Senin, Oktober 14, 2024

Dajal Tanda Kiamat, Meik*rt* Tanda Akan Ngekos Di Negeri Sendiri

Galang Harianto Pratama
Galang Harianto Pratama
Pegiat Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Surabaya. Aktivis Majelis Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya. Pengurus HIPMI PT Surabaya, lulusan Hubungan Internasional Unair 2012 (soon).

Coba perhatikan dengan seksama kemajuan di negeri ini. Adakah kita punya segala yang indah-indah itu? Beberapa dari kita membusungkan dada, dan berkata; aku adalah anak kemajuan negeri ini. Buktinya, aku membeli Mobil seharga 500 Juta lebih. Aku punya rumah mewah, dengan lingkungan asri, dan dijaga satpam dua puluh empat jam. Adakah itu lebih kaya, dari para leluhur kita dulu?

Bandingkan nenek moyang kita dulu. Halaman rumahnya luas, rumahnya besar-besar, ada simpanan sawah dan ladang, serta beberapa hewan ternak di belakang. Tanah itu kemudian diwariskan pada anak cucunya. Berharap mereka bisa melanjutkan nilai-nilai untuk selalu bersyukur dengan segala yang dimiliki. Sepetak tanah dulu harganya memang tidak lebih mahal dari mobil sekarang. Tapi apa jadinya tanah itu sepuluh tahun mendatang. Dan bandingkan, harga mobil itu sepuluh tahun mendatang? Adakah nilai tanah akan turun, ataukah harga mobil yang kian turun?

Kita bangga dengan mobil dan rumah mewah. Mobil misalnya, adakah itu milik kita? Data menunjukkan mayoritas mobil yang berjalan di jalan-jalan raya itu masih dalam kondisi kredit. Lalu apa salahnya dengan kredit? tidak ada salahnya. Hanya saja coba periksa, apakah kita masih berani mengatakan itu mobil kita? Ketika BPKB atau Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor tak kunjung kita pegang, selama masa cicilan lebih dari lima tahun itu?

Perkara rumah mewah, adakah itu juga milik kita? Masihkan kita temui, nilai-nilai keindonesiaan hadir dibalik megahnya tembok berdinding itu? Bersih desa, Kerja Bakti, Gotong Royong, dan segala budaya yang amat kaya lebih dari tembok-tembok itu, masihkah ada? Kehidupan kemudian berubah menjadi begitu individualis. 

Itu masih perkara mobil dan rumah mewah di perkotaan. Bagaimana jadinya kalau mobil dan rumah mewah yang sementara ini masih di kompleks-kompleks kecil, terpisah ini, kemudian dijadikan satu seolah seperti sentra kuliner, adakah logika yang lebih baik bahwa kita tidak sedang meminjam milik kita sendiri, ngekos di bumi yang kita injak sejak kecil ini, dan adakah kita bisa mewarisi sesuatu kepada anak cucu kita kelak?

Jadi, perkara tanah tidak hanya sebagai ruang pasif, dan bersifat geografis saja. Tanah adalah ruang yang didalamnya terjadi konflik, kontestasi dan negosiasi. Ini kemudian yang melahirkan studi tentang politik tata ruang. Aktor Politik tata ruang yakni, pemerintah, kelompok kapital, dan masyarakat. Pemerintah membutuhkan kelompok kapital untuk menarik investasi, dan kemajuan mesin pertumbuhan ekonomi Kota. Sebagaimana Kelompok kapitalis, dalam hal ini pengembang, membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah, untuk menghapus hambatan atau restriksi.

