Jumat, April 19, 2024

Debat sebagai Panggung Retorika

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Debat kedua dari para paslon dalam Pilkada di Solo telah berlangsung pada 3 Desember lalu. Disiarkan secara langsung oleh TATV, debat dapat berjalan dengan lancar dan disaksikan tanpa ada gangguan yang cukup berarti. Apalagi ada Endah Laras yang adalah penyanyi keroncong perempuan kenamaan, semakin menghangatkan acara debat di malam Jum’at itu.

Namun, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan debat? Untuk apa debat dilakukan? Bagaimana debat dikerjakan sesuai dengan maksud dan tujuannya?

Dalam kebudayaan Yunani kuno, debat menjadi tradisi atau kebiasaan yang begitu dikagumi dan dibanggakan. Khususnya di kalangan orang-orang muda, debat yang biasanya dikuasai oleh para filsuf seperti Plato, Socrates, Aristoteles, Protagoras, atau Cicero, merupakan tontonan dan sekaligus tuntunan yang menarik. Menariknya, karena dari mulut merekalah keluar kata-kata yang indah dan penuh makna untuk dihayati, bahkan diteladani. Itulah mengapa seorang pendebat disebut juga sebagai orator yang ulung. Mengapa?

Pertama, karena seorang orator dituntut untuk dapat menguasai retorika. Di sini arti dan makna retorika bukan seperti yang dipahami orang kebanyakan di masa kini. Jadi, retorika tidak sekadar “omdo” alias “omong doang”, melainkan sebuah seni atau keterampilan berbicara. Namun, retorika tidak dapat disetarakan begitu saja dengan apa yang dikenal sebagai “public speaking”. Sebab dalam retorika tidak hanya dituntut sebuah keahlian, tetapi terlebih adalah pengalaman. Dengan hal itulah, penghayatan dan pemaknaan atas kehidupan dapat ditampilkan melalui kata-kata yang berdaya kuasa sebagai seorang retorik.

Kedua, sebagai suatu seni, retorika sesungguhnya bertujuan untuk mempengaruhi orang lain agar percaya atau yakin bahwa apa yang dikatakan dalam pidato atau debat bukan tanpa dasar sama sekali. Maka dalam beretorika, bahasa menjadi “bahan bakar” yang mampu menghidupkan kata-kata sehingga dapat memberi daya dan kuasa pada siapapun yang mendengarnya. Karena itulah, di zaman Bung Karno (BK) ada istilah “Penyambung Lidah Rakyat”.

Artinya, rakyat yang mendengar kata-kata dari BK seperti memperoleh daya dan kuasa untuk menyuarakan apa yang menjadi kepentingannya. Jadi, lidah rakyat tidak lagi kelu, apalagi kaku dan beku, saat kata-kata BK terdengar di telinga mereka karena merasa telah disambungkan suara dan kepentingannya. Maka, bukan kebetulan jika BK dijuluki sebagai orator tiada banding, bahkan tanpa tanding, pada zamannya, baik di dalam maupun luar negeri.

Ketiga, bahasa dalam retorika bukan semata-mata jenis dan gayanya, tetapi adalah daya dan kuasa atas kata-kata yang tidak saling mencerminkan, apalagi membuat rikuh terhadap sesamanya. Jadi, berbahasa sama sekali bukan untuk memperdayai, bahkan menguasai, namun justru menawarkan perubahan yang membebaskan dan memerdekakan.

Contohnya dalam berbahasa Indonesia, sesungguhnya tidak perlu menjadi “baik dan benar” seturut ejaan yang diberlakukan, melainkan justru dapat menjadi “lingua franca” atau bahasa pengantar yang menyambungkan suara dan kepentingan rakyat di manapun dan kapanpun.

Maka, orang-orang di Indonesia Timur misalnya, tidak perlu terlalu dituntut untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan “SPOK” (Subjek, Predikat, Objek, Keterangan), namun cukuplah bahwa mereka dapat berbahasa Indonesia berdasar suara dan kepentingannya. Tak heran jika orang Ambon/Maluku misalnya, membahasakan “kita orang” dengan istilah “katong” yang terasa lebih akrab atau intim dalam kehidupan sehari-harinya.

Berdasar pemaparan di atas, debat sesungguhnya adalah salah satu panggung dari retorika. Artinya, dalam debat kata-kata menjadi kunci untuk memperlihatkan bahwa ada suara dan kepentingan yang selama ini selalu tak terdengar, bahkan terbuang dari pikiran. Suara dan kepentingan inilah yang menjadi bahasa dalam retorika dan dituturkan dengan gaya dan nada yang memikat, bahkan tak jarang juga menyentak.

Seperti dalam pidato BK yang berirama khas dengan suara baritonnya, retorika dalam debat juga memerlukan nada dan gaya yang mampu membuat para pendengar atau penontonnya tersadar bahwa ada hal dan masalah yang perlu untuk segera ditanggapi. Masuk akal jika retorika dalam debat amat diperlukan untuk menggugah kesadaran setiap orang agar peka dan peduli terhadap lingkungan di sekitarnya, termasuk sesamanya.

Singkatnya, debat, termasuk pidato dan orasi, adalah wahana penting dalam beretorika untuk menghadirkan secara elegan suara dan kepentingan rakyat yang lebih sering disamun daripada disambungkan. Inilah sesungguhnya dering peringatan kritis yang layak dan patut bergaung dalam debat, khususnya di panggung Pilkada 2020 ini.

Hanya, apakah gaung itu telah terdengar, rakyatlah yang pada 9 Desember mendatang telah diundang untuk menentukan siapa yang pantas menyambung lidah mereka. Dari panggung retorika dalam debat, sosok itu sudah dapat disaksikan, meski masih perlu dibuktikan keulungannya sebagai retoris yang sejati sebagaimana telah diteladani oleh para pendiri bangsa ini.

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.