Jumat, Maret 29, 2024

Demitologisasi SO 1 Maret

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Menarik bahwa ada kesaksian dari Prof. George Kahin tentang SO 1 Maret 1949. Menurutnya, SO 1 Maret bukanlah serangan balasan pertama dan terbesar dari pasukan RI terhadap Belanda setelah Agresi Militer 19 Desember 1948. Sebab sebelumnya ternyata sudah ada serangan yang cukup dahsyat, bahkan nyaris mematikan, misalnya pada 9 Januari 1949.

Syukurlah, serangan berupa pemboman atas Hotel Merdeka atau Hotel Garuda di Yogyakarta dapat dibatalkan (Colin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi, Jakarta: Gramedia, 1986). Hal itu adalah berkat jasa Prof. Kahin yang dapat melobi pasukan RI karena kebetulan ditangkap dan sedang ditahan di hotel itu oleh Belanda.

Hanya sayangnya, kesaksian seperti itu tidak mudah ditemukan dalam buku sejarah nasional Indonesia masa kini. Bukan karena tidak dicatat, melainkan lantaran SO 1 Maret terlalu ditampilkan sebagai sejarah yang dominan. Itulah mengapa dalam sejarah Revolusi 1945 – 1949 di Indonesia seolah-olah tiada yang lebih penting dan menentukan daripada SO 1 Maret. Akibatnya, SO 1 Maret sekadar menjadi mitos yang diwariskan tanpa ada yang dapat mempertanyakan, bahkan menggugatnya.

Mitos dalam sejarah biasanya cenderung bernuansa “hitam-putih”. Itu artinya, hanya ada satu kebenaran yang tunggal dan seragam. Maka, jika SO 1 Maret dijadikan mitos dalam sejarah, sulit untuk dibantah bahwa seakan-akan tiada sejarah serevolusioner SO 1 Maret.

Hal itu dapat disaksikan pada bagaimana SO 1 Maret direkonstruksi sebagai sejarah yang terlalu memusatkan pada kisah dan tokoh dalam perjuangan bersenjata belaka. Padahal ada jenis perjuangan lain, seperti diplomasi, yang juga turut memainkan peran cukup penting. Dan yang tak kalah penting juga adalah kesadaran nasionalisme dari rakyat yang rela mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan.

Karena itu, angkat senjata, diplomasi dan nasionalisme adalah “bahan bakar” yang tak bisa dilepaskan dalam perjuangan selama Revolusi di Indonesia. Sebab ketiganya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling terkait satu sama lain. Keterkaitan itulah yang membuat SO 1 Maret tidak perlu lagi untuk dimitoskan, apalagi dikultuskan dengan menampilkan tokoh dan peran tertentu dalam sejarah. Dengan kata lain, diperlukan upaya-upaya demitologi yang mampu meletakkan SO 1 Maret sebagai sejarah yang tidak melulu bernuansa angkat senjata.

Pertama, terkait dengan kesaksian Prof. Kahin di atas, agaknya perlu untuk dikaji ulang mengenai historiografi di Indonesia, terutama semasa Revolusi 1945-1949. Apalagi beragam kesaksian yang kerap diabaikan lantaran ada sejumlah peristiwa yang terlalu dipandang lebih penting dan menentukan secara sosial dan politik.

Dalam SO 1 Maret, pandangan seperti itu dibangun melalui tokoh dan peran yang amat sentralistik dengan konsekuensi menghilangkan beberapa bagian yang sebenarnya tak kalah penting dan mendesak. Misalnya, saat terjadi serangan pada 9 Januari 1949 pasukan yang berada di garis depan pertempuran adalah KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi).

Kedua, diplomasi dari para tokoh terdidik dan terpelajar Indonesia sesungguhnya memainkan peran yang cukup besar dan berpengaruh. Buktinya, Prof. Kahin yang sejak semula selalu dicurigai sebagai “agen ganda” (double agent), baik oleh pasukan RI maupun pasukan Belanda, namun berkat jasa baik dari para diplomat ulung Indonesia, beliau masih dapat tinggal di Indonesia.

Meski berkewarganegaraan Amerika, Prof. Kahin yang selalu dituduh sebagai orang Belanda, bahkan agen rahasia dari pemerintah Amerika, tampak dengan mudah bergaul dan bersahabat dengan para pemimpin Indonesia, termasuk para pasukan di medan perang. Itulah mengapa ketika berhadapan dengan ribuan orang yang adalah para pejuang lokal di Kebumen, beliau dengan pengetahuan bahasa Indonesia yang serba terbatas berpidato untuk menjelaskan bahwa dirinya adalah orang Amerika melalui bendera-bendera Amerika yang terpasang di jip-nya.

Ketiga, keterlibatan rakyat, khususnya para pemuda, dalam Revolusi 1945-1949 merupakan kunci dari perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena itu, “nasionalisme dari bawah” ini patut dicatat dan dihargai dalam sejarah sebagai sumbangan berharga yang mampu membawa Indonesia keluar dari “Zaman Edan” atau “Zaman Kacau Balau” (Dursetut).

Hal itu dimungkinkan berkat semangat revolusioner yang diperoleh semasa pendudukan balatentara Jepang lewat penanaman semangat Bushido demi membela tanah air seperti dalam pendidikan dan pelatihan di asrama Peta atau “Pembela Tanah Air (Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1945, Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018).

Melalui ketiga hal di atas, Revolusi di Indonesia menjadi saat dan tempat yang tepat untuk menunjukkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan RI 17-8-1945 bukanlah sebuah kebetulan belaka. Jadi, bukan semata-mata karena SO 1 Maret, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia diakui oleh seluruh dunia. Tetapi, juga lantaran diplomasi dan nasionalisme kerakyatan yang menentukan RI dapat berdiri dan bertahan hingga kini.

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.