“Buto Ijo” beraksi secara sistematis, terstruktur, dan masif. Tidak heran dana desa yang berhasil dipungli pun, antara 7-30 juta per Kades.
Pagi ini, beranda salah satu akun sosial media (Sosmed) saya mulai diramaikan lagi dengan isu dana desa. Tentang temuan KPK hingga sikap presiden untuk mengawal dana desa. Saya jadi teringat curahan hati (Curhat) seorang kepala desa (Kades) di salah satu desa di Jawa Tengah (Jateng). Juga sekian curhatan pemerintah desa (Pemdes) dan Pemkab di daerah Jawa maupun di luar Jawa yang pernah saya kunjungi. Nah, salah satu curhat Kades di Jateng adalah tentang keinginannya untuk mundur dari jabatannya, serta tak ingin lagi dicalonkan sebagai Kades. Tentu saja, pernyataannya tersebut sempat membuat saya heran.
Selama saya mengenalnya dan terlibat dalam pembelajaran di desa, dia adalah sosok Kades yang jujur dan berani. Prihal keberaniannya ini tak diragukan lagi, contohnya ketika dia berhasil melakukan perlawanan pada salah satu oknum wartawan abal-abal di daerahnya. Dengan gagah berani dia melabrak wartawan tersebut di rumahnya. Dia tidak melakukannya demi kepentingan sendiri, namun demi solidaritasnya terhadap sesama Kades yang jujur dan baik. Benar, dia berusaha membantu temannya sesama Kades atas fitnah yang dilakukan oleh si wartawan. Dia bersaksi bahwa temannya tersebut adalah Kades yang baik dan jujur, namun tidak berdaya menghadapi serbuan oknum-oknum yang menekan para Kades. Apalagi setelah beredar kabar tentang adanya dana desa yang bernilai milyaran.
Perlawanan sang Kades pada oknum wartawan pun membuahkan hasil, si wartawan meminta maaf dan mengaku memberikan informasi yang tidak benar tentang si Kades. Namun, berani pada satu oknum, apakah kemudian si Kades juga tetap berani melawan sejumlah oknum lainnya. Seakan beraksi secara sistematis, terstruktur dan masif, mereka sulit tersentuh pihak berwajib. Oknum-oknum tersebut bahkan membentuk semacam asosiasi laiknya “gerombolan siberat”, yaitu sekumpulan orang yang konon berada di dalam sistem pemerintahan dan secara rutin melakukan Pungli dengan cara memaksa, menakut-takuti, dan mengancam si Kades. Lalu, siapa sebenarnya gerombolan siberat ini? Menurut Kades yang tidak mungkin saya sebutkan namanya di tulisan ini, menyebut gerombolan siberat dengan istilah “buto ijo”, sebuah istilah yang hanya dipahami maksudnya oleh sesama Kades di daerahnya.
Dalam konteks cerita sang Kades, buto ijo adalah semacam kode untuk menyebut sejumlah oknum yang melakukan Pungli. Oknum tersebut terdiri dari orang-orang yang berada di ring pemerintahan supradesa, mereka biasanya menggandeng pihak lain seperti dari kejaksaan, polisi, dan media. Dalam posisi terancam, para Kades pun terpaksa harus menganggarkan dari dana desa minimal 7-30 juta untuk diberikan kepada si buto ijo. Aksi buto ijo ini nyaris mirip dengan aksi oknum wartawan abal-abal atau wartawan bodrek maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) abal-abal. Apa bedanya mereka dengan buto ijo? buto ijo menetapkan nilai pungli yang tidak sedikit, seakan bersifat wajib, dilakukan setiap tahun, dan ancamannya tidak main-main. Para Kades pun tidak bisa berkutik. Dana desa yang seharusnya diperuntukan sepenuhnya untuk kebutuhan pembangunan desa, terpaksa diselewengkan untuk nafsu koruptif para buto ijo.
Data Terbuka Keuangan Desa
Sejumah oknum yang melakukan pemerasan dan ancaman kepada Kades terus menjadi momok. Ditambah lagi munculnya buto ijo yang membuat para Kades tak berkutik. Modus mereka dengan mengumpulkan data-data masalah di desa bukanlah hal baru. Di salah satu daerah di luar Jawa misalnya, pernah saya temukan modus serupa. Bagi oknum tersebut, Pemdes juga memiliki istilah tersendiri, yaitu “masyarakat super tau”, demikian mereka menyebut kumpulan oknum yang memeras dan mengancam. Aksi mereka ini pernah saya sakasikan langsung beberapa kali, bahkan salah satu teman saya pernah menantang mereka.
