Minggu, November 24, 2024

Dakwah dan Keterasingan Masyarakat Urban

Bustanul Arif
Bustanul Arif
Freelance Writer dan Aktivis Pemberdayaan Masyarakat.
- Advertisement -

Modernitas selalu membawa banyak konsekuensi pada perubahan sosial. Ledakan gaya hidup dan pemujaan pada kesenangan adalah di antaranya. Meski ini manusiawi, namun transformasi yang kemudian terjadi justeru meninggalkan lubang gelap yang begitu pengap di dasar hati. Sebuah kekosongan spiritual. Sebuah keterasingan jiwa.

Apa yang dibutuhkan kemudian adalah jalan keluar; sebuah jawaban yang memuaskan untuk sebuah kehausan yang selalu tak terpuaskan. Jika jawaban itu tak didapatkan, melarikan diri adalah satu-satunya pilihan. Itulah mengapa obat-obat penenang, narkotika, hiburan malam dan lain-lain menjadi industri yang subur seiring perkembangan zaman.

Masyarakat-masyarakat urban adalah subyek yang nyata dari perubahan ini, sekaligus obyek yang potensial bagi pertumbuhan industri-industri kesenangan di kemudian hari. Namun, beberapa dasawarsa belakangan ini transformasi besar telah terjadi. Mereka berbondong-bondong ingin kembali. Pada apa? Spiritualitas agama.

Mungkin, karena mereka sudah lelah dengan pelarian diri yang alih-alih bisa membuat mereka tenang, justru semakin membuatnya terasing dan hilang. Kalah. Mereka capai terus-terusan berlari. Mereka ingin berhenti dan kemudian menemukan diri.

Dan itulah fakta yang bisa kita lihat hingga hari ini. Mereka kemudian sibuk mengaji, mempelajari, atau sekedar mendekati para kiyai, dai, atau siapapun yang bagi mereka secara keagamaan punya kompetensi. Agar apa? Agar tenang jiwa yang selama ini terjerembab dalam sepi. Agar tenteram hati yang selama ini terkelabuhi (oleh nafsu duniawi). Mereka benar-benar ingin kembali.

Sayangnya, yang terjadi kemudian adalah kesalahan memilih tempat kembali. Apa yang tampak sepertinya suci, ternyata penuh dengan kotoran dan daki. Apa yang selama ini tampak spiritual, ternyata penuh dengan bual. Apa yang tampaknya bisa menghadirkan damai, justeru lebih suka mengajak ramai. Maka yang terjadi kemudian justeru sebuah “ketersesatan.” Berbondong-bondong mereka tersesat di jalan yang terang.

Mereka terjebak dalam formalisme agama dan melupakan dimensi spiritualitasnya. Dimensi yang sesungguhnya merupakan substansi dari pelembagaan keimanan. Dimensi yang sesungguhnya paling mereka butuhkan untuk mendapatkan sebuah ketenteraman. Mereka lebih suka bajunya daripada fungsinya. Mereka lebih suka gegap gempitanya daripada ketenangannya. Mereka lebih memuja bentuk daripada maknanya.

Maka yang terjadi berikutnya adalah lahirnya titik baru sirkulasi gaya hidup, yakni gaya hidup agamis. Gaya hidup agamis inilah yang kemudian melahirkan industri baru di bidang ikon-ikon keagamaan, seperti mode-mode pakaian syar’i (hijab syar’i contohnya, yang sebenarnya hanyalah brand dari imajinasi industri yang dikemas dalam narasi keagamaan agar lebih agamis dan berbau surga), produk-produk berbasis syariah (seperti perbankan syariah, keuangan syariah, koperasi syariah, perumahan syariah, bisnis-bisnis berlabel syariah, industrialisasi halal, dan lain-lain.

Meski semua ini bukan hal yang buruk, namun sejauh ini masih gagal untuk menghadirkan makna yang bisa menawarkan kesadaran spiritual yang sesungguhnya dan membentuk pola perilaku yang lebih baik secara sosial (juga menawarkan ketenteraman hidup). Tentu saja ini terjadi karena dalam nalar kapitalisme (saya menganggap ini adalah bagian dari kecerdasan kapitalisme) tak ada istilah makna. Yang ada adalah mengada (being exist): aku seperti ini, maka aku ada.

Kenyataan inilah yang menyebabkan mereka tetap tak terpuaskan. Tetap ada yang kosong di sisi terdalam kejiwaannya. Oleh sebab itu mereka butuh siraman rohani. Mereka butuh nasehat-nasehat agar kekosongan itu terisi. Dari sinilah kemudian lahir komoditas baru di dunia industri, khususnya industri media massa, yakni komoditas dakwah.

- Advertisement -

Komoditas dakwah ini menuntut produksi dan reproduksi para dai (orang-orang yang bisa berdakwah). Maka lahirlah ustadz-ustadz dan ustadzah-ustadzah zaman now yang sangat instan. Prasyarat utamanya bukan kompetensi keilmuan (apalagi spiritualitas), namun lebih pada kemampuan komunikasi (public speaking). Dan semua itu bisa dikondisikan dalam waktu yang sangat singkat.

Ya, namanya saja komoditas, tentu subsansi, pertimbangan moral, dan kapasitas keilmuan dan kesalehan bukan menjadi pertimbangan utama. Asal seorang dai (ustadz atau ustadzah) itu “marketable,” selesai persoalan. Dan media massa sebagai industri tentu tak punya kepentingan lain selain profit yang tinggi. Intinya, di manapun ada peluang, di situlah mereka mendulang uang.

Jadi, komoditas dakwah yang selama ini laris dan banyak dikonsumsi adalah buah dari peluang keterasingan yang dialami manusia modern saat ini. Khususnya, manusia-manusia urban yang sudah terjebak dengan gaya hidup dan kesenangan, namun menghadapi kekosongan jiwa yang ingin dipenuhi dan ditenteramkan. Di sisi yang lain, sebagian mereka ingin menghibur diri dari kesulitan hidup yang tuntutannya semakin tinggi dan menyesakkan.

Bustanul Arif
Bustanul Arif
Freelance Writer dan Aktivis Pemberdayaan Masyarakat.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.