. Semua itu terjadi tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas. Tanpa suara dari para pekerja.
Padahal, semangat Reformasi 1998 adalah soal keberpihakan pada rakyat, pada mereka yang selama ini terpinggirkan. Jika dulu rakyat melawan otoritarianisme politik, kini tantangan kita adalah melawan ketimpangan yang disembunyikan di balik dashboard dan algoritma.
Sudah waktunya negara hadir lebih kuat. Regulasi harus dirancang agar pekerja digital—termasuk driver ojek online—memiliki hak dan perlindungan yang layak. Seperti yang ditegaskan Rahmawati (2021), keadilan sosial di era digital hanya bisa terwujud jika ada keberanian politik untuk berpihak pada yang lemah.
Langkah seperti yang diambil Mahkamah Agung Inggris tahun 2021, yang menyatakan bahwa driver Uber adalah pekerja (bukan sekadar mitra), bisa menjadi acuan penting (BBC News, 2021). Indonesia juga bisa mengambil langkah serupa: memperjelas status kerja, memberi perlindungan sosial, dan menjamin hak berserikat bagi para pekerja platform.
Karena pada akhirnya, perjuangan para driver hari ini bukan sekadar soal tarif atau insentif. Ini tentang bagaimana kita sebagai bangsa merespons tantangan baru dalam bentuk ketidakadilan digital. Reformasi belum selesai. Ia harus terus dikawal—agar tidak berhenti sebagai catatan sejarah, tapi benar-benar terasa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Daftar Referensi
* Badan Pusat Statistik. (2022). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: BPS.
* Kusuma, A., & Prasetyo, R. (2020). “Relasi Kuasa Driver Online dan Aplikasi”. Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi, 9(2), 112–123.
* Rahmawati, N. (2021). “Reformasi dan Keadilan Sosial di Era Digital”. Jurnal Politik dan Pembangunan, 5(1), 45–59.
* BBC News. (2021). “Uber drivers are workers, rules UK Supreme Court”. Retrieved from