Senin, Mei 26, 2025

Data Berlimpah, Keputusan Tetap Asal: Krisis Literasi Manajemen

Azizah Ubaidah
Azizah Ubaidah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi Bisnis, Program Studi Manajemen
- Advertisement -

Hari ini, hampir tidak ada sektor yang kekurangan data. Pemerintah memiliki dasbor kinerja digital, perusahaan memiliki sistem pelaporan real-time, bahkan organisasi masyarakat sipil mengakses berbagai repositori terbuka. Namun ironisnya, kualitas pengambilan keputusan tidak selalu membaik. Di banyak ruang rapat, keputusan strategis tetap diambil berdasarkan intuisi, tekanan politik, atau kebiasaan lama. Kita berada dalam situasi aneh: dikelilingi oleh data, tapi tetap membuat keputusan yang tidak berbasis bukti.

Fenomena ini bukanlah kebetulan. Sebuah studi PwC pada 2020 menemukan bahwa 67% manajer senior secara global mengakui bahwa mereka masih mengambil keputusan penting tanpa merujuk secara sistematis pada data. Studi dari Accenture dan Qlik bahkan menyebutkan bahwa hanya 24% eksekutif yang merasa percaya diri dalam membaca dan menggunakan data dalam pekerjaannya. Ini bukan lagi soal kekurangan alat, tapi kekurangan pemahaman. Krisis ini bukan krisis data—melainkan krisis literasi manajemen.

Di Indonesia, gejalanya tampak jelas di sektor publik maupun swasta. Laporan kinerja yang dimanipulasi demi pencitraan, data evaluasi yang diabaikan karena tidak sesuai narasi, dan kebijakan yang lahir bukan dari diagnosis faktual melainkan respons reaktif terhadap opini publik. Investigasi Kompas (2022) mengungkap bagaimana di sejumlah BUMN, laporan bulanan direvisi agar selaras dengan ekspektasi direksi, bukan dengan realitas lapangan. Ketika data menjadi kosmetik, bukan kompas, maka organisasi sedang bergerak tanpa arah meskipun merasa sibuk.

Masalah utamanya adalah rendahnya literasi data di kalangan pengambil keputusan. Literasi data tidak berhenti pada kemampuan teknis membaca grafik atau tabel. Ia menyangkut kapasitas berpikir kritis terhadap sumber data, memahami bias, membaca tren jangka panjang, dan terutama: mengakui ketidaksempurnaan informasi sebagai bagian dari proses belajar, bukan pembenaran untuk stagnasi. Pemimpin yang tidak bisa membaca data dengan benar, sama berbahayanya dengan pilot yang tidak bisa membaca instrumen pesawat.

Di ruang-ruang kebijakan publik, situasi ini menciptakan jebakan yang serius. OECD dalam laporannya (2021) menyatakan bahwa di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pemanfaatan data untuk evaluasi kebijakan masih sangat terbatas. Bahkan ketika data tersedia, proses pengambilan keputusan lebih banyak dipengaruhi oleh tekanan politik atau persepsi elite, bukan dari temuan empiris. Data dari World Bank memperkuat hal ini: hanya sekitar 20% lembaga publik di negara berkembang yang benar-benar menggunakan data sebagai dasar dalam perencanaan program.

Kita tidak bisa berharap pada teknologi semata untuk menyelesaikan ini. Banyak institusi yang menggelontorkan dana besar untuk sistem analytics, dashboard pintar, atau software big data, namun lupa membangun budaya organisasi yang mendorong penggunaan data secara kritis dan etis. Hasilnya? Infrastruktur canggih tanpa substansi. Budaya kerja yang masih mengedepankan kepatuhan vertikal membuat data kerap dimanipulasi agar menyenangkan atasan, bukan menyuarakan kondisi riil.

Literasi manajemen berbasis data seharusnya menjadi kompetensi dasar, setara pentingnya dengan kepemimpinan strategis atau penguasaan keuangan. Sayangnya, di banyak pelatihan kepemimpinan atau manajemen, kemampuan ini masih dianggap pelengkap, bukan fondasi. Dalam praktiknya, keputusan tetap ditentukan oleh senioritas, bukan validitas. Dalam dunia yang semakin kompleks dan cepat berubah, pola ini bukan hanya tidak relevan, tetapi membahayakan.

Sudah saatnya institusi di Indonesia—baik pemerintahan, dunia usaha, maupun organisasi sosial—melakukan revolusi kecil mengarusutamakan literasi data dalam setiap pengambilan keputusan. Pelatihan kepemimpinan harus memasukkan materi pengolahan dan pemahaman data sebagai bagian inti. Sistem evaluasi kinerja harus didasarkan pada indikator yang terukur, bukan sekadar narasi. Dan yang paling penting, budaya organisasi harus dibentuk agar berpihak pada kebenaran data, bukan kenyamanan hierarki.

Mulailah dari hal paling sederhana biasakan bertanya “Apa datanya?” sebelum memutuskan. Bukan untuk membenarkan keputusan lama, tapi untuk memperbaikinya. Karena masa depan organisasi, publik, dan bangsa ini ditentukan oleh keberanian kita membaca kebenaran, bukan menyembunyikannya.

Referensi:

  • PwC. (2020). Global Data and Analytics Survey: 2020.
  • Accenture & Qlik. (2021). The Data Literacy Index.
  • OECD. (2021). The Path to Becoming a Data-Driven Public Sector.
  • World Bank. (2020). Data for Better Lives (WDR).
  • Kompas Investigasi. (2022). Praktik Pelaporan Manipulatif di BUMN.
Azizah Ubaidah
Azizah Ubaidah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi Bisnis, Program Studi Manajemen
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.