Bagi sebuah organisasi, media massa bisa dijadikan sebagai kawan maupun lawan, sebab kebaradaannya bisa saja menguntungkan dan bisa pula merugikan. Hal ini tidak terlepas dari kekuatan media massa yang dapat menggiring opini di ruang publik untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat. Oleh karena itu media massa seakan punya posisi tawar yang lebih tinggi.
Media massa punya peran dalam mengartukulasikan sekaligus memperparah permasalahan. Banyak organisasi menyadari bahwa bagi media, “bad news is a good news”. Pandangan ini mengakibatkan media kerap kali diporsikan sebagai lawan organisasi, atau setidaknya dihindari oleh organisasi (puspitasari, 2016: 115).
Salah satu kasus yang bisa saya ambil contoh adalah kasus yang belum lama ini ramai di perbincangan tentang kantor Radar Bogor yang digeruduk oleh simpatisan PDIP karena menulis berita dengan nada yang dianggap provokatif berjudul “Ongkang-Ongkang Dapat Gaji 112 Juta.” Kejadian ini memincu banyak kontra, baik dari kalangan jurnalis dan pihak oposisi yang begitu cermat mengambil momentum ini sebagai sarana menjatuhkan lawan politiknya.
Sikap simpatisan PDIP yang menggeruduk kantor Radar Bogor tentu sangat disayangkan. Dengan tanpa menyalahkan satu pihak, bahwa kejadian ‘menggeruduk’ ini bukan yang pertama kali dilakukan kelompok tertentu pada media massa.
Kasus ini bisa disikapi dua hal. Pertama, kelompok yang bersikap main hakim sendiri. Kedua, media yang selalu memancing atau memojokan salah satu pihak. Meski tanpa mengindahkan fakta dan prinsip independensinya, media sadar bahwa mereka punya kekuatan untuk membentuk persepsi masyarakat pada objek berita lewat kalimat-kalimat atau judul yang bisa menyudutkan organisasi tertentu.
Apalagi kehadiran internet telah memberikan jangkauan pembaca yang lebih luas. Kalau dulu hanya segelintir orang yang bisa melek berita karena terbatasnya ruang informasi. Tetapi sekarang, munculnya media daring membuat pembaca awam terutama generasi muda menjadi lebih tahu banyak tentang berita dari topik yang berat sampai yang ecek-ecek. Bersamaan dengan itu, berita clickbait malah menjamur dan menjadi makanan sehari-hari media untuk menggeruk jumlah pembaca yang banyak.
Clickbait dilakukan dengan cara memilih kata atau diksi yang punya makna yang memikat. Kalau perlu kata provokatif disematkan untuk mendapat banyak klik dari netizen. Cara ini merupakan cara klasik yang bukan saja dilakukan oleh media tapi oleh banyak orang. Maka dari itu tidak mengherankan jika judul-judul ‘aneh’ ini sering menjadi trending di kanal Youtube dan Line Today.
Sebenarnya tidak menjadi masalah jika pemberian judul clickbait masih dalam batas wajar. Namun kalau sudah memojokan pihak-pihak tertentu, yang rugi bukan saja kelompok yang diberitakan, tapi media itu sendiri yang akan mendapat citra buruk dari masyarakat.
Komersialisasi media juga jadi faktor yang membuat para jurnalis berbondong-bondong menarik perhatian pembaca hingga terkadang mengabaikan dampak psikologis masyarakat yang menyerap informasi dari media. Judul yang terlihat memprovokasi bisa membuat pembaca salah paham sehingga tindakan-tindakan yang tidak diinginkan akan sering terjadi seperti kasus-kasus penggerudukan itu.
Dalam kasus penggerudukan di kantor Radar Bogor tersebut, kedua belah pihak dalam hal ini simpatisan PDIP dan media memang sama-sama punya dosa besar. Tetapi seperti kata pepatah tidak ada asap kalau tidak ada api.
Radar bogor memancing pendukung fanatik Megawati dengan keberaniannya memilih diksi yang provokatif sehingga bisa membentuk opini masyarakat bahwa ada yang salah dengan objek berita. Kalimat ‘ongkang-ongkang kaki’ di definisikan sebagai kalimat yang negatif sehingga cenderung memojokan Ketua Umum Partai PDIP tersebut. Kejadian ini dikeruhkan dengan sikap anarkis simpatisan PDIP yang justru membuat citra Megawati menjadi tambah buruk.
Ketika protes terjadi, Media bersikap playing victim saat ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Ketika sudah terjadi adanya perlawanan, media bisa bersikap seolah dirinya yang dizolimi dan ditindas atas dasar kebebasan pers. Padahal dengan kejadian ini Radar Bogor seharusnya dapat berintrofeksi diri dengan terjadinya kasus seperti ini.
Dalam beberapa kasus, tidak pernah ada sanksi atas judul-judul berita yang merugikan salah satu pihak demi menggeruk jumlah pembaca yang banyak. Ketika banyak sekali pembiaran dari organisasi atau kelompok tertentu pada media dalam memberi judul provokatif maka media akan merasa hal itu biasa-biasa saja. Padahal clickbait atau diksi provokatif pun jika terus dilakukan akan membuat kerja jurnalis menjadi tidak sehat dan cenderung kebablasan.
Akhirnya, kegiatan jurnalisme malah menjadi ancaman bagi banyak pihak. Alasannya bukan karena jurnalisme selalu mengungkap kebenaran dan mengeluarkan keborokan oknum, tetapi kini jurnalis sudah pintar memprovokasi masyarakat dengan diksi-diksi yang mengundang kemarahan.
Dewan pers yang bertugas sebagai ‘ibu’ dari insan jurnalis seakan hanya menunggu aduan. Tidak berusaha menjemput bola atas kemungkinan-kemungkinan pelanggaran yang dilakukan para jurnalis mereka. Padahal jika di teliti lebih jauh lagi, banyak sekali permasalahan dengan para jurnalis kekinian yang perlu diperbaiki.
Apalagi sejak dulu hingga sekarang, masih banyak orang yang selalu mempertanyakan independensi jurnalis. Harusnya segala hal yang menyangkut permasalahan dengan media atau jurnalisme bisa menjadi bahan evaluasi diri untuk menangkal isu negatif tentang dunia jurnalis. Bukan berarti media itu selalu salah, tetapi setidaknya hal-hal seperti ini bisa dijadikan pembelajaran agar tidak mendewakan segala sesuatu yang memicu clickbait atau diksi-diksi yang provokatif.
Referensi:
Puspitasari. 2016. Komunikasi Krisis: Strategi Mengelola dan Memenankan Citra di Mata Publik. Jakarta: Libri