Dalam aksinya, mereka biasanya datang satu tim sekitar 3-4 orang yang mengatasnamakan diri dari LSM, media, kejaksaan, dan kepolisian. Biasanya mereka datang dengan membawa dokumen berisi masalah untuk menjerat Kades. Mereka tidak akan keluar dari ruangan Kades tanpa uang. Karena tujuan mereka adalah uang, maka tawar menawar nilai uang yang mereka minta pun seakan sudah biasa. Misalnya, tujuan awal mereka berharap bisa memeras Kades senilai 1 juta, karena Kades tidak merasa punya masalah dan berkelit, maka mereka menurunkan nilainya dari 500 ribu, 300ribu, atau setidaknya per kepala mendapat 50 ribu. Begitu pun, aksi yang dilakukan oleh buto ijo, mereka bahkan lebih mengerikan karena seakan mereka adalah pelindung dari segala proyek pembangunan di desa. Jika tidak membayar uang senilai 7-30 juta, maka siap-siap Kades tersebut mendapatkan masalah atau proyek pembangunan di desanya tidak lancar.
Terkait pemerasan dan ancaman, mau tidak mau Kades terpaksa mengikuti permainan kotor para buto ijo. Padahal, bisa jadi Kades tersebut telah bekerja keras dengan baik dan jujur. Namun karena mereka harus menghadapi ancaman buto ijo dan sejumlah oknum lain yang mengancam mereka, mereka pun tak berdaya. Mereka tidak mau direpotkan dengan sejumlah masalah yang ditimbulkan para buto ijo, mereka tidak mau ribet mengurus tetek bengek terkait persoalan hukum yang sangat melelahkan, serta menghabiskan waktu dan energi. Apalagi masyarakat yang harus dikorbankan karena pembangunan tidak akan berjalan lancar.
Sejumlah Kades yang telah berhasil menghadapi para oknum yang melakukan Pungli, biasanya mereka sudah cukup terbuka (transparan) dan akuntabel terhadap data-data desa, khususnya keuangan desa. Terkait open data ini, kita bisa belajar dari Kabupaten Wonosobo yang telah menerapkan data terbuka atau open data keuangan desa sebagai salah satu prinsip penting dalam tata kelola keuangan desanya. Sejak Agustus 2017, seluruh desa di kabupaten tersebut telah menerapkan open data keuangan desa. Open data juga dinilai mampu mengurangi Pungli yang dilakukan oleh oknum tertentu. Definisi terbuka tidak sebatas pada penyediaan informasi kepada masyarakat, tetapi juga membuka partisipasi masyarakat untuk menentukan, membantu dan menjadi bagian dari proses pembangunan yang dikelola oleh pemerintah desa. Sayangnya, belum semua Pemdes menerapkan open data keuangan desa ini. Jangankan transparan dan akuntabel, proses partisipasi pun sampai saat ini masih menjadi tantangan bagi desa.
Perlindungan Hukum Bagi Pemdes
Keberadaan atau jabatan Kades dianggap rawan didiskriminalisasi. Menurut data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2017, ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus, pelakunya rata-rata dilakukan oleh Kades. Di Indonesia ini ada 74.954 Kades, namun dari semua itu tidak ada satu pun yang mendapatkan advokasi. UU No. 6/2014 telah melarang Kades, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Sanki korupsi hanya muncul pada Peraturan Mendagri No. 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.
Sayangnya keberadaan oknum seperti buto ijo ini masih luput dari perhatian KPK maupun pemerintah, baik Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BKPKP, kepolisian, dan kejaksaan. Di beberapa daerah, Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mengusulkan dibentuknya lembaga bantuan advokasi hukum bagi kepala desa, sayangnya belum semua daerah menginisiasi lembaga bantuan hukum.
Bersamaan dengan proses advokasi bagi Pemdes, upaya mendorong proses partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas juga ha penting untuk terus dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi tindak koruptif terhadap penyelewenangn dana desa. Pasal 26 ayat (4) UU Desa menyebutkan, Kades berkewajiban melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Namun fakta adanya oknum-oknum yang memaksa dan mengancam Kades terpaksa koruptif, juga sangat mendesak untuk segera ditindak tegas. Apalagi jika oknum tersebut ada di lingkaran pemerintah supradesa sepertihalnya fenomena buto ijo yang masih menjadi momok bagi para Kades.