Minggu, Oktober 6, 2024

Dampak Penutupan Akses Internet di Myanmar

Mimpi Ujian

Calvin Ericke Zrada
Calvin Ericke Zrada
Seorang Mahasiswa dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta

Akses internet sekarang sangat diperlukan untuk kehidupan manusia sehari-hari, beraktivitas, berkomunisasi, dan lain sebagainya. Masa pandemi ini penggunaan internet dibutuhkan untuk mengetahui hal–hal yang berkaitan dengan virus ini, termasuk protokol pencegahan, jumlah kasus positive, negative maupun angka kematian.

Namun hal ini nampaknya tidak berlaku di Myanmar sebabnya karena pemerintahan Myanmar menutup akses internet mereka demi keamanan penduduk mereka. Penutupan internet yang dilakukan oleh Myanmar ini telah berjalan lebih dari setahun, tepatnya dimulai 21 juni 2019.

Pemerintah pertama kali memberlakukan pembatasan pada internet seluler di kota-kota Buthidaung, Kyauktaw, Maungdaw, Minbya, Mrauk-U, Myebon, Ponnagyun, dan Rathedaung di Negara Bagian Rakhine dan kota Paletwa di Negara Bagian Chin. Penutupan internet ini menimbulkan kekhawatiran dunia akan masyarakat Myanmar yang tidak mengetahui info terkini tentang situasi dunia saat ini, mengingat situasi dunia saat ini yang sedang krisis akibat dari virus Covid-19. Bagaimana pun setidaknya masyarakat Myanmar perlu tahu ada kejadian apa di dunia saat ini. Salah satu dampak dari penutupan akses internet ini pun terlihat bagaimana masyarakat mereka tidak mengetahui adanya virus Covid-19 yang sedang melanda dunia.

Human Right Watch mengatakan kepada pemerintah Myanmar harus segera berhenti memblokir internet di delapan kota kecil Rakhine dan Chin, hal ini dikarenakan penutupan akses internet ini mempegaruhi lebih dari satu juta lebih penduduk yang ada dalam konflik. Akibat penutupan akses internet ini masyarakat myanmar tidak mengetahui adanya Covid-19, mengingat konflik yang di Myanmar ini terjadi di tengah pandemi, harusnya informasi ini sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat agar mereka tetap aman dan hal ini mempersulit mereka untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat yang mengalami konflik.

Pembatasan internet ini juga mempersulit media berita untuk mengumpulkan informasi dengan aman dan menyebarkannya, “ Meskipun jurnalis kami pergi ke wilayah yang terkena dampak konflik dan  mewawancarai sumber-sumber yang dapat dipercaya, itu akan sulit untuk mengirim hasil tersebut kembali ke kantor karena tidak adanya akses internet” kata Aung Marm Oo, salah satu editor Development Media Group (DMG) yang berbasis di Rakhine State.

Selain itu pemerintah juga memerintahkan operator telekomunikasi dan penyedia layanan internet yang menerima perintah dari Kementerian Transportasi dan Komunikasi berdasarkan pasal 77 Undang-Undang Telekomunikasi untuk memblokir lebih dari 2000 situs web tertentu, yang beberapa diantaranya menyediakan berita-berita hoax. Situs-situs media yang diperintahkan untuk dilakukan pemblokiran seperti Development Media Group, Narinjara News, Karen News, dan Voice of Myanmar.

Pemerintah beranggapan bahwa penutupan internet ini tidak mengganggu penyebaran informasi dengan alasan masyarakat yang terkena dampak konflik masih bisa menggunakan layanan SMS dan mereka mengatakan jika internet juga masih bisa di akses di beberapa lokasi.

Namun hal ini dikira masih kurang berguna sebab kebanyakan masyarakat di Myanmar lebih banyak menggunakan data seluler untuk penghubung mereka mengakses internet dengan maksud agar lebih mudah mengakses informasi terutama dalam hal konflik. Lebih dari 730.000 warga muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari Rakhine.  Pada bulan Januari, Pengadilan Internasional memerintahkan pemerintah untuk melindungi Rohingya dari tindakan genosida.

Kementerian Luar Negeri Myanmar mengklaim dalam sebuah pernyataan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 30 Juni 2020 bahwa pemadaman diperlukan, untuk “mencegah AA (Arakan Army) mengeksploitasi teknologi internet seluler untuk meledakkan IED (Improvised explosive devices ) dan ranjau darat”. Tentara Arakan sempat membenarkan menggunakan alat peledak, jebakan, teknologi untuk mengontrol penggunaannya, tetapi mereka menuding menggunakan teknologi internet ini untuk memicu ledakannya dari jarak jauh.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah mengutuk tindakan pemerintah untuk mencegah atau mengganggu akses dan informasi online dan menyerukan perlindungan kebebasan berbicara berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Dalam Deklarasi Bersama tentang Kebebasan Berekspresi dan Tanggapan terhadap Situasi Konflik tahun 2015, para pakar PBB dan organisasi regional mengatakan, “Menggunakan ‘tombol pemutus’ komunikasi (yaitu mematikan seluruh bagian sistem komunikasi) tidak pernah dapat dibenarkan menurut hukum hak asasi manusia.” Selama krisis, pemerintah harusnya bisa mecegah dirinya untuk tidak memblokir internet dan memastikan akses langsung ke layanan internet seluas mungkin.

Akibat dari penutupan akses internet ini juga banyak masyarakat yang kehilangan tempat tinggal mereka, mengalami keadaan yang memilukan, hingga menghadapi kematian. Pemerintah juga secara lansung sudah mengganggu hak-hak lebih dari satu juta orang untuk melakukan komunikasi, pemerintah harus mencabut peraturan penutupan akses internet ini dan membuka blokir pada situs web dan memperbaiki Undang-Undang Telekomunikasi mereka agar lebih baik dan sejalan dengan standar aturan internasional.

Calvin Ericke Zrada
Calvin Ericke Zrada
Seorang Mahasiswa dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.