Perencanaan pembangunan di kota-kota besar, seperti Meikarta, sebenarnya banyak. Di kota Bandung, ada Bandung Teknopolis. Rencananya, kawasan terpadu ini akan dibangun di Bandung Timur. Bahkan ada wacana, pusat kota Bandung juga akan dipindah kesana. Pengembang dalam hal ini adalah Summarecon. Pengembang ini dikabarkan memiliki 70 % dari luas tanah yang akan dibangun. Di Surabaya, juga ada semacam Meikarta, berkonsep Singapore of Surabaya. Perencanaan kota masa depan ini dibangun di kawasan Surabaya Barat. Salah satu pengembangnya, adalah Citraland. 

Pertanyaan pertama, mengapa perencanaan seperti itu dibangun di pinggiran kota? jawaban awamnya adalah tidak mungkin dibangun di pusat kota, karena beberapa alasan. Tapi lebih jauh, sebenarnya tanah-tanah dipinggiran kota ini adalah investasi pengembang yang sudah dilakukan bertahun-tahun lalu. Tentu dengan logika harga yang sangat murah, karena daerahnya masih sepi dan pinggiran. Bisa jadi masih dalam bentuk rawa-rawa. Dan dengan kebijakan pemerintah, seperti Pemkot Surabaya yang ingin membangun Jalur Lingkar Timur dan Barat, maka harga tanah itu naik drastis. Tak cukup dengan itu, luasnya tanah yang dikuasai pengembang cukup untuk membuat sebuah kota Baru dengan desain futuristik.

Meikarta, Bandung Teknopolis, Singapore of Surabaya, adalah peradaban baru hasil logika kapital dan logika penguasa. Kenyataan ini tidak bisa dihindari, apalagi ditolak. Namun perlu kita membaca sejenak sebuah puisi di bawah ini;

Sungguh Jaka tak mengerti mengapa ia dipanggil ke sini

Dilihatnya Garuda Pancasila, tertempel di dinding dengang gagah.

Dari mata burung Garuda, ia melihat dirinyaDari dadah burung Garuda, ia melihat desa

Dari kaki burung Garuda, ia melihat kota

Dari kepala burung Garuda, ia melihat Indonesia

Lihatlah hidup di desa, sangat subur tanahnya

Sangat luas sawahnya, tapi buka kami punyaLihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling

Desa yang kaya raya, tapi bukan kami punya

Lihatlah hidup di kota, pasa swalayan tertata

Ramai pasarnya, tapi bukan kami punya

Lihatlah anekah barang, dijualbelikan orang

Ooh makmurnya, tapi bukan kami punyaJaka terus terpanah, entah mengapa, meneteskan air mata, air mata itu ia punya .

Gemerlap kemajuan tata ruang kota lantas tidak membuat kita silau. Bahwa kita tidak dalam koridor sedang baik-baik saja. Kedaulatan pemerintah sedikit digadaikan, sebagaimana kedaulatan Pak RT ataupun Pak RW di perumahan elit khas kota besar. Atau sebagaimana otoritas polisi yang harus lapor kepada setidaknya satpam perumahan yang tertutup tembok besar, hanya untuk patroli di malam suntuk. 

Pun penulis optimis, bahwa orang menengah ke atas di Indonesia akan naik. Kita generasi muda, terdidik di perguruan tinggi pun, kelak bisa mendiami. Namun, adakah kita temukan nilai yang sama dengan nilai Indonesia seharusnya? Apakah kelak kehidupan masyarakat yang penuh gotong royong, tegur sapa, dan lain sebagainya harus hilang dan hanya tersimpan dalam memori yang kita sebut kenangan tempo dulu? Atau lebih jauh, apakah kita yakin segala kemajuan ini membuat kita kaya, atau justru miskin? Atau lebih jauh, yakinkah segalanya itu kita punya? 20-30 tahun masa cicilan yang ditawarkan, sebagaimana mobil tanpa BPKB, seharusnya kita tak berhak berkata itu milik kita.

Galang Harianto Pratama
Galang Harianto Pratama
Pegiat Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Surabaya. Aktivis Majelis Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya. Pengurus HIPMI PT Surabaya, lulusan Hubungan Internasional Unair 2012 (soon).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.