Jumat, November 8, 2024

Dehumanisasi Umat Beragama

Oman Baiturrahman
Oman Baiturrahman
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Indonesia tengah mengalami krisis kerukunan umat beragama. Di tengah-tengah euforia pesta demokrasi yang tinggal beberapa bulan ke depan ─bahkan bisa dihitung hari─ agama selalu menjadi alat untuk merenggut suara masa.

Tak heran jika agama selalu menjadi alat komoditas para politisi untuk meraih kekuasaan, hal ini karena agama memiliki dimensi dogmatis bagi para penganutnya, sehingga dimensi dogmatis itu selalu membawa para penganutnya kepada fanatisme berlebihan. Terutama masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut kepercayaan agama tertentu.

Ujaran kebencian baik di medsos maupun di lingkungan sosial, selalu terdengar bising di telinga. Bahkan orang yang mengaku dirinya sebagai Alim Ulama, Ustad, Da’i tak jarang isi ceramahnya selalu menyudutkan kelompok tertentu. Mulai dari Kafir-mengkafirkan, merasa paling benar bahkan sampai menganggap kelompok tertentu menganut ajaran sesat. Fenomena ini marak terjadi di dalam masyarakat Indonesia.

Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang plural. Sangat temperamental dan rentan untuk di adu domba. Mungkin polemik agama yang masih terngiang di benak bangsa Indonesia sekitar tahun 2000-an antara pemuluk Islam dan Kristen di Ambon menjadi contoh, bahwa masyarakat kita sangat mudah di adu domba ─apalagi masalah agama. Kejadian ini meninggalkan pilu yang tragis bagi kerukunan umat beragama ─bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan penyakit egosime keberagamaan di sana.

Dalam konteks keberagamaan Islam sendiri, saya ingin melihat pada kasus yang tempo lalu terjadi. Kasus yang melibatkan Gus Nur (Sugik Nur) dan Ahmad Muzanni yang juga merupakan Ketua Rijalul Anshor. Menurut pengakuan Muzanni, dalam ceramahnya, Sugik Nur selalu menyudutkan dan menyesatkan pandngagan Islam Nusantara yang merupakan gagasan NU (Nahdhatul Ulama) yang mengakibatan pemuda Anshor ini geram dan menanyakan landasan fiqih atas argumen Sugik Nur.

Ceramah tersebut berakhir ricuh antara pengikut Sugik Nur dan Ahmad Muzanni ─bahkan dalam video amatir tersebut pengikut Sugik Nur ada yang menyerukan untuk sembelih.

Jika dalam video tersebut terdengar seruan “sembelih”, saya jadi teringat kisah pilu sesosok cucu Nabi Muhammad Saw, yang juga terbunuh secara tragis, kepala Husain dipenggal oleh saudara se-Imannya ─antara kelompok Ali dan Muawiyah─ akibat perebutan tahta kepemimpinan pasca Nabi Muhammad Saw.

Fenomena keberagamaan yang seperti ini, pada akhirnya menghilangkan esensi beragama itu sendiri. Umat beragama seharusnya tahu bahwa agama diciptakan untuk sebuah kedamaian, bukan untuk permusuhan. Islam sendiri selalu menyeru umatnya untuk saling berpegang pada tali Allah dan tidak saling bercerai-berai (QS; Ali Imran; 103).

Sikap keberagamaan umat beragama yang kian hari kian jauh dari nilai kemanusiaan dewasa ini diakibatkan polarisasi cara berpikir yang monolik. Akhirnya, merasa keyakinannya selalu benar dan menganggap dirinya menjadi representasi Tuhan di muka bumi. Fenatisme keberagamaan pun sudah tak bisa terbendung lagi.

Redevinisi Ulama 

Pada kasus Gus Nur (Sugik Nur), kita bisa melihat bahwa standarisasi seorang Ulama dalam persepsi masyarakat Indonesia hari ini hanya diukur pada simbol-simbol agama, bukan substansi agama itu sendiri. Ulama yang bermodalkan sorban dan kopiah bukan penentu bahwa Ia menguasai ilmu agama juga. Ini seperti melihat seekor gajah dari belakang atau depan saja.  Persepsi yang seperti ini tentu tidak dapat dibenarkan bagaimanapun alasannya.

- Advertisement -

Ulama seharusnya Ia yang mengerti substansi keberagamaan umat beragama, yaitu agama yang dapat membawa perdamaian, pencerahan, peradaban ─kita bisa melihat zaman abad pertengahan dan zaman skolastik─ dan tentunya ketenangan batiniah bagi pemeluknya. Jika ulama yang membawa pesan amoral pada pemluknya, maka Imam Ghazali mengkatagorikan ulama seperti ini sebagai Ulama Su’ ─ulama yang buruk.

Pada kenyataannya, di Indonesia sendiri kerap kali bertebaran sosok ulama-ulama yang seperti saya jelaskan di atas. Sering kali kita diperlihatkan pada doktrinasi agama yang jauh dari substansi keberagamaan itu sendiri, ada upaya menebarkan kebencian, meyesatkan golongan lain, merasa pemahaman agamanya paling benar (Truth Claim).

Kasus Sugik Nur mungkin menjadi salah satunya dan tak menutup kemungkinan ada banyak lagi ulama-ulama yang seperti itu. Alih-alih memberikan ketenangan kepada pemeluknya justru memberikan keresahan bagi pemeluknya.

Figur ulama yang muncul belakangan ini bisa jadi akibat, penyempitan makna ulama itu sendiri. Dewasa ini, standar yang digunakan masyarakat kita dalam memandang ulama sangat sempit. Kita selalu disodorkan dengan ulama-ulama yang hanya bermodalkan sorban dan kopiah di atas kepala. Dalam persepsi saya, dengan melihat konteks zaman yang sekarang, seharusnya ulama tidak hanya mengerti ilmu agama melainkan juga mengerti ilmu sosial atau dalam bahasa Syafe’i Ma’arif (2018), Ulama yang dapat menggabungkan antara konsep zikir dan fikir.

Nalar Kemanusiaan yang Hilang

Sejarah panjang Islam dalam memberikan pencerahan bahkan pernah menorehkan peradaban manusia. Tak pernah hilang dalam ingatan pemeluknya akan peristiwa kelam yang pernah dialami Islam sendiri. Perang Shifin dan Perang Jammal menjadi peristiwa tragis tentang bentrokan saudara se-iman, yang seharusnya menjadi contoh generasi mendatang.

Perang ini tak lain dipicu oleh fanatisme terhadap pemuka agama yang berlebihan, sehingga darah pun bisa menjadi taruhannya ─betapa murahnya kala itu harga sebuah nyawa yang dikorbankan untuk kekuasaan. Fanatiseme keberagamaan ─terutama kepada pemuka agama─ mampu menghilangkan nalar kemanusiaan umat beragama itu sendiri.

Masyarakat Indonesia yang temperamental terhadap isu-isu agama ─agama yang dijadikan alat mendobrak suara masa─ yang sering dibawa dalam kontestasi politik, bisa memicu bentrokan antar umat beragama. Oleh sebab itu, sudah seharusnya para elit mampu mengontrol tendensi politisnya guna mencegah perpecahan golongan di Indonesia. Saya jadi teringat apa yang pernah dikatakan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.

Oman Baiturrahman
Oman Baiturrahman
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.