Jumat, April 19, 2024

Dari Pembaharuan Hingga Tarekat-Tarekat Sufi (2)

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.

Syahdan, abad kedua belas ternyata menjadi titik balik penting, baik karena legitimasi Al-Ghazali dan sufisme maupun karena pembentukan tarekat-tarekat besar sufi. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Al-Ghazali mendirikan salah satu pusat atau jamaah sufi (zawiyah atau ribat atau khanqah dalam bahasa Persia), tempat para pengikut berkumpul untuk hidup dan dididik oleh pembimbing spiritual mereka. Ketika sufisme menjadi sebuah gerakan massal, menyatukan orang dari semua kelas dan latarbelakang pendidikan, zawiyah-zawiyah semisal itu tumbuh pesat dan berkembang biak.

Hingga kemudian sufisme kemudian berubah dari jamaah yang longgar dan sukarela, menjadi jamaah yang terorganisir atau ordo agama (thariqah) para fakir atau darwis dalam bahasa Persia dengan lembaga khas mereka masing-masing. Sebelum zaman ini, sufisme cenderung terkonsentrasi pada wilayah-wilayah urban (perkotaan) dikalangan elit agama yang berjumpa di masjid-masjid atau rumah-rumah pribadi. Sementara, sejak abad ketiga belas, tarekat-tarekat sufi telah menciptakan jaringan zawiyah-zawiyah yang mengubah sufisme menjadi gerakan massal dan para dai mereka menjadi misionaris-misionaris Islam utama.

Secara organisasi, tarekat-tarekat sufi dibangun di atas hubungan, yang telah mapan sebelumnya, antara para syaikh dan murid. Para syaikh sufi memperoleh otoritas mereka dari para pendahulu termasyhur mereka. Seperti otoritas hadits yang didasarkan pada sistem mata rantai rawi (isnad) yang dinisbatkan mundur sampai ke Nabi. Demikian pula sistem mata rantai (silsilah) para guru pendahulu yang semisal dibangun mundur merujukkan semua jalan mereka sampai ke Nabi Muhammad.

Silsilah spiritual adalah sumber otoritas agama, ajaran, dan praktik sang syaikh. Karena kesalehan, reputasi kekramatan, dan seringkali kekuatan-kekuatan ajaibnya, sang syaikh sering dipandang sebagai wali (kekasih Tuhan). Syaikh menjadi seorang pembimbing spiritual dan contoh yang harus ditiru. Para pengikut seringkali ingin dekat dengannya baik untuk memperoleh manfaat dari ajarannya, sarannya, dan teladannya maupun untuk memperoleh berkahnya, produk dari kekuatan spiritualnya. Bersama dengan berjalannya waktu, ajaran sang syaikh diteruskan lewat para muridnya sampai generasi-generasi mendatang.

Zawiyah-zawiyah tasawuf menjadi pusat spiritual, sosial, dan kultural umat. Zawiyah ini terdiri atas kumpulan sejumlah bangunan, yang bisa mencakup tempat tinggal sang syaikh dan keluarganya, ruang terpisah untuk berzikir, kamar-kamar untuk para murid, sebuah masjid, dapur, penginapan untuk para pengunjung, dan madrasah. Pusatnya adalah tempat tinggal sang syaikh. Syaikh menjadi imam salat, mengajar dan mendidik, membimbing dan menyarankan orang per-orang, dan mengawasi kehidupan jamaah. Keanggotaannya ada dua macam; anggota penuh waktu yang terbaiat dan para anggota jamaah.

Para murid penuh-waktu adalah mereka yang, setelah melewati suatu masa pendidikan, dikukuhkan menjadi anggota tarekat. Upacara pengukuhan ini mencakup pelantikan dengan pakaian (khirqa) dan topi khas tarekat tersebut, yang melambangkan ketaatan kepada aturan tarekat. Baiat (janji setia) kepada syaikh dan menjabat tangannya, untuk menerima berkah.

