Jumat, April 26, 2024

Cina, Antara Sentimen Modal dan Etnis

Delianur
Delianur
Delianur Tinggal di Bandung Alumni Fikom Unpad Alumni Pelajar Islam Indonesia

Di suatu malam dini hari, tidak seperti biasanya Ibu membangunkan saya dan Kakak. Dipenuhi nada cemas dan panik, Ibu menyuruh kami cepat-cepat memakai jaket untuk menemani Bapak keluar. Ibu hanya berpesan bahwa kami harus menjaga Bapak. Meski tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun karena berkaitan dengan keselamatan Bapak, tanpa banyak tanya kami menuruti perintah Ibu.

Di tengah perjalanan, saya baru mengerti situasinya. Ada kerjasama bisnis antara Bapak dan orang Cina. Bapak yang mempunyai lahan tapi tidak mempunyai modal, bekerjasama dengan pebisnis Cina yang tidak mempunyai lahan tapi mempunyai modal.

Di pertengahan, muncul permasalahan. Bisnis macet dan diputuskan penghentian kerjasama. Masalahnya, bagaimana kerjasama mesti dihentikan. Bapak bersikeras bahwa pemodal harus melunasi semua pembayaran baru bisa membawa semua mesin dan berbagai alat berat dari lahan kami. Mitranya tentu tidak mau. Dia bersikeras ingin membawa semua perlatan keluar dari lahan, sementara semua tunggakan menjadi kewajiban pemilik lahan.

Adu kuat menemui jalan buntu. Tidak ada solusi. Sampai akhirnya mitra bisnis membawa aparat kepolisian untuk membawa barang-barang dari lahan kami. Inipun gagal. Karena tidak seperti yang dikira, Bapak tidak punya rasa takut sedikitpun dengan aparat. Pada malam dini hari ketika saya dibangunkan, ketika itulah Bapak memelototi satu persatu polisi yang datang ke lahan kami termasuk komandannya. Alhasil polisi dan orang Cina tersebut keluar dari lahan kami dengan tangan kosong.

Begitulah memori buruk saya tentang etnis Cina. Bukan hanya sikap orang tua terhadap mereka, tetapi juga kerjasamanya dengan aparat mengintimidasi orang tua.

Seiring waktu, memori tentang orang tua dan orang Cina bertambah dan berubah. Suatu waktu seorang teman dekat Bapak, mengajak saya menemui suami istri warga keturunan. Kepada warga keturunan tersebut, saya diperkenalkan sebagai anak Bapak saya.

Setelah itu, ekspresinya terlihat berubah sedih dan dia memperlakukan saya dengan sangat baik. Menurut teman saya, baiknya perlakuan terhadap saya diatas perlakuan pada tamu lain. Beberapa saat kemudian saya mengerti sebabnya. Singkatnya, ternyata Bapak pernah berjasa besar bagi kehidupan warga keturunan tersebut.

Setelah pertemuan itu, saya sadar ada yang keliru dari kesimpulan saya tentang relasi orang tua dengan warga keturunan. Saya lupa melihat bahwa orang tua saya bukan hanya seorang Khatib Jum’at, tetapi juga seorang enterpreneur. Konflik dengan warga keturunan ternyata berkaitan dengan aktivitas ekonomi.

Namun sebagai muslim atau warga negara, orang tua melihat warga keturunan layaknya manusia dan warga negara. Tidak hanya harus membuat hubungan baik, tetapi perlu ditolong bila dia kesulitan.

Kesimpulan ini terkonfirmasi bila kita mendengarkan secara seksama ekspresi bahasa kemarahan terhadap etnis Cina. Kosakata yang muncul adalah keinginan melempari Toko orang Cina. Sekali lagi, melempari Toko nya bukan rumahnya.

Bila bahasa adalah ekspresi terdalam manusia, semestinya antara hasrat melempari toko dan melempari rumah adalah dua hal berbeda. Meski bagi warga keturunan tempat berdagang dan tempat tinggal kadang menjadi satu sehingga lahir konsep Ruko, namun bagi kebanyakan orang Indonesia, tempat tinggal dan tempat berjualan atau kantor adalah hal yang berbeda. Mengatakan ingin melempari toko adalah ekspresi kemarahan berdimensi ekonomi karena disanalah perniagaan dilakukan.

