Kamis, April 25, 2024

Corona dan Omnibus Law Menghantui Kita

Dwi Rezki Hardianto
Dwi Rezki Hardianto
Presiden Mahasiswa BEM UNM Periode 2018-2019 | Magister Sastra FIB UGM.

Setiap saat, termasuk di dinding linimasa media sosial. Kita menyaksikan orang-orang merasakan kepanikan dan epoche (Meminjam istilah Edmud Husserl sebagai filsuf fenomonologi)—atau penundaan tentang pengambilan kesimpulan gawat darurat untuk pandemik corona yang mengguncangkan Indonesia, meskipun sejak Wuhan terdampak, orang-orang telah merasakan kepanikan itu.

Kepanikan yang berlebihan itu disebabkan—pasca hardirnya dua orang yang positif corona di Depok—oleh pengambilan keputusan-keputusan yang cukup lambat dari pemerintah. Mereka dalam posisi ini, masih bertingkah seperti anak usia dini dan menganggap virus ini bisa diproteksi dengan memakan nasi kucing. Tak hanya itu, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menetapkan status Corona Virus Desease 19 (COVID-19) sebagai pandemik yang menghantui dunia ini sebagai penyakit yang mematikan.

Keputusan pikiran pemerintah yang membombastis dan lamban menjadi sebab munculnya ketakutan kolektif yang cukup massif dan meledak dalam diri masyarakat—yang nantinya akan menjadi kesadaran perseptual traumatik. Padahal, sejak viralnya virus ini di media massa yang diakibatkan oleh goncangan wacana corona yang berasal dari Wuhan, Tiongkok.

Saat itu, Indonesia masih sibuk untuk membuat keputusan-keputusan lain yang berkontradiksi dengan perlindungan masyarakat, bahkan parahnya membuat masyarakat terhantui dengan hadirnya keputusan tersebut. Salah satu contohnya adalah gencarnya pembahasan Omnibus Law. Fenomena ini menjadi pertanyaan yang sangat mendasar untuk pemerintah.

Mengapa pemerintah sibuk menjalankan cita-cita investasinya dengan membuat sebuah produk hukum—Omnibus Law, sedangkan ancaman lain yang berusaha mengganggu masyarakat, yaitu menyebarnya corona dari Wuhan? Mengapa pemerintah baru membuat proteksi untuk masyarakatnya? Ataukah pemerintah sengaja memainkan diskursus ini, sehingga masyarakat berada pada represi traumatik yang berlebihan?

Untuk menjawabnya, penulis berusaha merefleksi kegilaan pemerintah ini dengan melihat jauh ke hari-hari sebelumnya—di saat Kabinet kerja jilid dua—Jokowi-Ma’ruf dilantik. Jokowi dalam sisipan pidatonya mengatakan bahwa pemerintahan ini akan segera membuat produk hukum Omnibus Law sebagai model baru dari produk-produk hukum sebelumnya.

Tujuannya untuk memuluskan investasi ekonomi dalam bentuk merampingkan aturan-aturan hukum—yang secara otomatis akan menggugurkan 3.225 produk hukum sebelumnya. Hal ini dilakukan dalam rangka yang sederhananya, yaitu agar pengusaha berlalu-lalang ikut serta dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Asu!!

Hantu ideologis tersebut dilawan oleh kalangan masyarakat—kaum miskin kota, petani, buruh, mahasiswa hingga masyarakat yang merasa terhantui atas masa depannya. Sebab, hal ini merupakan momok yang menakutkan bagi masyarakat—ketakutan bagi masa depan mereka yang tak bersinar.

Mereka membayangkan dirinya, tak seperti bebasnya masyarakat bajo yang melaut ke mana-mana, seperti zaman nomaden di mana masyarakat bebas mematok tanah secara kolektif atau seperti rimbun pohon yang menyejukkan hati dan pikiran kita. Namun, karena watak pemerintah kita masih berpikir seperti orang-orang kolonial. Tidak heran jika keputusan-keputusannya hanya menjadi kesenangan dirinya sendiri, tanpa melihat orang-orang yang merintih kesakitan di sekitarnya.

