Jumat, Maret 29, 2024

Cyber Islamic Environments

A. Munawwir
A. Munawwir
Alumni PP. Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep sekaligus mahasiswa Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta

Diskusi tentang cyber Islamic environments sebenarnya sarat dengan kompleksitas. Beragam aspek tentang islam yang itu berada di dunia maya harus diterjemahkan sebagai wajah islam di satu sisi.

Di sisi lain, proses penerjemahan tersebut rentan terdapat kekurangan, sehingga pada gilirannya membuka jalan buntu untuk memahami Islam secara utuh. Kekurangan tersebut bisa berupa data-data yang validitasnya masih dalam tanda tanya.

Istilah lingkungan islam maya (cyber Islamic environments) berkaitan dengan apa yang disebut dengan islam virtual. Istilah islam virtual lebih dulu dikenal daripada islam maya tersebut, yang berarti dunia abstrak yang konten virtual rekaannya hanyalah bit-bit data. Seseorang bisa mengakses data-data tersebut melalui jaringan internet sesuai dengan apa yang diinginkannya. Proses digitalisasi semacam ini bertujuan untuk menjelajahi ragam pengetatahuan tentang islam di jagad maya.

Dalam rangka menjelajahi jagad maya ini, Gary R Bunt menggunakan pendekatan pengetahuan dan ekspresi Islam, serta bagaimana metode komunikasi menyesuaikan dan memberikan pengaruh bentuk wacana dan pemahaman personal, dalam konteks lokal, regional, dan global.

Pendekatan ini memiliki kesamaan dengan dengan studi cyber-culture. Hanya saja pendekatan yang digunakannya menitikberatkan di bidang fenomenologi dan studi agama berupa simbolisme, otoritas, keragaman, pengalaman, dan ekspresi, yang mana semua itu adalah kunci untuk mengamati lebih jauh tentang lingkugan Islam maya.

Upaya Mengakses Cyber Islamic Environments

Dunia Islam telah membenahi dan memperbaiki jaringan internet dengan cara meningkatkan akses baik di dalam mau pun di luar wilayah dunia Islam. Peningkatan ini akan mempercepat perluasan situs, termasuk tentang identitas keislaman itu sendiri.

Dengan begini, tentunya akan membuka pintu bagi orang-orang islam untuk mengemas Islam sedemikian rupa sesuai dengan konten yang sedang menguasai pasar. Salah satu contohnya adalah Farhat Hashmi, sarjana Pakistan, yang telah melakukan proses digitalisasi terhadap ceramah dan komentarnya terhadap al-Qur’an online di situs al-hudanya, termasuk ceramahnya selama tur Dubai pada bulan ramadhan 1423 H/2002 M

Terlepas dari hal itu, media telah menjadi ruang nyaman untuk mendiskusikan segala sesuatu yang dianggap islami. Ada banyak situs atau konten islami yang siap meramaikan beragam konten dan situs lain. Situs-situs ini berusaha sebaik mungkin untuk menarik pasar dan pengunjung, yang pada akhirnya akan berdampak pada rating. Ada sebuah web yang secara sistem sangat baik, bahkan memiliki staf khusus untuk mendesain halaman web sebagus mungkin demi meraup keuntungan.

Wacana politik islam yang sering diperbicangkan di dunia maya membentuk bagian dari dialog tentang identitas Islam. Agar tidak kabur dan salah, para ideolog memberikan perbedaan anatara Islam dan politk. Dalam keadaan begini, bukan berarti internet mengganti cara-cara politik sebagaimana mestinya, ia hanya sebagai sarana yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, sehingga mudah untuk digunakan. Barisan oposisi akan melayangkan beberapa komentarnya melalui webnya sendiri yang sulit untuk diblokir dan disensor oleh pemerintah.

Semakin pemerintah melakukan penyaringan dan penvilteran, semakin barisan oposisi cerdik. Sehingga pada puncanya, akan ada banyak peretasan yang itu diitegrasikan ke dalam beberapa bentuk aktivitas politik tertentu. Semisal kelompok pro palestina. Mereka akan dengan mudah menyerang kelompok lain yang satu suara dengan Israel.

