Jumat, April 26, 2024

Dagelan Politik, Gagal Memuliakan Politik

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia

Kehidupan politik kita akhir-akhir ini penuh dengan dagelan. Elite politik rupanya hanya mampu memberikan kelucuan kepada publik, tanpa ada satu rumusan politik secara serius. Tak salah, kalau membicarakan nama dari elite satu per satu, maka publik cenderung akan memberi semacam sebuah anedoktal, satire, meme, yang tajam.

Untuk diketahui bahwa elit politik atau oligarki dalam bahasa politik yang dimaksud adalah yang memiliki kekuasaan beserta kekayaan materil dan tidak bisa diseimbangkan. Selain itu walaupun posisinya minoritas namun memiliki kekuasaan yang luas,  (Winters, 2011; 5-6).

Elit besar yang dimaksudkan Winters juga akan memanfaatkan elit-elit di bawahnya untuk membela kepentingannya. Persis jaringan atau kaki tangan dari oligarki yang dimaksud Winters ini, menurut penulis yang berada dalam struktural formal politik yang selalu menampilkan dagelan dalam berpolitik. Mereka seperti peragawan-wati. Dan di belakangnya ada sutradara yang lihai membuat skenario-skenario yang baik.

Dagelan Politik

Puncak munculnya dagelan politik dari para elit, persis pada saat konstelasi Pemilihan Umum (Pemilu) dimulai. Kita menyaksikan sebelum dan sesudah Pemilu 17 April, 2019 kemarin, begitu banyak kisah, kejadian, prilaku, yang sangat meriuhkan dan menggelitikan diskursus ruang publik. Tak ada diskursus pengetahuan yang ada hanya dagelan. Alih-alih kita berharap bahwa elit sebagai agensi politik, namun ketika mereka menjadi peraga lawak, maka ini sungguh memiluhkan.

Lalu apa-apa saja dagelan politik dari elit yang muncul? Kita menyaksikan sebelum Pemilu Presiden harus gagah perkasa, bisa berbahasa Inggris, harus retoris, pidato harus berapi-api. Kaum-kaum seperti ini lupa dengan postulat yang disampaikan oleh Pram; “Kowé kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!.

Pada saat hari puncak Pemilu kemarin, dagelan juga muncul, khususnya pada Pemilihan Presiden (Pilpres). Lembaga survei terbagi dua dalam perolehan hasil. Beberapa lembaga survei mengeluarkan angka dengan perolehan suara yang tinggi pasangan 01. Sementara beberapa lembaga survei lainnya mengeluarkan angka dengan perolehan suara yang tinggi pasangan 02.

Dari perolehan suara yang ada, kita menyaksikan juga elit-elit politik dipandu oleh angka tersebut lalu saling sikat dalam panggung televisi.  Serang sana-sini tanpa ada metodologi yang jelas. Parahnya yang tak paham statistika pun berusaha memahami statistika setengah-stengah. Singkatnya tak ada kemuliaan politik itu dibicarakan dengan kritis.

Tak puas disitu. Kita juga menyaksikan ada salah satu Pasangan Calon (Paslon) mendeklarasi kemenangan duluan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Tim Kemenanganya. Sementara yang satu menunggu hasil yang pasti dari lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang memiliki legitimasi.

Hingga akhirnya publik juga menyaksikan dagelan dalam ruang yang terhormat di Mahkama Konstitusi (MK). Orang beramai-ramai memberi kesaksian terhadap pelanggaran Pilpres 17 April lalu. Dalam keseriusan, kita menyaksikan kisah lucu yang terjadi; ada yang tak tahan kebelet, lalu meminta untuk pergi membuang air kecil. Ada yang menjawabnya tidak konsisten, ada yang berjalan malam-malam menemukan setumpuk gunung Amplop.

Semua itu memang menghiburkan. Namun efeknya bahwa publik pada akhirnya akan mengalami krisis. Krisis dalam arti bahwa kepercayaan akan hilang lalu akan muncul sikap apolitis. Semua ini tidak terjadi spontan dalam kehidupan masyarakat. Namun selalu terjadi karena buruknya elit negara dalam membentuk sikap politik pada publik.