Omnibus Law ibarat peluru yang menghunjam tanah. Menghancurkan tubuh-tubuh—serta ekosistem apapun yang menginjakkan kaki-akarnya di seluruh wilayah di Indonesia. Sebab, investasi yang tai kucing itu, semua ekosistem akan kehilangan dirinya sendiri sebagai identitas yang melekat di atas tanahnya sendiri.

Di tengah gencarnya corona yang akan berdatangan, pemerintah masih dengan ocehan itu dan menikmatinya—sampai tak sadar bahwa bagian dari tubuhnya sendiri telah digrogoti corona—sebagai senjata untuk menyerang kesadaran perseptual dari masyarakat.

Sehingga memunculkan diskursus baru yang menakutkan. Gilanya, beberapa di anataranya berdiri untuk tetap berteriak nyaring dalam melafazkan cita-cita pembangunan tai kucing itu, tanpa mempertimbangkan konflik diri masyarakat yang semakin lambat-laun memunculkan traumatik yang mendalam atas dirinya sendiri.

Wajar jika masyarakat semakin tak percaya dengan mereka dan wajar apabila kegilaan muncul secara spontan dari masyarakat—dalam bentuk teriakan di mana-mana untuk menggagalkan Omnibus Law.

Nah, saat ini, setelah gencarnya penolakan yang sangat besar terhadap Omnibus Law. Pemerintah sedikit serius—meskipun masih dalam rangka bercanda—baru menggencarkan diskursus baru, yaitu merebaknya corona, untuk mengkonstruk masyarakat agar takut dengan virus itu dan melupakan kesakitan yang baru saja terjadi, yaitu Omnibus Law.

Kelihaian pemerintah semakin menggila dengan keluarnya keputusan resmi yang direspon oleh segenap aparatur Negara dan masyarakat. Tak hanya itu, pada kesempatan ini juga direspon oleh pengusaha-pengusaha dengan memproduksi masker sebanyak-banyaknya untuk memenuhi hasrat-ketakutan dari masyarakat. Yah meskipun pada akhir episode ini, kapitalis-birokrat tetap menjadi pemenang.

Pemerintah dan pengusaha menguasai ruang-ruang sensitif di Negara ini. Toh, mereka memiliki alat-alat represif untuk menggiring masyarakat dalam sangkar traumatis pada virus tersebut. Mereka menguasai diskursus ini melalui pengetahuan lama yang dibesar-besarkan tentang coronoa—meskipun masyarakat telah mendapatkan bahaya itu dari media sosial—sehingga menciptakan sistem panoptik yang berlebihan dalam mengawasi diri kita agar tetap waspada bagi corona.

Sistem itu dijalankan melalui aturan yang tak merugikan bagi pemerintah. Menginstruksikan kepada semua aparatur Negara agar bekerja di rumah, termasuk memindahkan proses belajar mengajar perkuliahan selama dua minggu di rumah masing-masing. Kecuali perhubungan, mall, tempat pariwisata dan Investasi tetap berjalan seperti biasanya.

Penulis mengganggap bahwa pemerintah tidak pernah serius untuk menangani virus ini, mereka menginginkan agar semua cita-cita atas nama investasinya akan terus bergerak tanpa gangguan. Termasuk dalam satu hal, pemerintah tak mau diganggu pada sidang paripurna terkait Omnibus Law pada tanggal 23 Maret 2020, sehingga membutuhkan waktu hanya dua minggu untuk meliburkan semua proses kerja atau perkulian. Sebab apa yang dirumuskan oleh pemerintah adalah Magnum Opus untuk mensejahterakan rakyat, katanya.

Sekarang #GagalkanOmnubusLaw #GejayanMemanggi bahkan #GejayanMemanggiProvokator milik buzzer istana hilang dan dikalahkan oleh #lockdownindonesia yang sebenarnya pemerintah tidak akan serius dalam menangani corona. Mereka akan terus melanjutkan sampai masyarakat gila akan dua hantu yang menakutkan itu.

Dwi Rezki Hardianto
Dwi Rezki Hardianto
Presiden Mahasiswa BEM UNM Periode 2018-2019 | Magister Sastra FIB UGM.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.