Sabtu, April 20, 2024

Dehumanisasi Pendidikan Indonesia

Fakhri Furqoni
Fakhri Furqoni
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Perlu kita refleksikan kembali bahwa tujuan awal pendidikan di Indonesia digambarkan oleh Bapak Pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara, bahwa “Pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia”.

Setidaknya, ada pergeseran sangat jauh yang kita temui di Pendidikan di Indonesia, bahwa tujuan awal Pendidikan di negeri tercinta kita sudah di reduksi dengan kurikulum – kurikulum yang memaksa kita untuk hanya menjadi budak “kapitalisme” yang dibutuhkan pasar kedepannya.

Atau dengan kasarnya harus kita sama–sama sadari kurikulum atau institusi pendidikan mengerecutkan pendidikan hanya sebuah mesin yang melahirkan ekspetasi ekonomi industri. Secara gamblang kita sering mengatakan bahwa kita sekolah dan kuliah untuk mendapatkan bekal mencari “uang” dalam membangun masa depan.

Kita dapat mengambil beberapa contoh yang merupakan kritik terhadap pendidikan kapitalis salah satunya ahli Ekonomi Samuel Bowles & Herbert Gintis dari Amerika Serikat ia berdua mengkritik melalui bukunya yaitu “Schooling in Capitalist America : Educational Reform and the Contradictions of Economic Life” (1976), dimana ia mengkritisi sistem pendidikan berjalan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme.

Dengan fokus yang dipersempit menjadi tujuan ekonomi semata terjadilah matinya pola – pola kritis dalam diri individu serta memenjarakan kebebasan berpikir yang luas. Seperti juga dituangkan oleh ahli pendidikan kritis Paulo Freire (1973) bahwa pendidikan hanyalah “budaya diam”, bahwa pendidikan melahirkan pola pikir yang dikekang oleh struktur – struktur yang ada dan siswa hanya menuruti apa–apa yang menjadi labirin kurikulum sekarang.

Di Indonesia sendiri reduksi–reduksi yang mengerucutkan pendidikan hanyalah untuk industri sudah terjadi sejak lama, seperti yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dalam pidato Hari Pendidikan Nasional 2018. Ia menyinggung soal Revolusi Industri 4.0, bahwa Sumber Daya Manusia di Indonesia disiapkan untuk menghadapi Revolusi Industri tersebut.

Tanpa mengkritisi Revolusi Industri 4.0 untuk siapa dan siapakah yang diuntungkan, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa Sumber Daya Manusia di Indonesia hanya untuk sebatas kepenting industrial saja tanpa melihat esensi–esensi lainnya.

Juga yang disampaikan oleh Muhammad Natsir, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada Hari Pendidikan Nasional 2017, ia menjunjung tema “Meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi” Natsir menekankan bahwa esensi pendidikan tinggi di Indonesia untuk melahirkan lulusan dan penelitian yang mampu bersaing dalam industri dunia serta bermanfaat bagi kemajuan industri Indonesia. Pemahaman–pemahaman seperti ini sudah mengakar dalam sistem Pendidikan yang bobrok dengan dalih retorika pembangunan nasional.

Seperti inilah rangkaian – rangkaian dehumanisasi pendidikan di Indonesia yang hanya mengacu pada alasan “kapitalis” semata, padahal tujuan pendidikan jauh daripada itu seharusnya. Bahwa Pendidikan menjadikan “manusia” menjadi “manusia” bukanlah “manusia” menjadi “budak”.

Pendidik hanya melihat hasil dari pelajaran bukan melihat proses yang mencapai hasil tersebut. Akibatnya, siswa hanya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil yang sempurna dimata pendidiknya sehingga menghilangkan tujuan awal dia belajar pelajaran tersebut.

Nalar kritis siswa menjadi terpojokan dan tidak bisa berkembang kemana–mana begitupun kontruksi–kontruksi sosial yang dibangun didalamnya menjadi hancur tak bernyawa sehingga tidak bisa melihat kontradiksi – kontradiksi sosial masalah yang ada di dalam masyarakat serta menyelesaikan. Kapitalisme dan Industrialisasi menjadi tokoh antagonis yang menciptakan sistem bobrok seperti ini serta mengkerdilkan esensial Manusia yang hidup hanya untuk mengikuti alur kaderisasi budak ekonomi.

Seperti yang sudah saya jelaskan diatas, sebuah sistem Pendidikan yang berkedok kapitalisme sudah menjadi masalah kultural di Indonesia, walaupun terdengar utopis tetapi kita harus mampu mengkritik pendidikan – pendidikan kapitalisme yang terjadi sekarang ini melalui kontra narasi – narasi dari pendidikan kapitalis yang kita bangun. Sehingga kita bisa membuka mata dunia terutama Indonesia bahwa pendidikan saat ini melahirkan generasi yang ‘diam’ serta ‘bungkam’. Pendidikan yang perlahan memenjarakan dan jauh dari kebebasan.

Fakhri Furqoni
Fakhri Furqoni
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.