Senin, Desember 9, 2024

Dari Pembaharuan Hingga Tarekat-Tarekat Sufi (1)

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Selain menjadi kontributor tetap di E-Harian Aula Jatim, penulis juga kader PMII Probolinggo. Saat ini menjabat ketua III PC PMII Probolinggo.
- Advertisement -

Ketika sufisme tersebar di masyarakat-masyarakat Muslim dan menjadi suatu gerakan rakyat, jurang pun melebar antara gerakan sufi dan banyak ulama. Yang terakhir ini sering dianggap terkooptasi oleh kekuasaan, dengan mentolerir dan mendukung penyalahgunaan kekuasaan dan akses-akses pemerintahan. Kaum ulama merasa bahwa sufisme mengancam otoritas dan hak-hak istimewa mereka. Kaum sufi mengklaim otoritas dan jalan mereka sendiri. Mereka seringkali menolak Islam yang resmi, legal-formal, ala ulama, dengan berusaha melangkah melampaui sisi lahir hukum menuju sisi semangatnya.

Sufisme mengaku melangkah meninggalkan bentuk-bentuk, lembaga-lembaga, dan hukum-hukum agama menuju sumber ilahinya sendiri. Meski sebagian anggota ulama adalah sufi, mayoritas menganggap kepercayaan dan praktik sufi sebagai bid’ah, yaitu penyimpangan tak sah dari ijma-ortodoks umat. Kecurigaan yang mendalam dan permusuhan, mengakibatkan penganiayaan dan eksekusi, seperti dalam kemartiran al-Hallaj.

Syahdan, abad-abad kesebelas dan kedua belas, khususnya, adalah zaman yang kacau dalam sejarah kaum Muslim. Kekhalifahan tunggal telah terpecah-belah menjadi sebuah sistem negara yang terdesentralisasi dan bersaing yang dipersatukan hanya oleh khalifah Abbasiyah yang simbolis. Namun tak berdaya, di Baghdad, para da’i Ismailiyah secara aktif menggerogoti ijma Sunni. Para filsuf Muslim, yang sangat berhutang kepada Helenisme dan Neoplatonisme, sedang menawarkan jawaban alternatif, dan kadangkala bersaing, atas pertanyaan-pertanyaan filosofis dan teologis yang seringkali mengusik atau menguji hubungan antara nalar dan iman. Sufisme menjadi gerakan massa dengan komponen emosional yang kuat, dan dengan kecenderungan eklektik untuk menerima praktik-praktik takhayul.

Kebanyakan dari apa yang terjadi tampak di luar jangkauan dan kendali ulama, yang banyak dari mereka merasa bahwa gerakan-gerakan ini mengancam status dan otoritas mereka dalam umat. Adalah kejeniusan dan prestasi Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) yang menangani masalah-masalah tersebut. Di tengah-tengah kekacauan, al-Ghazali muncul, seperti dilakukan al-Syafi’i pada beberapa abad sebelumnya, untuk menyelamatkan zamannya dengan memberikan sistesis agama yang diperlukan. Kesuksesannya yang luar biasa mungkin dapat diukur dari gelar yang diberikan khalayak kepadanya sebagai mujaddid (pembaru) Islam.

Dilahirkan dan dibesarkan di Iran, al-Ghazali memperoleh pendidikan Islam terbaik yang ada pada zamannya. Setelah belajar di madrasah masjid di desanya Thus, dekat dengan Masyhad zaman sekarang, ia di didik di Nisyapur oleh teolog paling terkemuka zaman itu, al-Juwaini. Ia menguasai hukum, teologi, dan filsafat.

Pada usia yang relatif masih muda, hingga pada tahun 1091, ia ditunjuk menjadi kepala Nizhamiyah, sebuah lembaga teologi di Baghdad. Di sana, dalam serangkaian bukunya, ia menanggapi tantangan-tantangan yang dilontarkan kaum Ismailiyah dan para filsuf. Ia menulis Tahafut al-Falasifah, dimana ia menolak aspek-aspek filsafat Ibn Sina (w. 1037) yang menurutnya tak bisa diterima. Ia terutama berpendapat bahwa meskipun nalar paling efektif dalam matematika dan logika, penggunaannya untuk iman teologis dan metafisis hanya mengakibatkan kebingungan dan mengancam tatanan iman.

