Gotong royong sebuah istilah yang sangat magis. Selalu disebut dan didengungkan oleh bangsa ini yang entah mengerti atau tidak apa maknanya.
Saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, gotong royong selalu identik dengan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Gotong royong menempati istilah paling populer baik dalam soal-soal yang keluar saat ujian maupun dari mulut guru yang mengampu pelajaran PMP. Gotong royong juga melekat dengan istilah kerja bakti dan tolong menolong. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gotong royong memiliki arti bekerja bersama-sama. Begitulah kira-kira gotong royong.
Istilah gotong royong adalah istilah endemik dari bangsa Indonesia. Asli, otentik dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Bahkan, Bung Karno pun menyamakan istilah gotong royong dengan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila tidak lain adalah gotong royong.
Mari kita berjalan-jalan mengarungi negeri ini. Abaikan sejenak isu-isu politik, SARA dan hoax yang menjamur belakangan ini. Menyusur jalanan kampung-kampung, desa-desa di sekitar tempat tinggalmu. Adakah musibah kematian tetanggamu? Atau mungkin temanmu atau bahkan keluargamu pada hari ini? Jika ada, coba kalian amati peristiwa apa saja yang terjadi di sekitar kematian itu.
Saat terjadi kematian, tanpa ada perintah dari siapa pun, orang-orang akan berkerumun. Menyediakan waktu, tenaga dan mungkin uang untuk keluarga yang terkena musibah. Ikut serta menata isi rumah, menata kursi, mendirikan tenda, memasak dan lain sebagainya.
Dalam hitungan menit, di sekitar rumah yang berduka berubah. Orang-orang mulai berdatangan memberikan ucapan belasungkawa, anak-anak muda menata kendaraan yang parkir, menyediakan halaman-halaman rumah mereka untuk dipakai berkumpul, gang-gang kampung ditutup untuk ditempati para tamu. Semua ini terjadi begitu saja tanpa adanya perintah dan rapat-rapat pembentukan panitia kematian dan tidak ada honor untuk pekerjaan-pekerjaan ini. Semua tulus dan ikhlas.
Ritual kematian pun berjalan. Dimulai dengan memandikan jenazah, membungkus jenazah, menggotong jenazah menuju pemakamanan dan menguburnya. Usai itu, hiruk-pikuk masih terjadi di rumah keluarga yang terkena musibah. Merapikan kembali kursi-kursi, mencopot tenda, dan perlahan kendaraan-kendaraan yang terparkir meninggalkan rumah, serta jalanan di gang kampung kembali dibuka untuk umum. Namun, rumah keluarga yang terkena musibah masih hiruk pikuk dengan datangnya tamu-tamu. Dan Sekali lagi setelah acara selesai, tidak ada rapat pembubaran panitia.
Begitulah kira-kira ritual saat terjadi kematian. Gotong royong masih dapat kita lihat. Hal ini adalah daya hidup bangsa Indonesia yang sudah jarang ditemui dalam ritual-ritual yang lain. Daya hidup inilah yang harus kita transformasikan ke dalam ritual yang lain. Kita bawa memasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, kita tidak akan saling mencaci, mengklaim diri paling benar dan menciptakan permusuhan diantara saudara kita sendiri.
Seandainya daya hidup ritual kematian dapat kita bawa ke ruang lain, seperti misalnya di sekolah, saat ada seorang teman yang tidak bisa membayar biaya sekolah, kita membantunya. Kita bawa ke rumah sakit, saat ada orang yang sakit dan tidak mampu membayar biaya rumah sakit, kita membantunya. Kita bawa ke jalanan, saat ada gelandangan yang tidak punya rumah tinggal dan tidak dapat makan, kita membantunya.
Mari kita sama-sama membayangkan jika gotong royong dapat kita bawa ke segala sendi kehidupan. Tentu bangsa ini akan menjadi bangsa besar, makmur dan sejahtera rakyatnya, berwibawa pemimpinnya.