Lelaki itu bernama Dedi Mulyadi. Pejabat publik yang kerap mencitrakan dirinya sebagai orang kampung itu melejit dan berdiri tinggi sepantaran dua kandidat lain, Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar, menjelang Pilkada Jawa Barat 2018. Di antara ketiganya, Dedi Mulyadi barangkali sosok yang paling sering disalahpahami. Terlebih ketika politik identitas telah menjadi properti yang efektif dalam membakar psikologi massa, sekaligus sebagai instrumen politik.
Jauh sebelum konstelasi politik Jawa Barat memanas, sosok dan pemikiran Dedi Mulyadi memang sering menghiasi halaman muka media. Berbagai kebijakan maupun pernyataannya bak bola salju saat disorot media. Dedi memang tergolong berani saat berdiri kokoh di atas keyakinannya, termasuk saat berhadapan dengan pentolan FPI (Front Pembela Islam), Rizieq Shihab. Munculnya penentangan pencalonannya sebagai gubernur Jawa Barat oleh sebagian kelompok yang mengatasnamakan ulama, dengan tudingan kemusyrikan, merupakan gelombang lanjutan dari yang pernah menerpa Dedi Mulyadi sebelumnya. Bagi saya, kekhawatiran sebagian orang tentang Dedi Mulyadi merupakan sesuatu yang tidak masuk nalar. Siapa saja, termasuk Dedi Mulyadi, memiliki hak politik sebagaimana dilindungi konstitusi kita.
Dalam pandangan pribadi saya, kehadiran Dedi Mulyadi di panggung politik dengan corak pemikirannya, merupakan khazanah tersendiri bagi bangsa ini. Dedi Mulyadi berikut corak pemikirannya merupakan bagian dari kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lainnya di dunia. Semestinya, kita menghargai cara pandang Dedi Mulyadi, seirama dengan bagaimana kita memandang Indonesia yang bhineka ini.
Saya rasa, bagi siapa saja yang tebersit motivasi menghilangkan keragaman hanya karena ego sektoral, penting menilik cara pandang Dedi Mulyadi mengenai keragaman itu. Dalam buku Mengayuh Negeri dengan Cinta (Rosda Karya, 2009), Dedi Mulyadi menyebut bahwa keragaman merupakan sebuah potensi. Dia mengibaratkan keragaman itu dengan samara pawon. Dalam bahasa Indonesia, samara pawon artinya bumbu dapur, meski secara maknawi tidaklah serupa begitu. Samara pawon, menurut Dedi, memiliki arti yang melampaui deskripsi tentang sejumlah rempah yang menjadi bumbu masakan dapur.
Kata samara merupakan gabungan dari kata “sa-” dan “-mara”. Kata “sa-” dalam bahasa Sunda mencerminkan kesatuan. “Sa-” itu mulanya banyak, kemudian diramu menjadi satu. Kalimat yang dihasilkan dari awalan “sa-” adalah cermin kata yang dibangun dari berbagai nilai. Contohnya: sareundeuk, saigeul, sabobot, sapihaneun—ketiganya bermakna satu kesatuan.
Samara merupakan satu keanekaragaman yang dijadikan satu. Samara terdiri atas sejumlah buah-buahan, sayuran atau rempah-rempah yang disatukan. Pada awalnya terpisah-pisah dengan rasanya masing-masing, lalu dengan campur tangan kreativitas manusia keberbedaan itu menjadi satu dalam rasanya yang baru. Menariknya lagi adalah rasa baru itu tidak menghilangkan kekhasan dari masing-masing penyusunnya. Bayangkanlah samara dalam bentuk sambal. Walau telah menjelma bentuk dan rasa baru, yakni sambal, tetap saja terasa pedasnya cabai, legitnya terasi, asinnya garam. Semuanya menyatu, namun tidak menghilang dalam kesatuan.
Dengan kata lain, samara pawon yang dituangkan Dedi Mulyadi adalah istilah lain bagi kiblat kita dalam bernegara, yakni Bhineka Tunggal Ika. Jadi, beragamnya pemikiran setiap individu adalah berkah sepanjang bertujuan merawat semangat kebangsaan. Dan semangat kebangsaan itu hanya akan menjadi utopis ketika semangat toleransi tidak menjadi imamnya.
Menjadi manusia seunik Dedi Mulyadi, menurut saya, memang layak disalahpahami. Putra terbaik Indonesia seperti Gus Dur atau Cak Nur pun kerap disalahpahami. Lantas apakah sedemikian buruknya disalahpahami? Karena untuk menjadi agung, tutur pemikir Amerika Ralph Waldo Emerson, adalah untuk disalahpahami.