Rabu, April 30, 2025

Dari Bawah Kita Bangun Arah Baru, Refleksi 150 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Yuli Zuardi Rais, M.Si
Yuli Zuardi Rais, M.Si
Pegiat sosial-politik, Wasekjend DPP PSI bidang OKK aktif mengadvokasi isu keadilan sosial, transformasi organisasi, dan partisipasi anak muda dalam proses kebijakan publik.
- Advertisement -

150 hari pertama bukan waktu yang panjang. Tapi cukup untuk membaca arah. Dalam masa awal ini Pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan sinyal yang tak biasa.

Sosok Presiden Prabowo Subianto yang selama ini dikenal tegas, keras, bahkan militeristik, justru hadir dengan wajah baru: seorang pemimpin yang mulai berbicara dari meja makan rakyat, bukan dari atas mimbar kekuasaan. Bukan pula mercusuar megah atau narasi geopolitik yang pertama kali digemakan, tapi soal perbaikan gizi anak-anak yang di sekolah, petani yang kekurangan pupuk, dan pentingnya makan siang gratis bagi generasi penerus. Kebijakan makan bergizi gratis, dengan alokasi Rp 400 triliun, lebih dari sekadar program. Ia adalah pesan simbolik: bahwa negara kembali hadir dari perut rakyat, bukan hanya dari pidato elite. Kita bisa membahas pro-kontra dari sisi kebijakan anggaran. Tapi sebagai arah kebijakan, ini adalah langkah yang patut kita jaga dan awasi bersama.

Selama dua dekade terakhir, pembicaraan soal keadilan sosial cenderung abstrak dan mengawang. Tapi kini, keadilan hadir dalam bentuk nyata: di meja makan, di dapur ibu-ibu, di ruang kelas anak-anak kita. Data terbaru dari BPS menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh stabil di angka 5,03% pada 2024. Kemiskinan ekstrem berhasil ditekan menjadi 0,83%. Ini bukan revolusi, tapi cukup untuk menandai bahwa sesuatu mulai bergerak. Di sisi lain, pengangguran pemuda masih tinggi: 13,94% pada usia 15–24 tahun. Sebuah tanda bahwa sistem pendidikan dan lapangan kerja belum sepenuhnya nyambung.

Kita juga mencatat bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi naik menjadi 37. Masih jauh dari ideal, namun hal ini adalah tanda bahwa pengawasan publik dan tekanan masyarakat sipil tidak sia-sia. Dalam wawancara panjang bersama tujuh pemimpin redaksi pada Minggu (6/4) lalu, Presiden Prabowo menyampaikan dengan terbuka soal komitmennya dalam reformasi birokrasi dan penguatan lembaga negara. Sebuah pendekatan yang tak banyak basa-basi, tapi langsung ke pokok soal.

Namun, arah baru ini tentu tidak bebas dari tantangan. Salah satu yang paling krusial adalah kecenderungan untuk memperluas peran militer dalam kehidupan sipil—sesuatu yang sensitif di negeri yang pernah trauma oleh dwifungsi ABRI. Kita perlu mengingat, demokrasi tidak dibangun hanya oleh niat baik satu orang, tapi oleh sistem yang akuntabel dan partisipasi publik yang aktif.

Hal yang menarik adalah kemunculan apa yang saya sebut sebagai populisme sosial berbasis Pancasila. Ini bukan sosialisme klasik, tapi juga bukan kapitalisme neoliberal. Ini adalah upaya untuk menghadirkan negara secara aktif dalam pelayanan dasar, tanpa harus menanggalkan prinsip demokrasi dan gotong royong. Apakah ini akan berhasil? Belum tentu. Tapi ini membuka ruang bagi eksperimen kebijakan yang lebih membumi dan berpihak.

Dan di sinilah kita semua—masyarakat sipil, politisi, aktivis, akademisi, birokrat jujur, dan generasi muda—perlu bersuara dan ikut serta. Perubahan tidak cukup hanya digantungkan di Istana. Kalau birokrasi masih lambat, kalau elit masih bermain aman di lingkaran sempit kekuasaan, dan kalau pemuda terus jadi penonton pasif, maka arah ini akan stagnan bahkan menyimpang.

Kita perlu lebih dari sekadar stabilitas. Kita perlu keberanian untuk memperbaiki sistem yang memanjakan elite tapi lupa pada akar rumput. Kita butuh komitmen para pemimpin di berbagai level dari pusat, provinsi hingga kab/kota punya arah juang, bukan sekadar janji kampanye, dan konsep semata.

Saya percaya, perubahan sejati akan lahir dari bawah—dari masyarakat kecil yang mulai merasa didengar dan nasibnya mulai serius diperhatikan. Dari para pemuda yang memilih ikut terlibat, dan dari para pengambil kebijakan yang bersedia meninggalkan zona nyaman.

Di era digital yang semakin pesat, dimana setiap orang diberi kemewahan memproduksi pesan, Indonesia butuh pesan-pesan yang membangun optimisme bukan sebaliknya. Dan kalau kita berkaloborasi dan bergerak bersama, bukan tidak mungkin kita benar-benar sedang menulis babak baru dalam sejarah bangsa ini. Karena dari bawah, arah baru Indonesia bisa kita bangun bersama.

Yuli Zuardi Rais, M.Si
Yuli Zuardi Rais, M.Si
Pegiat sosial-politik, Wasekjend DPP PSI bidang OKK aktif mengadvokasi isu keadilan sosial, transformasi organisasi, dan partisipasi anak muda dalam proses kebijakan publik.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.