Sabtu, April 20, 2024

COVID-19, Angsa Abu-Abu, dan Paradigma Pembangunan

Dwi Munthaha
Dwi Munthaha
Fasilitator andragogi tematik.

Kemunculan pandemi Covid-19, oleh sebagian kalangan disebut sebagai fenomena Angsa Hitam. Spesies ini dipopulerkan kembali oleh Nassim Nicholas Taleb (2007), untuk memahami berbagai peristiwa yang tidak terduga.

Taleb menuliskan fenomena angsa hitam berupa peristiwa dengan 3 sifat, yaitu: peristiwa di luar kelaziman dan belum pernah terjadi di masa lalu; berdampak ekstrim; dan baru dapat dijelaskan setelah perisitiwa tersebut terjadi.

Sebelumnya, Karl Popper menuliskan fenomena angsa hitam sebagai falsifikasi, penyangkalan atas kebenaran pengetahuan yang hanya mengacu pada empirisme dan rasionalisme. Popper (1945) mengenalkan rasionalisme kritis, mengkritisi pemahaman rasionalisme dan historisme yang berabad-abad dianut oleh para intelektual. Tidak ada epistemologi tunggal, karena teori pengetahuan tidak bisa menjadi dogma yang berlaku sepanjang zaman.

Dahulu, orang (Eropa) hanya mengenal angsa berwarna putih. Angsa hitam sebagai fakta ditolak, karena beratus abad orang hanya mengenal angsa putih. Tapi apakah angsa hitam belum ada saat itu? Bagi Suku Aborigin, penduduk asli Benua Australia, angsa hitam sudah ada sejak lama. Namun, Aborigin hanyalah suku pribumi yang dianggap primitif dan populasi terus berkurang sejak tanah mereka dikuasai oleh bangsa Eropa.  Angsa hitam adalah bagian dari keseharian hidup mereka. Tidak ada pentingnya untuk menyampaikannya  ke dunia luar.

Pandemi bukanlah hal yang baru. Di masa lalu benua Eropa pernah diserang wabah yang dikenal dengan Black Death. Peristiwa itu terjadi antara tahun 1347 dan 1351 yang mengakibatkan 1 dari 3 orang di Benua Eropa menemui kematiannya (Ball, 2015).

Namun efek lain yang muncul, terbuka peluang melonggarnya struktur sosial abad pertengahan yang kaku. Dari sana mulai muncul pemikiran-pemikiran kritis yang mengganggu dominasi kekuasaan gereja dan raja-raja hingga puncaknya adalah reformasi di tahun 1517.

Gerakan ini menguat dan tidak terduga perkembangannya. Marthin Luther  bersolo aksi memprotes kewenangan gereja yang absolut. Namun, yang terjadi diluar dugaannya, muncul gerakan anti gereja  yang menjadi cikal bakal atheisme dan sekularisme serta menyemai paham liberalisme.

Apa yang dilakukan oleh Luther dapat dianggap sebagai fenemona angsa hitam. Kebenaran atas konformitas terhadap agama, tersubversi dengan rasionalisme yang membebaskan bangsa Eropa dari nilai-nilai tersebut. Kebebasan individu menjadi narasi utama untuk perkembangan apapun demi terciptanya peradaban baru.

Bukan Hitam tapi Abu-abu

Para intelektual memiliki kecendrungan untuk meramal masa depan. Lebih jauh lagi, banyak proyek penelitian bukan hanya bersifat memprediksi tapi mengarah pada kepastian. Sekilas nuansa keilmiahannya begitu kuat, tapi pada kenyataannya ia tidak bebas dari nilai dan norma, bahkan mengabaikan etika.

Dari berbagai literatur, banyak penelitian sejak  masa renesains dan puncaknya pasca perang Dunia II, yang didukung oleh kepentingan kekuasaan dan industri. Semuanya punya target memprediksi masa depan dengan varian tema yang bermacam-macam. Karena berorientasi pada target, angsa hitam tidak terpikirkan hingga kemunculannya merusak ramalan tersebut.

Pasca Perang Dunia II, banyak kalangan yang tidak menginginkan serial perang berikutnya. Tapi pada kenyataannya, kecendrungan memelihara semangat perang tetap dilakukan. Perang dunia berganti dengan perang dingin (komunisme vs kapitalisme) dan berlanjut dengan perang dagang.

