Kamis, Maret 28, 2024

Covid-19, Drama Korea dan Feminisme

Ratih K. Wardhani
Ratih K. Wardhani
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Bagi remaja Indonesia, terutama yang masih jomblo, film Drama Korea atau sering disebut drakor seperti kehidupan surga yang selalu di damba-dambakan. Momen ketika si “Oppa” yang tajir dan tampan rupawan bertemu dengan si “ciway” yang miskin dan cantik atau sebaliknya merupakan saat-saat paling dinanti dalam film drakor. Sungguh luar biasa, dari benci menjadi cinta.

Film-film Drakor semakin sempurna dengan sisi ke glamoran yang selalu ditampilkan, karakter cowok cool dan pintar, tempat-tempat romantis yang membuat para penonton bermimpi ingin ke tempat tersebut, atau pekerjaan hero yang manusiawi. Drakor memang hebat membuat fantasi tentang cerita cinta, bahkan Bollywood rajanya penghasil film-film romantis berhasil “disikat” dan menjadi pesaing kuat film-film Hollywood di abad-21.

Siapa saja yang pernah menonton drakor pasti ingin menontonnya lagi, lagi, lagi dan lagi. Apalagi pandemik covid-19 yang mengharuskan kita semua di rumah saja. Bekerja dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah di rumah. Artinya bagi para penggemar drakor ini moment berharga yang tidak boleh disia-siakan. Menghabiskan semua list drakor yang sempat tertunda sambil rebahan.

Seperti tidak ada bosan-bosannya, bahkan tidak sedikit fantasi-fantasi yang dibangun di film drakor diikuti para penggemarnya di kehidupan nyata, mulai dari style berpakaian, rambut, atau barang-barang bermerek. Ya, bisa dibilang drakor menjadi ideologi baru bagi anak-anak muda zaman now.

Tunggu. Tulisan ini bukanlah membahas kisah cinta Cha Yo‑han dengan Kang Shi‑young dalam film Doctor John, atau kisah Kapten Yoo Si-jin bertemu dengan dokter Kang Mo-yeon dalam film Descendants of the Sun, atau cinta segitu antara Gu Jun Pyo dan Yoon Ji Huu yang sama-sama ganteng nan-kaya bertemu dengan Geum Jan Di gadis miskin yang selalu ceria dan bersemangat dalam film Boys Befover Flowers. Bukan pula tentang persoalan keadilan ekonomi antara si miskin dan si kaya.

Tulisan ini melihat isu budaya patriarki yang selalu ditampilkan di dalamnya. Mungkin pendapat saya ini unpopular opinion, tapi hal ini perlu di bahas.

Saya selalu bertanya kenapa dalam film-film Drama Korea itu perempuan yang sudah berumah tangga atau sudah menjadi ibu, pasti profesinya digambarkan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT)? Bahkan seorang perempuan yang sudah bekerja ketika menikah akan meninggalkan pekerjaannya dan menjadi ibu IRT demi keluarga.

Misalnya kehidupan Ma Jin-Joo dalam film Drama Korea berjudul Go Back Couple yang memerankan seorang perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga dengan harga diri rendah, pasrah begitu saja pada keadaan. Begitu juga dengan film Drakor yang populer tahun 2019 berjudul Kim Ji-Young, Born 1982. Film ini sangat jelas menampilkan ‘kuasa’ laki-laki terhadap perempuan, dimana seorang perempuan bernama Kim Ji-Young demi suami dan anak-anaknya memilih tidak bekerja setelah melahirkan, namun yang terjadi Kim Ji mengalami frustasi.

Actually, tidak hanya film drama, doktrin IRT juga dilihat dalam film layar lebar Korea yang meraih piala Oscar tahun 2020 yakni Parasite. Bukan sisi kesenjangan ekonominya, tetapi kita bisa melihat karakter Yeon Kyo, si nyonya kaya yang sebenarnya mengalami frustasi dan kebosanan dirumah namun tetap dijalani demi menjadi Ibu Rumah Tangga yang baik hati, cinta suami, dan sangat perhatian dengan pendidikan anak-anaknya.

Tanpa bermaksud mendeskreditkan profesi tersebut, menurut saya doktrin relasi Wanita Asia menjadi IRT itu terlalu kolot dan tidak ramah gender. Tampak sekali bahwa Wanita Asia cenderung digambarkan selalu mengikuti kemauan laki-laki, suaminya sendiri. Budaya patriarki kental sekali dalam penggambaran kehidupan yang hirarki.

