Selasa, Oktober 15, 2024

Covid-19 Wabah Sosial dan Ekonomi Abad 20

Rosmidawati Abdullah
Rosmidawati Abdullah
Penikmat sastra, senja, filsafat

Amerika, China, Rusia, India, Inggris adalah segelintir negara yang boleh berbangga diri. Mereka telah menyatakan sukses menciptakan Vaksin Covid-19 yang telah ditunggu seluruh penduduk dunia selama berbulan-bulan lamanya dalam keputusasaan dan ketidakpastian ekonomi yang hari demi hari terus saja mencekik dan menghantui masyarakat global.

Menurut worldometers.com perhari ini 18 Maret 2021 atau tepat setahun lebih setelah kasus Corona pertama kali dilaporkan di Wuhan; telah tercatat 121.780.395 kasus di seluruh dunia.

98.180.010 orang sembuh, 2.691.392 lainnya tercatat meninggal dunia. Sementara kasus aktif setidaknya menyentuh angka 21.695.682 jiwa. Yang kemungkinan besar akan terus mengalami penambahan, sementara menunggu distribusi vaksin merata secara global. Yang kemungkinan besar masih memerlukan waktu berbulan-bulan lamanya.

Covid-19 yang muncul pertama kali di Wuhan dilaporkan secara resmi pada WHO pada 31 Desember 2019. Sementara WHO baru mengumumkannya sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020; langkah yang oleh sebagian kalangan dianggap lamban ketika sejumlah kasus mulai dikonfirmasi di sejumlah negara.

Dilaporkan pasca wabah mulai menyebar, sejumlah rumah sakit di beberapa negara kolaps sementara ekonomi berbagai negara mengalami pukulan hebat.

Di Indonesia sendiri, menurut Suharso Monoarfa Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional dalam sebuah wawancara dengan media Kompas, kerugian yang diderita ekonomi Indonesia mencapai Rp 1.000 triliun.

“Industry impact dan inderect impect itu sudah mendekati seribu triliun. Ini menjelaskan bahwa daya beli berkurang. Dan GDP kita sebagian besar adalah konsumsi rumah tangga”

Hitungan Bapemas menyebutkan 24 juta tenaga kerja telah kehilangan jam kerja. Dan ini terutama berasal dari sektor pariwisata juga manufaktur yang secara total mengakibatkan hilangnya sumber ekonomi yang mencapai Rp 360 triliun.

Kerugian tak kalah besar juga dialami hampir seluruh dunia. Sri Mulyani Indrawati sendiri dalam satu wawancara beberapa bulan lalu menyebut kerugian dunia akibat wabah mencapai US$ 9 triliun atau Rp 135.000 triliun.

Masalah ekonomi bukan satu-satunya isu yang mengiringi penyebaran Covid-19. Di sejumlah negara, terutama negara-negara Barat, kebencian yang terutama ditujukan pada orang-orang Asia terutama Asia Timur mengalami peningkatan. Persekusi secara fisik dan verbal menjadi satu dari sekian banyak berita yang mencuat di antara tingginya angka kematian akibat penyebaran Covid-19 di sejumlah wilayah. Kasus penembakan di Atlanta merupakan puncak gunung es sebenarnya yang selama ini nyaris terlupakan di tengah modernisasi dunia.

Rasisme memang bukan lagi masalah baru. Namun, pembahasan mengenai hal tersebut nyaris selalu tenggelam oleh isu-isu sosial yang dianggap jauh lebih genting.

Kini pasca Covid-19 menyebar ke seantero dunia, secara tidak langsung ia membuka mata sejumlah kalangan bagaimana dunia sebenarnya telah lama ‘diporak-porandakan’ bukan hanya oleh moralitas yang bobrok, sistem kesehatan yang tidak pernah siap menghadapi pandemi dan kesenjangan ekonomi yang makin nampak antara yang kaya dan yang miskin. Negara kaya dan negara miskin. Dan semua hal ini hanya dibatasi oleh sekat tipis, yang selama ini tak pernah jadi perhatian.

Covid-19 bagaimanapun bukan hanya sekedar wabah, ia juga menjadi tamparan keras bagi manusia seantero jagad. Kenyataannya berkembangnya ilmu pengetahuan, modernisasi dan kemajuan ekonomi dan teknologi sama sekali tak dapat menjadi tolak ukur pasti kesiapan umat manusia menghadapi wabah.

Pada akhirnya semua aspek-aspek ini hanya menjadikan umat manusia jumawa, mengira bahwa bencana biologis yang luar biasa serupa Black Death atau Flu Spanyol bakal bisa terhindarkan dengan mudah. Faktanya kita semua mengalami kegagalan. Dan kegagalan tersebut menimpa hampir segala lini kehidupan dan menyapu hampir semua benua tanpa pandang bulu.

Dunia yang kita hadapi saat ini tak lagi sama. Hari-hari yang kita lalui pula telah berbeda. Kita dipaksa berdamai dengan wabah mematikan tiap hari, disertai pertanyaan-pertanyaan putus asa, kapan semua ini akan berakhir?

Manusia saat ini sepenuhnya berada dalam keadaan tak berdaya, terbelenggu, dipaksa untuk hidup dalam tempurung ketakutan dan kekhawatiran. Yang bahkan terasa jauh lebih buruk lagi bagi negara miskin dengan akses kesehatan tak memadai. Yang setiap waktu terancam kolaps dan mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa melayang disebabkan fasilitas kesehatan yang jauh dari kelayakan.

Meski hari ini kita semua mengalami krisis serupa. Namun, negara-negara maju sebagai pihak yang lebih beruntung. Teknologi yang didukung sumber daya memadai membantu mereka mengambil langkah cepat guna melakukan pengembangan vaksin.

Negara-negara kaya dan makmur pun bisa digolongkan sama beruntung dengan negara berteknologi tinggi. Dengan limpahan uang yang mereka miliki, mereka mampu mengamankan stok vaksin dengan cepat untuk seluruh penduduk mereka. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan negara miskin yang harus bersabar menunggu kucuran dana negara kaya untuk mencukupi bantuan vaksin bagi penduduk mereka yang tentunya tak akan ada dengan sekejap mata.

Covid-19 bagaimanapun telah menggugat dan mengguncang moralitas dan solidaritas sesama manusia, yang selama ini rupanya begitu rapuh.

Hari ini kita berkaca dan akan terus mengingat Covid-19 sebagai satu sejarah kelam di abad ke-20 yang mampu membuat manusia moderen jatuh bangun menghadapi krisis besae yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Rosmidawati Abdullah
Rosmidawati Abdullah
Penikmat sastra, senja, filsafat
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.