Sebagai pecinta dangdut, pengalaman saya bergelut dengan musik tersebut tidak terjadi hanya dalam tempo sepekan dua pekan. Saya sudah diperkenalkan dengan musik dangdut sejak kecil, mungkin malah sejak dalam kandungan. Karena setiap hari, rutinitas di keluarga saya mesti diiringi dengan musik dangdut. Dangdut telah mendarah daging.
Saya masih ingat saat usia belia, usai menunaikan salat subuh, si mbok selalu memutar dangdut di radionya dengan suara serak-serak basah. Maklum karena radio sudah dimakan usia. Memasuki sekolah dasar, sebelum berangkat ke sawah, bapak juga membawa radio lusuran dari si mbok tersebut. Bahkan saat remaja, kakak membeli dvd baru hanya untuk memutar orkes dangdut kesukaannya, Om Monata, New Pallapa, dan Om Sera.
Sampai sekarang pun musik dangdut tidak pernah absen saya dengarkan. Terlebih jika mendengarkannya di musim hujan turun. Uuhhh, rasanya seperti masuk dalam sela-sela lirik yang sedang dinyanyikan.
Saya sadar, favorit pedangdut saya dengan bapak berbeda. Bapak lebih suka mendengarkan lantunan dangdut dari suara berkarakter macam Rhoma Irama, Megi Z, Mansyur S, Elvi Sukaesih, dan Rita Sugiarto. Lagu-lagu lawas yang menurut saya penuh dengan jejalan pesan-pesan kebaikan. Si mbok dan ibu pun demikian.
Saya dan kakak saya cenderung lebih suka dangdut koplo. Dangdut yang murni untuk hiburan, baik saat senggang maupun sibuk. Nama-nama seperti Nella Kharisma, Eni Sagita, Via Valen, Deviana Safara, Lilin Herlina, dan Jihan Audi suaranya akrab di telinga kami.
Meskipun saya sadar, pedangdut yang datang belakangan ini melulu fokus pada kepuasan mata, bukan telinga dan kedalaman rasa. Kalau ditilik dari kualitas vokal, lirik yang dinyayikan, dan tekniknya bernyanyi, tentu jauh dengan pedangdut eranya Rhoma Irama, Rita Sugiarto, dan se-angkatannya.
Hal ini diafirmasi oleh Rena Yanita Sary. Melalui esainya ‘Dangdut Bercerita Keluarga’ yang dimuat di buku Goyang Aksara, ia bercerita tentang perubahan cara pedangdut membawakan lagu. Mbak Ikke Nurjanah di masa silam pernah diminta penggemarnya untuk bergoyang saat menyanyikan dangdut, namun ia kekeh tidak menurutinya. Menurut Mbak Ikke, dangdut itu dinikmati dari rasa dan suara, bukan busana dan goyangannya.
Oleh karena itu pendengar di era-era itu cenderung menikmati musik dangdut sembari mencercap lika-liku kehidupan. Dangdut bukan melulu bergoyang dan bernyanyi, tapi juga berisi muatan pesan moral untuk para pendengarnya agar berperilaku arif pada sesama dan semesta.
Di esainya itu, ia juga menyinggung pedangdut hari ini yang malah mengutamakan penampilan dan goyangan semata. Lirik lagu, kedalaman pesan, dan teknik bernyanyi menjadi nomor sekian, bahkan bisa jadi malah dialpakan oleh pedangdut yang datang belakangan. Sehingga pendengar pun menikmati dangdut hanya sebatas hiburan. Ya implikasinya tidak lagi perenungan atas lakon hidup, tapi hanya sekedar goyang, goyang, dan goyang. Malah kadang bisa mengundang tawuran.
Namun dari sisi lain, diakui atau tidak, melalui Nella Kharisma dan kawan-kawan dangdut menjadi musik yang ramah kepada siapa saja, tanpa kenal usia dan batas wilayah. Mulai dari telinga anak-anak sampai orang yang sudah lanjut usia suka musik dangdut. Pun begitu, musik dangdut juga menyapa mereka yang berasal tidak hanya dari Jawa dan Sumatera, tapi juga dari ujung timur Indonesia.
Mau bukti bahwa dangdut disukai banyak orang? Saya pernah melakukan riset kecil-kecilan dan mendapati bahwa setiap lagu yang dicover oleh pedangdut Nella Kharisma selalu tembus lebih dari satu juta viewer di youtube. Sekali update, dalam tempo dua jam, lagunya sudah ditonton oleh lebih dari seratus ribu orang. Itu dari saluran resminya.
Di chanel-chanel lain juga sama saja. Chanel yang kedapatan mengunggah lagu dangdut hasil cover Nella Kharisma, meskipun itu sudah diupload dan didengar ribuan kali di chanel resminya, meskipun juga banyak iklannya, penontonnya tetap menyentuh angka ratusan ribu. Itu hanya datang dari Nella Kharisma, belum lagi pedangdut lainnya yang namanya sudah saya sebut di awal.
Masih kurang? Baik. Kali ini saya melihat data melalui situs google trends. Dari situ didapati data, bahwa genre musik dangdut mulai mendominasi di tanah air sejak Desember 2007. Semakin ke sini, peminatnya semakin banyak. Meskipun dalam kurun waktu lima tahun terakhir, lima provinsi teratas dengan peminat dangdut paling banyak datang dari Pulau Jawa.
Di masa pandemi ini, musik dangdut menjadi salah satu hiburan yang banyak diminati. Berdasarkan google trends, selama 3 bulan terakhir, dibandingkan musik pop dan rock, musik dangdut cenderung lebih tinggi dan stabil. Teman saya, hampir setiap pagi memutar musik dangdut. Katanya sebagai tanda dimulainya aktivitas di hari itu. “Kalau pagi sudah bergoyang, siang, sore, dan malam pikiran akan terus riang”, tandasnya meyakinkan.
Bahkan jika ditilik dari kemasannya, dangdut sudah tidak lagi difragmentasi sebagai hiburan masyarakat menengah ke bawah. Dangdut sudah setara dengan musik rock, jazz, pop, dan sejenisnya, minimal dari sisi kemasannya di atas panggung.
Saya rasa memang tidak terlalu berlebihan jika hari ini banyak orang yang gandrung dengan musik dangdut. Mengingat lagunya enak untuk digoyang dengan iringan sentakan gendang, liriknya yang kadang ambyar dan sangat representatif dengan kondisi psikologi umat manusia yang melulu kandas asmaranya, serta menonton konsernya langsung tidak harus merogoh kocek terlalu dalam.
Dangdut cukup relevan dengan kebutuhan pendengar musik yang hidup di era ini. Termasuk saya yang menjadi bagian penikmat sekaligus penggila dangdut koplo.