Sangat jelas argument yang dibangun dalam film-film ini menyebutkan bahwa laki-laki tidak pernah memaksakan istrinya untuk bekerja setelah berumah-tangga, namun justru memperlihatkan betapa lemahnya “power” yang dimiliki seorang perempuan terhadap dirinya sendiri. Ironis.

Di beberapa film memang ada juga digambarkan perempuan yang berhasil di pekerjaan dan bahkan menjadi orang penting di sebuah perusahaan besar. Namun, jika perempuan itu sudah berumah tangga maka pernikahannya tidak akan bahagia, anak-anaknya tidak terurus bahkan berujung pada perceraian.

Banyak sekali film-film drakor yang menggambarkan kisah ini, tentu kita masih ingat karakter Gu Jun Pyo dalam Boys Befover Flowers dimana masa kecilnya yang tidak mendapat kasih sayang seorang ibu karena sibuk dalam pekerjaan membentuk kepribadiannya yang selalu bersikap kasar dan semaunya sendiri akibat.

Begitu juga dengan Drakor My ID Is Gangnam Beauty. Sangat jelas drama ini mereduksi makna perempuan. Ditampilkan Ibu dari pemeran utama Do Kyung Seok memilih bercerai dengan suaminya dan meninggalkan keluarga demi mengejar karir, sehingga keluarganya berantakan.

Dalam drama Mandarin juga menampilkan hal yang sama, misalnya saja karakter Dao Ming Se dalam drama Meteor Garden tahun 2011 selalu kasar dan tidak mendapatkan kebahagian keluarga karena ibu nya selalu mementingkan pekerjaan.

Bukankah jahat sekali penulis naskah ini menggerogoti penonton dengan paradigma ngawur itu?

Sebagian orang berkata “itu hanya drama” namun pada prakteknya perempuan-perempuan Indonesia mengalami hal tersebut. Tidak sedikit perempuan harus keluar dari pekerjaanya demi mewujudukan citra ibu rumah tangga yang baik. Pandangan “kuno” yang masih mengganggap perempuan karier tidak bisa menjadi istri dan ibu yang baik karena terlalu sibuk dengan pekerjaan masih dipercayai masyarakat Indonesia. Dan tentu saja sebagian besar kebudayaan kita masih mempertahankan nilai-nilai tersebut.

Apa yang saya sampaikan disini bukanlah ingin menyuarakan pandangan feminisme liberal, feminisme sosialis atau feminisme radikal. Poin pentingnya adalah menyuarakan hak-hak dasar perempuan. Saya setuju dengan pandangan Ms. Kim seorang aktivis dari Korea Selatan yang mengatakan gerakan feminisme harus lahir dari kebutuhan dasar kita masing-masing, di negara masing-masing, tempat, dan profesi kita masing-masing, bukan menelan bulat-bulat nilai feminisme dari luar.

Sekali lagi, tanpa bermaksud mengesampingkan profesi Ibu Rumah Tangga, alih-alih menggambarkan romansa kisah cinta, Drama Korea justru seringkali mereduksi makna kebebasan dan hak-hak perempuan.

Seperti saya sampaikan di awal, mungkin pandangan ini tidak popular atau bahkan menjadi cibiran para pecinta drakor. Tapi saya ingin mengajak semua perempuan Indonesia menyadari dan melawan segala bentuk rekayasa yang mereduksi hak-hak perempuan dimanapun dan dalam bentuk apapun.

Kartini pernah berkata “Kami, Kaum Wanita, tidak pernah berniat untuk melawan laki-laki. Tetapi kami (harus) memerangi pemikiran kolot yang akan mengakar pada kebodohan.”

Ya, hari Kartini tanggal 21 April dan memang sudah lewat, tetapi Drama Korea tetap berlanjut, pikiran-pikiran kolot itu tetap hidup. Oleh karenanya, dalam situasi pandemik Covid-19 ini harus menjadi momentum bagi perempuan Indonesia untuk bangkit. Bangkit dari rebahan dan menyudahi sejenak menonton film-film drakor, lihat disekelilingmu apakah ada saudara, tetangga, atau teman yang sedang membutuhkan pertolongan. Mari melakukan hal-hal kecil untuk saling membantu.

Ratih K. Wardhani
Ratih K. Wardhani
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.