Para murid tinggal di dekat zawiyah, mengabdikan diri mereka untuk belajar, mujahadah (gemblengan spiritual), dan untuk selalu mengikuti kegiatan-kegiatan zawiyah. Kegiatan-kegiatan dimaksud meliputi: memberi makan fakir miskin dan orang-orang yang lapar, merawat si sakit, menjamu para pengunjung (musafir, jamaah haji, dan sufi lain), dan pendidikan agama. Zawiyah-zawiyah biasanya didirikan dan disubsidi dengan dana wakaf yang memungkinkan si syaikh dan muridnya untuk menempuh jalan spiritual mereka, bebas dari pekerjaan dan urusan duniawi.

Sementara, kebanyakan anggota, seringkali mayoritasnya, memiliki status jamaah, kurang lebih mirip dengan anggota “orde-ketiga” dalam tata agama Kristen. Para anggota biasa ini “hidup di dunia”, terlibat dalam urusan sehari-hari seperti membina rumah tangga dan bekerja. Namun demikian, mereka juga patuh kepada otoritas sang syaikh, meminta petunjuk dan sarannya, terlibat dalam layanan-layanan umat, dan menjalankan tugas penting menopang kebutuhan finansial zawiyah dan kegiatannya. Seringkali anggota biasa ini adalah para tetangga atau bahkan desa-desa di sekitar zawiyah sufi.

Tarekat-tarekat sufi mengembangkan bentuk-bentuk kekuasaan monastik mereka sendiri yg merinci kewajiban-kewajiban yang mengatur kehidupan para faqir. Aturan-aturan itu bervariasi dari satu tarekat ke tarekat lain, dan dari satu wilayah ke wilayah lain. Dalam salah satu aturan awal, kita dapat menemukan aturan-aturan yang lazim untuk banyak tarekat, semisal: para murid wajib menjaga kesucian pakaian dan selalu menjaga wudlu’nya. Orang tidak boleh duduk-duduk di tempat suci untuk mengobrol. Saat maghrib para murid harus salat istighfar. Kemudian pada saat subuh, ia harus membaca al-Qur’an sampai terbit matahari. Diantara salat maghrib dan isya, ia harus berzikir dengan wirid tertentu yang diberikan oleh syaikh kepadanya. Yang terakhir, kaum sufi harus ramah terhadap orang miskin dan mengurus mereka.

Di bawah pengawasan sang syaikh, para murid menempuh menjalani kebajikan sufi dan pengetahuan spiritual. Sang syaikh memberi mereka wirid-wirid untuk zikir dan meditasi, mengevaluasi perkembangan mereka, dan akhirnya, menguji pengalaman dan makrifat spiritual mereka. Ia menunjuk murid yang lebih maju sebagai wakilnya, atau khalifah.

Seorang khalifah bisa ditunjuk untuk menggantikan syaikhnya setelah si syaikh meninggal atau ia dikirim untuk mengepalai salah satu zawiyah dari tarekat ini. Kekuatan spiritual para syaikh diberikan kepada atau diwarisi oleh penggantinya. Ketika sebagian tarekat mempertahankan praktik pemilihan pengganti syaikh, kebanyakan tarekat memilih penggantian turun temurun. Kepemimpinan tarekat seringkali diberikan kepada anak laki-laki atau kerabat syaikh, untuk menjaga kendali tarekat di tangan keluarganya.

Titik pusat tarekat sufi adalah makam pendirinya, yang telah dimuliakan sebagai wali Allah. Makam tersebut menjadi pusat ziarah para pengunjung yang datang untuk memohon bantuan sang wali. Kekuatan spiritual dan syafaatnya di hadapan Tuhan dapat dimohon untuk keselamatan kandungan, kelulusan dalam ujian, kesuksesan bisnis, dan tasyakuran-tasyakuran dibuat untuk merayakan permohonan yang dikabulkan. Sekali setahun, perayaan besar diselenggarakan untuk memperingati kelahiran atau kematian. Para peziarah datang dari dekat dan jauh untuk ritual, pujian-pujian, dan khaul selama beberapa hari. Wallahu A’lam.

Baca:

Dari Pembaharuan Hingga Tarekat-Tarekat Sufi (1)

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.