Tanpa Sejarah

Lalu apakah kisah dagelan dari elit politik kita memiliki basis historis?

Jika dicermati, maka dagelan politik tidak pernah muncul dalam lintas sejarah politik kita. Pra kemerdekaan tokoh-tokoh selalu memiliki keseriusan dalam membicarakan bangsa dan negara. Karena politik bagi tokoh-tokoh zaman pra kemerdekaan adalah perjuangan, maka harus dibicarakan secara serius.

Pasca kemerdekaan kita menyaksikan seorang presiden yang cerdas memimpin bangsa. Bahkan anak-anak kecil yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD)  dari dulu sampai sekarang pun akan mengingat Soekarno sebagai pemimpin revolusioner, pandai berdebat, retoris, selalu memiliki gagasan yang cemerlang.

Kehebatan Soekarno tidak lahir begitu saja, namun karena teman-temannya memiliki kecerdasan yang sama. Sehingga Soekrano selalu berdebat dengan kawan-kawan perjuanganya. Negara dibangun di atas satu pemikiran yang kokoh, bukan di atas dagelan yang konyol.

Membaca tokoh-tokoh hebat zaman kemerdekaan membawa kita pada satu kemewahan intelektual para elit politik. Sebagai contoh, kalau membaca Dibawah Bendera Revolusi (DBR) dari Sorkarno, maka dengan sendiri akan memahami sejarah politik Indonesia secara utuh.

Begitu juga membaca Madilog dari Malaka, maka kita akan menemukan logika rasional yang berusaha menghilangkan pikiran mistik. Membaca Demokrasi Kita dari Hatta, kita akan menemukan satu pemikiran demokrasi yang sangat kontekstual dan substansi untuk Indonesia.

Inti dari membaca sejarah politik adalah menghantar kita pada satu kemewahan dan kenikmatan dalam kehidupan sebuah bangsa. Yang mana elit negara memiliki segudang pemikiran yang kokoh dan epistemik.

Semua itu karena elit politik pada waktu itu rajin membaca buku sekaligus memahami politik global dan kerja dari ideologi. Kalaupun seandainya ada kisah lucu keluar dari elit politik, maka itu hanya sebatas guyonan, bukan sebagai cara berpolitik elit.

Gagal Memuliakan Politik

Pada akhirnya dengan munculnya dagelan selama ini, tak terlepas dari elit politik ketika gagal menempatkan diskursus politik itu sebagai sesuatu yang mulia, sebagai yang utama. Kegagalan ini tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan cara memahami situasi sosial, terbatas memahami konflik, tuntutan politik dari partikularitas masyarakat.

Efek dari kegagalan dan keterbatasan maka akhirnya memiliki kecendrungan yaitu miskin imajinasi politik. Miskin imajinasi politik ini menjelaskan kegagalan dalam membahas kasus di mana-mana, mulai dari pencamplokan lahan, kasus HAM yang selalu tertunda dan berbagai kasus lainnya.

Sebagai ilustrasi konkrit, biasanya kisah dagelan muncul ketika waktu duduk di Sekolah Dasar (SD), setiap kali disuruh oleh guru untuk membaca depan kelas atau mengerjakan soal. Selalu ada kejadian dimana murid memiliki keterbatasan untuk menyelesaikannya. Akhirnya murid pun mentok, dari situ munculah gerak-gerik aneh, ada yang menggaruk kepala, menggaruk kaki, mata tatap ke lantai, senyum sendiri hingga pada akhirnya satu kelas tertawa.

Dagelan itu menampilkan sesuatu yang lucu. Namun dagelan menandakan seseorang tidak tau apa-apa membahas sesuatu, maka yang akan ditampilkan adalah kelucuannya. Kalau ini konteksnya dalam membahas sesuatu hal yang tak penting maka itu tidak menjadi soal. Hanya ketika membicarakan masa depan Bangsa lalu yang muncul dagelan, ketidakbecusan.

Dengan demikian yang perlu diperbaik dalam demokrasi kita adalah memahami dan menempatkan kembali politik itu sebagai sesuatu yang utama. Caranya adalah dengan memaksa elit politik  untuk mengupgrade diri supaya memahami politik secara serius.

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.