Rabu, Juli 16, 2025

Dari Netflix hingga Kripto: Fiskal Tak Lagi Konvensional

Muchamad Irham Fathoni
Muchamad Irham Fathoni
Tax Counselor in Directorate General of Taxes
- Advertisement -

Penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital terus menunjukkan tren positif dan menjadi indikator penting keberhasilan reformasi perpajakan Indonesia dalam merespons disrupsi teknologi dan perubahan lanskap ekonomi global. Hingga kuartal I 2025, pemerintah mencatat total penerimaan pajak dari sektor ekonimi digital mencapai Rp34,91 triliun. Capaian ini tidak hanya mencerminkan pesatnya pertumbuhan aktivitas ekonomi digital di dalam negeri, tetapi juga menjadi bukti konkret bahwa instrumen fiskal yang adaptif dan progresif mampu menjawab tantangan pemajakan atas model bisnis lintas batas dan berbasis teknologi.

Kontribusi terbesar dari sektor ekonomi digital bersumber dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang hingga kuartal pertama 2025 tercatat mencapai Rp27,48 triliun. Angka ini merupakan salah satu hasil dari penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, sebuah kebijakan yang memperkuat regulasi sebelumnya terkait kewajiban pelaku usaha digital luar negeri untuk memungut dan menyetorkan PPN atas transaksi digital dengan konsumen di Indonesia.

PMK-136 secara fundamental mempertegas prinsip pemajakan atas konsumsi digital domestik. Di bawah regulasi ini, pelaku usaha digital luar negeri yang menyediakan produk atau layanan secara elektronik—termasuk langganan aplikasi, iklan digital, dan media streaming—kepada konsumen Indonesia, diwajibkan menjadi pemungut PPN. Hingga Maret 2025, pemerintah telah menunjuk 211 pelaku usaha digital sebagai pemungut PPN PMSE, dengan 190 di antaranya telah aktif melakukan pemungutan dan penyetoran pajak. Beberapa perusahaan global yang telah ditunjuk termasuk raksasa teknologi seperti Zoom Communications Inc., Amazon Web Services, Meta Platforms, hingga Netflix.

Keberhasilan perluasan cakupan pemungutan pajak ini tidak lepas dari pendekatan pemerintah yang bersifat kolaboratif dan bertumpu pada simplifikasi administrasi perpajakan. Prosedur pendaftaran, pelaporan, hingga penyetoran dirancang agar sesuai dengan standar pelaku usaha global dan tidak menjadi hambatan dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Lebih dari itu, kebijakan ini juga menegaskan prinsip keadilan berusaha atau level playing field antara pelaku usaha dalam negeri dan asing, sekaligus mempersempit ruang arbitrase pajak dan penghindaran kewajiban fiskal yang sebelumnya sulit dijangkau oleh mekanisme perpajakan konvensional.

Tidak hanya dari PMSE, sektor ekonomi digital lainnya juga memberikan kontribusi signifikan. Penerimaan pajak dari transaksi aset kripto tercatat sebesar Rp1,2 triliun, yang terdiri atas PPh 22 senilai Rp560,61 miliar dan PPN dalam negeri sebesar Rp642,17 miliar. Seluruh penerimaan ini dihimpun melalui transaksi yang difasilitasi oleh platform crypto exchanger yang telah terdaftar di Indonesia. Di tengah meningkatnya popularitas aset kripto sebagai instrumen investasi dan transaksi, kebijakan fiskal terus disesuaikan untuk memastikan keterjangkauan atas basis pajak baru yang muncul akibat inovasi teknologi finansial.

Sektor financial technology atau fintech juga menjadi sumber penerimaan yang tak kalah penting. Total pajak yang dihimpun dari sektor ini mencapai Rp3,28 triliun, yang berasal dari pemungutan PPh 23 dan PPh 26 atas bunga pinjaman serta PPN atas layanan digital. Fintech, khususnya skema peer-to-peer lending, menjadi alternatif pembiayaan yang banyak digunakan oleh pelaku UMKM dan individu, dan pemerintah telah menyesuaikan kebijakan fiskalnya agar dapat mengoptimalkan kontribusinya terhadap penerimaan negara. Sementara itu, transformasi digital di sektor publik juga menunjukkan hasil melalui penerimaan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang mencapai Rp2,94 triliun. Sebagian besar dari angka ini berasal dari PPN atas pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik.

Seluruh capaian tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks yang lebih luas mengenai urgensi reformasi perpajakan global. Dalam beberapa dekade terakhir, perusahaan multinasional (PMN) memanfaatkan kelemahan arsitektur pajak internasional untuk mengalihkan laba ke yurisdiksi bertarif rendah atau tanpa pajak (tax haven) melalui skema profit shifting. Akibatnya, banyak negara pasar, termasuk Indonesia, kehilangan hak pemajakannya atas kegiatan ekonomi yang sebenarnya berlangsung di wilayahnya. Untuk menjawab tantangan ini, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bersama negara-negara G-20 mengembangkan Two-Pillar Solution sebagai bentuk konsensus global guna menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien.

Pilar 1 dari solusi tersebut bertujuan untuk meredistribusi hak pemajakan secara lebih adil kepada negara-negara pasar. Dalam kerangka ini, kebijakan unilateral Indonesia melalui PMK-136 dapat dipandang sebagai implementasi awal semangat Pilar 1, yakni memastikan bahwa konsumsi digital di Indonesia turut memberikan kontribusi fiskal kepada negara. Kebijakan ini juga mengirimkan sinyal kuat bahwa Indonesia tidak menunggu, tetapi mengambil langkah konkret dalam memperjuangkan hak pemajakannya atas ekonomi digital global.

Di sisi lain, Pilar 2 berfokus pada penerapan pajak minimum global atau global minimum tax untuk memastikan bahwa PMN membayar pajak dengan tarif efektif minimal 15% di setiap yurisdiksi. Indonesia secara resmi telah mengadopsi Pilar 2 melalui PMK Nomor 136 Tahun 2024. Beleid ini mengatur pengenaan pajak tambahan atau top-up tax melalui mekanisme Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT). Dengan skema ini, Indonesia dapat mengenakan pajak tambahan terlebih dahulu atas laba PMN yang tarif efektifnya di bawah 15%, sebelum hak tersebut diklaim oleh yurisdiksi tempat induk perusahaan berlokasi. Langkah ini sekaligus menjadi strategi untuk mempertahankan basis pajak nasional dan menghindari terjadinya race to the bottom dalam persaingan fiskal antarnegara.

Kombinasi dari kebijakan PMK-136 dalam konteks PPN PMSE maupun pajak minimum global mencerminkan pendekatan komprehensif pemerintah dalam mengawal reformasi perpajakan digital. Langkah ini tidak hanya menegaskan kedaulatan fiskal Indonesia, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk terlibat aktif dalam pengembangan arsitektur pajak global yang lebih setara dan berkelanjutan. Dengan strategi fiskal yang terintegrasi dan didukung sistem administrasi perpajakan yang semakin digital, Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai salah satu negara yang siap menghadapi tantangan ekonomi digital dan globalisasi pajak dalam dekade mendatang.

Muchamad Irham Fathoni
Muchamad Irham Fathoni
Tax Counselor in Directorate General of Taxes
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.