Selasa, Mei 13, 2025

Dari Kebun ke Dapur, Politik Gender di Rumah Petani Sawit

Laili Zailani
Laili Zailani
Ibu rumah tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) Sumatera Utara dan Ashoka Fellow Indonesia (2000)
- Advertisement -

Isu kesetaraan gender kerap diasosiasikan dengan hal-hal besar: politik, kebijakan negara, bahkan perdebatan ideologis. Namun, pengalaman saya di lapangan menunjukkan bahwa perubahan sosial paling nyata seringkali dimulai dari hal yang paling (dianggap) remeh—seperti urusan dapur.

Dalam pelatihan Gender Equality and Social Inclusion (GESI) yang kami fasilitasi bersama HAPSARI dan SNV (sebuah lembaga pembangunan internasional asal Belanda), di komunitas petani sawit Sumatera Utara, saya menyaksikan perubahan kecil namun berarti: seorang suami mulai mencuci piring; seorang istri akhirnya dilibatkan dalam keputusan soal hasil kebun.

Bagi sebagian masyarakat urban, ini mungkin sepele. Tapi di komunitas petani sawit yang masih sangat patriarkal, pembagian kerja domestik yang adil bisa menjadi langkah radikal—dan politis.

Petani Tak Bernama: Perempuan di Balik Kebun Sawit

Dalam struktur pertanian keluarga, perempuan bekerja nyaris tanpa henti: dari urusan rumah, kebun, keuangan, hingga pengasuhan. Tapi kontribusi ini jarang diakui sebagai kerja produktif. Mereka disebut “istri petani”, seolah hanya pelengkap status suaminya. Padahal, tanpa tangan mereka, kebun tak akan terurus, anak tak sekolah, dan logistik rumah tak berjalan.

Kebanyakan kepemilikan lahan (sertifikat tanah) atas nama suami. Sehingga bantuan pertanian kerap hanya ditujukan pada “kepala keluarga”, yang diasumsikan laki-laki. Sehingga pelatihan, akses modal, dan informasi teknis sering kali absen dari jangkauan perempuan—meski mereka bekerja di tanah yang sama.

Dalam pelatihan GESI, perempuan-perempuan ini akhirnya bicara: tentang kelelahan, tentang invisibilitas, dan tentang tidak pernah dimintai pendapat. Di saat yang sama, para suami belajar mendengarkan, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup pernikahan mereka.

Banyak cerita yang kami dengar secara langsung, dari para perempuan tangguh, petani sawit di Labuhanbatu Selatan, Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Mereka terbiasa bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan sarapan, mengantar anak ke sekolah, lalu membantu suami di kebun. Tapi tak pernah sekali pun mereka diajak berdiskusi soal hasil panen.

Dalam sesi pelatihan GESI atau Dialog Rumah Tangga, para suami tiba-tiba menunduk dan tertawa getir: “Ya…selama ini saya tau, pekerjaan istri itu banyak sekali. Mereka capek. Tapi saya enggak peduli”. katanya.

Dialog Rumah Tangga sebagai Sekolah Politik

  • GESI tidak datang sebagai teori. Ia datang sebagai pertanyaan.
  • Siapa yang mencuci piring?
  • Siapa yang memutuskan pengeluaran rumah tangga?
  • Kapan terakhir Anda bertanya pendapat pasangan Anda?

Pertanyaan-pertanyaan ini membongkar asumsi. Bukan lewat kuliah, tapi lewat praktik reflektif. Hasilnya bukan slogan, tapi kesadaran. Suami mulai ikut menyapu. Istri mulai bicara soal strategi panen. Relasi kuasa berubah secara perlahan.

Transformasi ini bukan urusan domestik semata—ia adalah tindakan politik. Karena ia menyentuh relasi kekuasaan yang paling mendasar: rumah tangga. Ketika perempuan mulai punya suara di dapur dan di kebun, ia mulai punya suara di ruang-ruang lain.

- Advertisement -

Kesetaraan Gender: Negara Harus Hadir di Dapur

Masalahnya, kesetaraan gender di ranah domestik seringkali dianggap “urusan pribadi”. Padahal, tak ada yang benar-benar privat dalam urusan ketimpangan sosial. Jika negara diam atas ketidaksetaraan di rumah, ia justru sedang mengabadikannya.

Negara perlu berpihak: melalui kebijakan afirmatif, anggaran pelatihan, hingga pengakuan terhadap kerja perempuan di sektor informal. Beberapa negara sudah menunjukkan langkah ke arah itu.

Di India, pemerintah mulai menata ulang sistem distribusi subsidi pupuk melalui program Kartu Tani yang mengharuskan pencatatan ulang penerima manfaat, termasuk perempuan petani. Langkah ini membuka peluang bagi perempuan untuk mengakses langsung dukungan pertanian, yang sebelumnya kerap hanya ditujukan kepada laki-laki sebagai “kepala keluarga” (Antara News, 2021).

Sementara di Kenya, pendekatan pelatihan pertanian berbasis gender telah menjadi bagian dari kebijakan nasional. Melalui program Smallholder Horticulture Empowerment & Promotion (SHEP) yang didukung oleh JICA, pelatihan tentang kesadaran gender diberikan kepada seluruh kelompok petani. Tujuannya bukan hanya meningkatkan produksi, tapi juga membangun relasi yang lebih setara dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga maupun komunitas (JICA SHEP Handbook, 2020).

Di Indonesia, langkah kecil bisa dimulai dari memasukkan indikator kesetaraan gender dalam program pendampingan petani. Atau dengan memastikan bahwa pelatihan pertanian menjangkau perempuan, bukan hanya laki-laki yang terdaftar sebagai kepala keluarga. Karena jika negara sungguh ingin mewujudkan keadilan sosial, ia tak bisa absen dari dapur—ruang pertama tempat kuasa dibentuk dan dipertanyakan.

Perubahan Dimulai dari yang Paling Dekat

Transformasi gender tak selalu dimulai dari ruang seminar. Kadang ia lahir di meja makan. Dengan teh manis. Dengan keberanian untuk berkata, “selama ini aku terlalu dominan, ya?”

Keadilan sosial adalah proyek jangka panjang. Tapi kalau rumah tangga bisa jadi ruang latihan pertama, maka kita telah memulai dari tempat yang paling jujur—dan paling sulit. Dan kalau perubahan besar negeri ini tak datang dari panggung kekuasaan, maka biarlah ia lahir dari percakapan jujur di meja makan.***

Laili Zailani
Laili Zailani
Ibu rumah tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) Sumatera Utara dan Ashoka Fellow Indonesia (2000)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.