Terjadinya segregasi dengan warga keturunan sendiri bisa ditelusuri pada masa kolonial Belanda. Belanda membagi masyarakat secara hierarkhis. Masyarakat utama adalah orang Eropa, diikuti masyarakat kelas dua yaitu Timur Jauh seperti keturunan Cina atau Arab. Sedangkan kasta terendah adalah masyarakat lokal.

Ketika masyarakat lokal berhadapan dengan warga keturunan Arab mungkin bisa ternetralisir karena ada kesamaan agama. Masalah bertambah rumit manakala berhadapan dengan etnis Cina yang sulit mencari kesamaan. Terlebih negara Cina bukan hanya menerapkan prinsip dwi kewarganegaraan, tetapi juga dianggap sebagai tanah leluhur tempat kembali.

Ketika Indonesia merdeka, dalam banyak hal posisi warga lokal secara sosial politik mengalami kenaikan. Manakala status priyayi atau menjadi birokrat adalah status sosial tertinggi, warga lokal mempunyai privillege melakukan mobilitas sosial dengan menjadi birokrat. Sementara ketika perdagangan adalah aktivitas kesekian, wilayah ini diberikan kepada warga keturunan. Banyak proyek pengadaan pemerintahan dan militer diberikan kepada etnis Cina. Selanjutnya, warga keturunan diberikan banyak privillege dalam berwirausaha.

Permasalahannya bukan hanya birokrasi pemerintah adalah ruang sempit sementara ekonomi adalah ruang luas, tetapi perkembangan baru Indonesia ketika oligarki ekonomi menjadi kekuatan baru.

Perkembangan kapitalisme telah mengangkat para enterpreneur menjadi lebih berkuasa dibanding politisi dan birokrat pemerintahan. Permintaan Presiden Soeharto yang meminta konglomerat menyisihkan penghasilannya untuk UMKM dalam pertemuan Tapos, keterlibatan dunia Industri dalam pembentukan lembaga dan UU negara, serta statemen Presiden Jokowi yang akan memberikan izin bagi investor sambil tutup mata, menunjukan signifikansi konglomerat bagi Indonesia.

Sekarang ini permasalahan Cina sebagai sebuah etnis dan Cina sebagai sebuah modal menjadi kabur. Kontestasi politik yang diiringi buruknya komunikasi politik para politisi juga buzzer politik, telah mengaburkan permasalahan sesungguhnya. Ketika sekelompok orang menyerukan Anti-Cina, hal ini hanya dimaknai sebagai anti etnis Cina bukan anti penumpukan modal yang merusak kehidupan kita.

Padahal bila hal ini yang dimaknai, maka sebetulnya bukan hanya etnis Cina saja yang perlu dikritisi, usahawan lokal yang melakukan penumpukan modal pun perlu dikritisi. Pada sisi lain, ketika slogan anti Cina yang hakekat dasarnya adalah anti penumpukan modal dan ketimpangan, demi kepentingan politik lalu direduksi hanya menjadi sebagai sentimen ras. Tidak lebih dari itu.

Dalam perspektif Shannon dan Weaver, komunikasi tidak jauh berbeda dengan transmisi pesan elektronis. Dalam proses komunikasi, akan ada voice dan noise. Bila voice adalah pesan utama, maka noise adalah halangan yang mengganggu kejernihan voice.

Kita mengalami kegagalan komunikasi politik karena gemuruh noise mengalahkan kejernihan voice. Satu sisi orang mereduksi terlalu dangkal slogan Anti Cina sebagai slogan anti rasial belaka. Sisi lain, slogan Anti Cina dianggap sebagai anti terhadap etnis. Tidak ditangkap sebagai koreksi terhadap pemusatan ekonomi.

Melihat kembali muasal sentimen ras serta bahayanya bila hal ini dibiarkan, maka keadilan ekonomi adalah agenda besar dan pemusatan ekonomi adalah hal yang mesti ditekan.

Meskipun kalangan muslim diajarkan bahwa etatisme ekonomi itu adalah suatu hal yang destruktif (Al-Hasyr 59:7) namun pada dasarnya anti pemusatan ekonomi sudah menjadi moral ekonomi di negeri kapitalis Amerika sekalipun. Seperti diberitakan BBC, Juni tahun ini taipan kelas kakap Waren Buffet, Soros, Abigail Disney mendesak diberlakukannya wealth tax bagi konglomerat seperti mereka. Karena etatisme ekonomi telah menyebabkan krisis sosial, ekonomi dan lingkungan

Delianur
Delianur
Delianur Tinggal di Bandung Alumni Fikom Unpad Alumni Pelajar Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.