Dampak COVID 19 bukan hanya dalam sektor kesehatan masyarakat, tentunya berdampak di berbagai sektor seperti ekonomi, pendidikan, pariwisata, politik bahkan sampai agama. Keadaan krusial ini menuntut Menteri Pendidikan Nadiem Makrim merespon dengan cepat, membuat spekulasi beberapa kebijakan baru.
Salah satu kebijakan baru dari Nadiem Makrim adalah pembelajaran di rumah (Home Learning) melalui jejaring internet atau via daring. Sekolah, Perguruan Tinggi, dan berbagai komunitas pendidikan yang semula pembelajaran dengan tatap muka di kelas, mulai pertangahan bulan Maret sudah mulai dikosongkan.
Diversifikasi responpun dilontarkan dari berbagai kalangan masyarakat ada yang menerima dengan sikap positif dan ada juga sebaliknya. Faktanya pembelajaran via daring adalah solusi cepat, efektif dan efisisen ditengah gejolaknya pandemi COVID 19.
Impact dari pembelajara via daring mulai bermunculan salah satunya dari struktur sosial keluarga. Orang tua harus lebih ekstra dan intens dalam mengawasi polah tingkah anak dirumah khususnya siswa yang masih tingkat dasar maupun menengah. Transfer ilmu yang dilakukan oleh guru menjadi terbatas dan kurang informatif.
Orang tua selayaknya berperan menjadi pendamping dan fasilitator belajar mereka ketika materi yang disampaikan guru kurang dipahami. Ibu sebagai kembali menerima beban berat berperan sebagai pengganti guru mata pelajaran yang seharusnya dibebankan kepada guru di sekolah. Sedangkan suami harus tetap bekerja sebagai tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Tetapi gerakan feminis yang sudah didengung-dengungkan dari abad yang lalu terkesan direduksi dengan adanya COVID 19. Feminisme mempunyai tujuan untuk menunjukkan bagaimana penilaian tentang suatu kondisi sosial dimana perempuan menempuh kehidupan mereka dengan membuka kesempatan untuk megkonstruksi dunia mereka dan menawarkan kepada mereka prospek kebebasan masa depan. Fenomena seperti ini terjadi di berbagai kalangan mayarakat, perempuan yang biasanya bekerja harus berhenti sejenak guna merawat anak dan rumah.
Fenomena yang terjadi merefleksikan kembali gagasan feminis Marxis, kajian feminis Marxis subordinasi perempuan melayani kebutuhan akan kapitalisme. Dibawah kondisi kapitalisme perempuan hidup sebagai istri dan ibu. Perempuan merupakan sumber tenaga domestik yang tak dibayar, pekejaan mereka sangat penting bagi kapitalisme karena menjadi penghasil komoditi dalam industri.
Keterbatasan perempuan dalam melakukan aktivitas menjadi semakin massif di tengah badai pandemi COVID 19 ini. Perempuan harus dirumah, mengurus segala kebutuhan rumah, menjaga dan mendidik anak sebagai pengganti guru di sekolah. Disrupi feminis seakan-akan menjangkiti perempuan-perempuan terdampak COVID 19.
Pekerjaan perempuan dalam pandangan Marx secara ekplisit terjadi subordinasi terhadap kebebasan mereka. Bagi mereka yang berfaham kapitalis, perempuan dibayar dengan upah munimum dengan pekerjaan rumah yang berat sebagai ibu rumah tangga. Selain itu perempuan menjadi terkungkung, tenaga mereka diekpliotasi berlebihan, dan kebebasanpun dibatasi. Hasilnya perempuan harus tetap dirumah menunggu upah dari suami dan suami atau laki-laki harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Fenomena disrupi feminis hanya terjadi kepada kalangan masyarakat minoritas. Daring atau jejaring internet tidak dapat dijadikan sebagai solusi bagi mereka yang bekerja sebagai buruh kasar. Bahkan Pemutusan hubungan kerja (PHK) juga terjadi di berbagai perusahaan dengan berbagai alasan.
Struktur sosial masyarakat grass root mengharuskan vacum sementara dari pekerjaannya guna menjaga aktivitas rumah tetap kondusif. Diskriminasi ini umumnya timbul dalam masyarakat pedesaan. Perempuan merasa berpenghasilan rendah dibandingkan laki-laki membuat perempuan atau ibu harus mempertimbangkan kembali untuk bekerja di luar rumah ditengah badai COVID 19.
Persepsi dan mindset masyarakat perempuan atau ibu lebih efektif mengurus rumah dan anak dibandingkan harus keluar rumah kerja. Hal ini didukung dengan beberapa akses internet,jalan dan fasilitas-fasilitas umum kurang menjangkau di wilayah pedesaan. Hal ini juga terjadi di masyarakat perkotaan khususnya wilayah Jakarta dan sekitarnya. Banyak dari mereka perempuan dan ibu-ibu harus vacum dari pekerjaanya sebagai buruh lepas. Mereka harus menjalani karantina di rumah sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Efek dari ketimpangan gender ini membuat beberapa perempuan atau ibu merasa jenuh dengan kegiatan sehari-hari mereka. Kebebasan yang secara esensi sudah bisa dinikmati di era modern, harus diredam guna mempertimbangkan kesehatan diri sendiri dan masyarakat.
Fenomena ketimpangan gender di berbagai kalangan masyarakat mungkin bersifat fluktuatif dan sementara. Probabilitasnya seiring dengan penurunan korban COVID 19 dan keadaan yang semakin membaik, perempuan akan kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa, mendapatkan hak-hak mereka sebagai kaum feminis.