Perang termutakhir adalah perang dagang (penguasaan ekonomi) yang justru melahirkan lebih banyak korban. Anehnya, korban perang ini mampu menikmati penderitaan (masokisme). Korban, bahkan terhalusinasi sebagai pelaku dan sebagai pemenang. Contohnya, sebagian besar orang miskin secara sukarela menambah kemiskinannya  dengan mengkonsumsi produk-produk industri milik segelintir kaum kaya yang sering disebut kapitalis dan juga oligark. Dari sana terciptalah model masokisme politik-ekonomi dan masokisme sosial-budaya.

Apakah Covid-19 merupakan angsa hitam? Jika mengacu pada pemikiran Taleb, peristiwa pandemik bukanlah baru. Dia tak layak disebut sebagai angsa hitam, tetapi kita sebut saja angsa abu-abu. Angsa abu-abu bukan sesuatu yang tidak terpikirkan, tetapi kita ketahui  namun diabaikan.

Retrospeksi  Masa Depan

Walau diakui, bahwa liberalisme mampu mendinamisir perkembangan manusia dan memunculkan peradaban baru, tapi peradaban itu sendiri menghasilkan kecacatan sosial dan ekologis. Kaum Marxis yang berusaha melakukan perlawanan terhadapnya, juga mengalami kebuntuan karena gagalnya kesadaran kolektif terbangun untuk melakukan perubahan.

Semangat perlawanan kelas direduksir dengan bias kelas itu sendiri. Pemikiran ini tidak berkembang dengan bubarnya negara-negara yang menganut paham ini. China yang muncul sebagai raksasa ekonomi dunia, pun harus mengubah ideologinya ke luar, dengan jalan kapitalisme. Maka tak heran, ketika Francis Fukuyama (1992) menyatakan The End of History, liberalisme telah menang.

Pemikiran liberalisme yang menekankan pada kebebasan individu, urung memberi ruang sama bagi manusia untuk berkompetisi. Kredo pursuit of happines (mengejar kebahagian), justru membuat penderitaan bagi kaum-kaum yang kalah. Yuval Noah Harari (2017) menyebut terciptanya useless people karena tidak mampu beradaptasi dengan liberalisme.

Jumlahnya sangat besar, namun tertutup dengan realitas perkembangan teknologi dan modernisasi.  Paham ini memang bebas nilai, kecuali nilai liberalisme itu sendiri. Jhon Locke (1632-1704) yang dianggap sebagai pelopor paham ini dan sangat dipuja dalam sejarah Amerika Serikat, pada kenyataannya pemilik saham dari perusahaan perdagangan  budak, demikian pula beberapa founding fathers AS, yang memiliki dan berskandal dengan budak (Ball, 2015).

Disadari atau tidak, aktivitas yang menggerogoti masa depan bumi terus dilakukan. Target yang dikejar adalah pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan kelestarian alam dan hak asasi manusia.

Ironinya pilihan itu diambil dianggap mampu menyelamatkan perekonomian dan demi kesejahteraan manusia. Pertanyaannya, mengapa tingkat kemiskinan masih begitu tinggi, pun jumlah orang kelaparan dan tingkat kesenjangan?  Jika memahami, bahwa dunia saat ini dalam genggaman sistem oligarki, di mana segelintir oligark dunia menguasai hajat hidup milyaran penduduk bumi, maka sudah jelas, bahwa kegemingan untuk mempertahankan sistem ekonomi sekarang adalah demi kepentingan mereka.

Andre Gorz (1980) mensinyalir, bahwa eksploitasi alam dan industrialisasi menyebabkan munculnya virus-virus penyakit baru karena rusaknya ekosistem. Bencana-bencana alam dan non alam seperti halnya pandemi Covid-19 adalah bentuk konfirmasi. Diperlukan tindakan kritis dari situasi krisis.

Upaya penyelamatan memang diperlukan, namun pemahaman krisis harus disepakati untuk merancang masa depan. Paradigma pembangunan, harus berubah, bukan semata distribution of wealth yang manipulatif, tetapi equity of wealth yang lebih mempertimbangan aspek keadilan dan kelestarian lingkungan. Untuk itulah kekuasaan politik dari negara perlu hadir, memperbaiki berbagai kesalahahan-kesalahan di masa lalu bukan justru meneruskannya keterperangkapan dalam jebakan rezim ekonomi global

Dwi Munthaha
Dwi Munthaha
Fasilitator andragogi tematik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.