Dari eksposisi di atas, ada banyak ilmuan yang melakukan penelitian tentang lingkungan islam maya ini dari berbagai sudut pandang. Antropolog Jon Anderson membahas tentang dampak internet pada komunitas transnasional, lebih-lebih orang Arab.

Lebih lanjut, ia membahas pengaruh ‘ledakan media’ pada wacana Islam. Setelah mengevaluasi dampak internet pada orang Irak pada tahun 1997, ia melakukan kritik konstruktif terhadap internet. Menurutnya, internet hanya memfasilitasi, namun tidak memikirkan ulang arah jangkauan sosial islam yang sudah berlangsung.

Beda lagi analisis yang dilakukan oleh temannya sendiri, Dale Eickelkman. Ia telah melakukan pertimbangan terhadap dampak ragam bentuk media terhadap latar belakang muslim yang beragam dan kerangka sejarah.

Tak kalah penting, hasil penelitian Georgetown tentang proyek informasi Arab. Dalam penelitiannya, situs web dihubungkan dengan serangkaian studi kasus regional secara terperinci. Dampak penelitian ini berdampak pada perkembangan internet di timur tengah.

Dari deretan nama ilmuan di atas yang telah meneliti Islam dari beragam sudut pandang, maka studi islam dan dunia maya tidak sesederhana yang dibayangkan sebelumnya. Ia tidak hanya tentang dunia arab, tetapi ia menjadi ikon yang merepresentasikan dari berbagai sumber muslim dan kepentingan islam, yang dipusatkan pada keyakinan dan ragam kepentingan akademis.

Lebih penting lagi, adalah pesan dari konteks minoritas, bahwa Internet telah mengingatkan ‘dunia Muslim yang lebih luas’ kepada kelompok-kelompok minoritas beserta ideologinya, dengan menghasilkan minat dan afiliasi yang telah berkembang dengan sangat cepat melalui media digital.

Kekurangan Cyber Islamic Environments

Ada beberapa kekurangan pada sistem lingkungan islam maya. Salah satunya Whois. Whois semacam layanan internet yang dapat memberikan informasi kepemilikan domain internet, dan dari mana data teknis dan sistem operasi dapat ditemukan. Sementara, data ini yang akan dimasukkan bisa dimanipulasi.

Yang selanjutnya adalah masalah arsip tunggal materi. Jika demikian, maka dimungkinkan tidak bisa mengkases satu-persatu situs sebelumnya. Dan ini menjadi masalah bagi seorang peneliti yang melakukan penelitian dengan melacak situs dari waktu tertentu.

Pada hakikatnya, sudah ada upaya yang dilakukan untuk mengarsipkan data. Internet Archive Wayback Machine, yang diselenggarakan oleh Alexa, yang mulai mengarsipkan Internet pada tahun 1996; database-nya memang berisi catatan (dalam bentuk salinan digital) dari beberapa situs yang dinyatakan hilang.

Dengan sumber ini, Gary R Bunt menemukan 88 versi situs azzam.com. Situs ini sering diretas, ditutup, diganggu, atau dipindahkan secara during. Salah satu yang dicatat oleh Gary bahwa materi Pro-Osma bin Laden tidak dimasukan dalam arsip, seperti situs al-Neda yang diambil alih olah Amerika. Karena tidak diarsipkan, pendukung al-Neda meretas situs lain, dan meletakkan file-file mereka secara diam-diam dalam rentan waktu yang terbatas.

Bahan Bacaan

Berry, David. Understanding Digital Humanities. London, England: Palgrave Macmillan, 2012.

Bunt, Gary. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments. London, England: Pluto Press, 2003.

Bunt, Gary, and Lampeter. Islam Virtual: Menjelajah Islam Di Jagad Maya. Translated by Suharsono. 1. Yogyakarta: Suluh Press, 2005.

Sula, Chris Alen, and Heather Hill. The Early History of Digital Humanities. In DH, 2017.

A. Munawwir
A. Munawwir
Alumni PP. Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep sekaligus mahasiswa Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.