Beberapa hari terakhir, arus media dipenuhi oleh pemberitaan tentang virus corona (Covid-19). Semua hal yang berkaitan dengan virus corona tidak luput dari radar media, mulai dari suspect virus corona, penimbunan masker, penyebaran hoax, sampai pada soal jahe dan kunyit.
Televisi nasional menyajikan sidak masker, tutorial cara mencuci tangan, penggunaan hand sanitizer, sampai pada tutorial mengaduk jahe dan kunyit. Sungguh luar biasa getaran virus corona, mendengar namanya saja, satu negara dibuat kalang kabut.
Praktis saja, harga masker, hand sanitizer, jahe dan kunyit pun melambung tinggi. Batuk, flu atau demam di era corona ini adalah sebuah kengerian, apalagi memiliki riwayat usai melakukan perjalanan dari luar negeri atau berinteraksi dengan suspect corona, kecurigaan bahkan tuduhan akan mengarah.
Beberapa waktu kemudian, kita akan melihatnya di media. Berita pun segera menyebar dan meghebohkan seisi daerah dan sampai nasional. Kondisi di atas setidaknya terjadi semenjak Presiden Joko Widodo mengumumkan 2 (dua) WNI positif terinfeksi virus corona pada tanggal 2 Maret 2020. Keadaan kemudian dipertahankan oleh kemunculan berita, “Pasien Corona bertambah menjadi Empat Orang” pada 6 Maret 2020 lalu.
Pemerintah telah mengambil langkah reaktif, di antaranya mempersiapkan alat dan kelengkapan, tenaga medis, tenaga kesehatan, termasuk mengumumkan rumah sakit rujukan virus corona.
Pemerintah juga terus memberikan edukasi dan menghimbau agar masyarakat tidak panik. Geger virus corona memang dimanfaatkan oleh berbagai pihak, seperti penimbunan masker dan harga jual yang tinggi, serta penyebaran hoax. Tidak mengherankan, pemberitaan justru didominasi oleh sepak terjang polisi dalam melawan ancaman corona.
Di seluruh media, “grebek masker” menjadi sajian andalan. Selain itu, juga penindakan terhadap pelaku penyebaran hoax. Polisi pun terus menebar ancaman terhadap mereka yang mencoba memanfaatkan situasi. Bagi mereka, ancaman polisi lebih menakutkan daripada ancaman corona.
Sehingga, penanggulangan virus corona di indonesia, justru menjadi panggung aksi polisi. Secara yuridis, peran polisi yang demikian merupakan wujud pelaksanaan hukum sebagaimana diatur dalam UU No. Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Polri).
UU Polri mengatur fungsi polisi adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kemudian tugas pokoknya adalah: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan fungsi dan tugas pokok polisi sesuai ketentuan tersebut, maka polisi memang memiliki peran dalam hal apapun termasuk menghadapi corona, terpenting dalam aspek keamanan dan ketertiban, karena merupakan syarat utama untuk mendukung perekenomian, sehingga juga untuk menopang bidang politik, sosial, pendidikan dan kesehatan.
Garmire (1999) menuliskan pula bahwa, “suatu kepolisian menunjukan posisi polisi dalam berbagai permasalahan besar dan pada saat yang bersamaan memberikan serangkaian standar kepada instansi kepolisian yang dapat diminta pertanggungjawabannya”. Secara teoritis, polisi sebenarnya diberikan pilihan dalam menghadapi berbagai situasi, yaitu dengan pendekatan law enforcement atau social defense.
Law enforcement ditunjukan melalui langkah polisi untuk menangkap dan proses pelaku dalam proses peradilan pidana, sedangkan social defense adalah tindakan yang berorientasi pada perlindungan masyarakat.
Pilihan tersebut ada ditangan polisi, dan perlu diingat, UU Polri Pasal 18 telah menjamin polisi dapat bertindak lain sesuai penilaiannya dalam hal melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya (kewenangan diskresi).
Di sisi lain, yang perlu menjadi catatan adalah, ketika polisi cenderung menerapkan hukum pidana dalam cirinya yang penal (represif), atau menggunakan hukum pidana sebagai primum remidium (alat utama). Maka, sebenarnya menunjujukan frustasi negara dan ketidakmampuannya dalam mengelola dan mendistribusikan keadlian, sehingga harus dengan ancam-mengancam.
Di samping itu, juga mempertegas kemandekan fungsi social control yang di dalamnya terkandung aspek kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu kunci penegakan hukum. Dalam perspektif ilmu hukum pidana, peran polisi dalam upaya penanggulangan pidana menurut G.P Hoefnagels, dilakukan penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Secara teoritis dikenal pula istilah “penal“ dan “nonpenal“. Pendekatan “penal” yang berarti kegiatan yang bersifat represif berupa tindakan upaya paksa antara lain melakukan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses penyidikan sampai pelimpahan.
Pendekatan “nonpenal” yang berarti kegiatan yang bersifat preventif yaitu kegiatan yang dilakukan oleh petugas polisi maupun masyarakat dan seluruh elemen. Keduanya harus berjalan beriringan.
Sehingga, dalam mengahadapi ancaman corona di Indonesia, jika mengedepankan fungsi polisi, maka perlu menggandeng aspek nonpenal yang menuntut polisi mempertimbangkan faktor-faktor potensial penyebab terjadinya kejahatan, termasuk dengan cara integrasi dengan semua elemen.
Hukum pidana baiknya digunakan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir). Jangan sampai menimbulkan kesan, kerja keras polisi lebih terlihat daripada kerja tenaga medis dan tenaga kesehatan.