Ajaran dan tulisan alGhazali membuat harum namanya dan diakui. Tetapi, di puncak kesuksesannya, ia mengalami krisis spiritual yang mengubah hidupnya. Krisis spiritualnya tampak menimbulkan efek-efek psikosomatik. Guru yang brilian ini tiba-tiba mendapati dirinya tak dapat berbicara. Entah apa sebabnya, ia memburuk secara fisik dan kejiwaan. Di samping pengetahuan teologi dan prestasinya yang luar biasa, ia merasa tersesat:

“Ketika aku menimbang-nimbang keadaan, aku melihat diriku benarbenar terperosok dalam banyak urusan, dan bahwa kegiatanku, ajaranku, yang paling baik adalah terkait dengan cabang-cabang pengetahuan yang tidak penting dan tak berguna. Aku juga menguji niatku dalam mengajar dan kutemukan bahwa bukan ke ikhlasan untuk beribadah kepada Allah yang aku inginkan, tetapi bahwa aku ingin posisi yang berpengaruh dan terkenal. Aku yakin bahwa aku telah berdiri di atas tebing, dan dalam bahaya yang dekat sekali dengan api neraka jika aku tidak menyibukkan diriku dengan memperbaiki cara-caraku. Nafsu duniawi terus mencoba mengikatku di ternpat aku tengah berada, sementara seruan iman terus memanggil. Kembalilah ke jalanmu! Kembalilah ke jalanmu! Hidup yang kecil ini akan ditinggalkan, dan di depanmu terbentang perjalanan yang panjang. Keterlibatan intelektual dan praktikmu adalah elusta dan khayalan. Jika engkau tidak bersiap untuk kehidupan mendatang, kapan lagi engkau siapkan? Jika engkau tidak memutuskan ikatan-ikatanmu sekarang, kapan lagi engkau putuskan?”

Akhirnya, Al-Ghazali mundur dari jabatannya karena putus asa. Ia meninggalkan rumah dan keluarga lalu pergi ke Syiria, tempat ia belajar dan mempraktikkan tasawuf:

“Aku berbelok ke jalan para sufi. Aku telah memperoleh pemahaman intelektual secara mendalam tentang prinsip-prinsip mereka. Kemudian aku menyadari bahwa apa yang paling istimewa dari mereka hanya dapat diperoleh lewat pengalaman pribadi (dzawq), mabuk dan perubahan karakter. Aku melihat jelas bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang berpengalaman pribadi, bukan orang yang berkata-kata, sementara aku sendiri selama ini telah melangkah sejauh mungkin dengan cara mengkaji dan menerapkan intelektualitas, sehingga pengalaman pribadi dan jalan tasawuf ditinggalkan.”

- Advertisement -

Selama beberapa tahun, al-Ghazali mengkaji dan mempraktikkan tasawuf. Setelah sebelumnya tinggal di Syiria, ia berkelana ke zawiyah-zawiyah di Palestina dan Arabia. Selama masa ini, ia menulis apa yang oleh banyak orang disebut sebagai karya terbesarnya, Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), sintesis yang luar biasa antara fiqih, teologi, dan tasawuf. Fiqih dan teologi disajikan dalam terma-terma yang dapat diterima oleh ulama, tetapi cabang-cabang ilmu ini didasarkan langsung kepada pengalaman agama dan ibadah batin. Rasionalisme diperlunak dengan penekanan fasawuf atas pengalaman agama dan cinta kepada Tuhan.

Karya ini terbukti menjadi tour de force yang brilian, dan meyakinkan kembali para ulama tentang kebenaran akidah tasawuf dan menjawab rasionalisme para filsuf. Baik dalam hidup dan karyanya, al-Ghazali mewakili kaum intelektual dan spiritual mutakhir di zamannya. Pada akhirnya, ia mencapai suatu perpaduan dan sintesis agama yang memberinya tempat sebagai ilmuwan-besar Islam dan gelar “Pembaru Islam”.

Gelar ini didasarkan pada keyakinan popular bahwa pada setiap abad terdapat seorang pembaru (mujaddid) yang akan datang untuk memugar dan memberdayakan kembali umat Islam, dan memperbarui (tajdid) Islam dengan mengembalikan Muslim kepada jalan yang lurus. Di samping perbedaan pendapat yang terus berlanjutan antara kaum sufi dan ulama, al-Ghazali telah mengamankan sebuah tempat untuk sufisme dalam kehidupan umat. (Bersambung)

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Selain menjadi kontributor tetap di E-Harian Aula Jatim, penulis juga kader PMII Probolinggo. Saat ini menjabat ketua III PC PMII Probolinggo.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.